Wednesday 13 January 2010

Pesta Disfemisme di Media Massa

Bagi sebuah berita judul adalah bagian yang sangat penting dan tidak boleh ditinggalkan. Judul seringkali dijadikan sebagai pertimbangan utama pembaca untuk membaca isi berita. Sadar dengan hal tersebut redaktur berita surat kabar selalu berusaha menampilkan judul yang paling menarik, termasuk dengan menggunakan gaya bahasa pengasaran (disfemisme).

Disfemisme adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengasarkan kata, frase, klausa atau kalimat dengan tujuan tertentu (Chaer, 1995: 145). Misalnya, kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang digunakan dalam kalimat Akhirnya regu bulutangkis kita berhasil menggondol pulang pila Thomas Cup itu. Atau juga mencuri yang dipakai dalam kalimat Kontingen Suriname berhasil mencuri satu medali emas dari kolam renang. Padahal sebenarnya perbuatan mencuri adalah suatu tindakan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara.

Jika dimaknai sebagai kosmetika bahasa, disfemisme samata-mata digunakan untuk merias sebuah judul berita. Tindakan ini dapat dimaklumi sebab redaktur berita dituntut mampu menampilkan berita dengan gaya yang menarik perhatian.
Namun di sisi lain, perkembangan disfemisme dalam judul berita sesungguhnya menggamabarkan disfemsime perilaku berbahasa masyarakat kita. Artinya, ada hubungan resiprokal antara berita yang diturunkan surat kabar dengan perubahan perilaku masyarakat. Semakin banyak disfemisme yang digunakan redaktur berita untuk merias beritanya, semakin buruk pula perilaku ujaran masyarakat kita.

Segitiga Makna
Hubungan resiprokal disfemisme bahasa surat kabar yang tergambar dalam judul berita dengan perilaku bahasa masyarakat tidak lepas dari konsep segitiga makna, yakni hubungan antara penanda, petanda, dan referen.

Ogden & Richards (1952:11) dalam Rahyono (2005:48) menampilkan konsep hubungan antara tiga elemen makna, yakni dengan menghubungkan symbol, referent, dan thought atau reference dalam bentuk diagram segitiga makna. Reference (‘konsep/makna’) sebuah kata atau ekspresi dibedakan ke dalam dua jenis makna, yakni referential meaning ‘makna referensial’ dan emotive meaning ‘makna emotif’.

Cruse (2000:6), juga dalam Rahyono (2005), menyatakan bahwa dalam komunikasi terdapat tiga aspek makna, yakni (1) speaker’s meaning, (2) hearer’s meaning, dan (3) sign meaning. Speaker’s meaning berkenaan dengan maksud si pembicara/ penulis, hearer’s meaning berkenaan dengan makna yang ditangkap oleh kawan bicara/pembaca, dan sign meaning berkenaan dengan makna yang dinyatakan oleh bahasa (kata-kata) yang digunakan dalam komunikasi itu.

Selanjutnya, Cruse (2000:331-333) menyatakan bahwa dalam komunikasi pembicara mengungkapkan suatu hal dengan daya ilokusi tertentu. Secara tegas Cruse menyatakan bahwa dalam komunikasi tidak ada wacana tanpa daya ilokusi. Konsekuensi logis pernyataan tersebut adalah bahwa sebuah wacana, yang dibentuk oleh konstituen-konstituen yang berupa kata, belum dapat digunakan sebagai instrumen komunikasi verbal jika tidak disertai dengan daya ilokusi. Dalam tindak komunikasi, sebuah wacana, yang hanya menampilkan makna lingual tanpa menampilkan ilokusi, tidak memuat pesan apa pun yang sebenarnya ingin dikomunikasikan.

Hubungan disfemisme bahasa surat kabar dengan perilaku berbahasa masyarakat dapat dipetakan melalui dua konsep. Pertama, surat kabar menggunakan disfemisme dengan mengadopsi disfemisme yang telah berkembang dalam masyarakat. Artinya, media massa dalam hal ini berperan menyebarluaskan kepada komunitas penutur bahasa lain. Kedua, media massa (dalam hal ini para redaktur) membuat disfemisme baru lantas memperkenalkannya kepada masyarakat. Proses publikasi seperti ini punya peluang keberhasilan karena media massa punya intensitas komunikasi yang tinggi dengan para pembaca.

Kebebasan Pers
Beragam pola disfemisme yang berkembang di media massa dewasa ini adalah bagian dari keniscayaan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pascareformsi. Karena itulah ragam disfemisme pada masa orde baru tidak muncul.

Ketatnya ’penyuntingan’ bahasa media massa pada masa orde baru membuat media massa haru sangat berhati-hati. Jangankan menggunakan disfemisme, demi kelanggengan operasionalnya, media massa saat itu lebih memilih menggunakan eufimisme untuk berbagai berita tentang pemerintah. Saat itu kata-kata eufemisme sangat produktif, misalnya hadirnya kata (harga) disesuaikan, (karyawan) dirumahkan, dan (demonstran) diamankan.

Eufemisme yang hadir pada masa Pascaorde Baru ini dihadirkan untuk maksud yang berbeda. Disadari atau tidak, oleh penulis, eufemisme dihadirkan justru menyatakan maksud yang tidak arif, antara lain untuk menyatakan ejekan, kemarahan, kecaman, atau keluhan. Namun seiring membaiknya iklim kebebasan pers, kata-kata eufimsime mulai terpangkas dan digantikan kata-kata disfemisme yang lebih emotif dan hiperbolis.

Koran kuning
Salah satu media massa yang sangat produktif melahirkan kata dan istilah disfemisme adalah koran kuning. Istilah koran kuning sendiri adalah eufimisme bagi surat kabar menengah ke bawah yang sering mengangkat berita kriminal dan misteri.

Sebagai surat kabar konsumsi masyarakat menengah ke bawah, koran kuning memang harus menyesuaikan dengan selera pembacanya. Selain tema-tema yang diangkat harus tema grass root, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa rakyat, bahkan sebisa mungkin haru menjelata. Karena pertimbangan itulah pengelola koran kuning seringkali menurunkan berita dengan kata dan istilah berdifemisme.

Selain untuk memikat perhatian pembaca, kata dan istilah berdisfemisme digunakan untuk melahirkan efek bahasa yang tajam. Ada beberapa pola disfemisme yang kerap digunakan surat kabar kuning untuk memoles beritanya.

Pertama, animalisasi atau menggunakan istilah-istilah yang berkembang di dunia binatang untuk menggambarkan perilaku manusia. Pola ini sering digunakan dalam judul berita, misalnya direksi BUMN kedapatan menggondol uang negara.

Kedua, penggambalangan, yakni dengan menceritakan sesuatu dengan sangat gamblang, tanpa tedeng aling-aling. Biasanya pola penggambalangan dapat ditemukan pada judul berita kriminal, seperti pada judul Maling HP dimassa sampai nyonyor.

Selain kedua pola di atas, koran kuning juga kerap menggunakan pola hiperbolis untuk menciptakan disfemisme. Pola ini digunakan dengan cara membuat efek dahsyat dan bombastis pada berita-berita tertentu, seperti Mahasiswa Tolak Politisi Busuk, atau Remaja diperkosa Sampai Lucek.

Bahasa masyarakat
Gambaran bahasa yang digunakan media massa adalah gambaran bahasa dalam masyarakat. Sebab, pemilihan bahasa media massa telah disesuaikan dengan tingkat keterbacaannya.
Pilihan kata merupakan instrumen penting bagi media massa dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Komunikasi antara media massa dan masyarakat akan berjalan sesuai tujuan pemberitaan jika kesamaan makna antara penulis dan pembaca berita terjadi. Masyarakat sebagai penerima berita berkepentingan untuk memperoleh informasi dengan cara memahami makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa (kata-kata) yang digunakan untuk merepresentasikan informasi tersebut.

Karena itulah, sejatinya, bentuk disfemisme yang berkembang di media massa saat ini punya kaitan erat dengan perilaku ujaran masyarakat. Semakin besar porsi disfemisme yang tampil di media massa semakin buruk pula perilaku bebahasa yang berkembang di masyarakat.

Sebagai konskuensi logis dari kasarnya bahasa, masyarakat akan terbiasa menggunakan kata istilah berdisfemisme. Jika berkembang terus menerus, disfemisme pada judul berita dikhawatrikan akan melahirkan budaya cablaka dalam masyarakat kita. Masyarakat bertutur dengan bahasa yang lugas namun mengabaikan etika dan sopan santun.

No comments:

Post a Comment