Wednesday 13 January 2010

Bahasa Indonesia Terancam Pragmatisme

Peringatan hari Sumpah Pemuda, yang juga diperingati sebagai lahirnya Bahasa Indonesia, selalu diperingati dengan dua keprikhatinan. Pertama, kekhawatiran karena Bahasa Indonesia terancam eksistensinya oleh berbagai pengaruh, baik dari dalam maupun luar bahasa. Kedua, prikhatin karena keprikhatinan tahun sebelumnya tidak membuahkan hasil apapun.

Keprikhatinkan terhadap bahasa Indonesia memang baru muncul dari kalangan ahli bahasa (linguis), dan baru disadari oleh sebagian kecil masyarakat. Namun jika berbagai proses pendelesian bahasa Indonesia terus berlangsung karakter Bahasa Indonesia benar-benar terancam. Bahasa Indonesia yang dikenal sebagai alat komunikasi dan ekspresi berubah menjadi alat yang lebih bersifat praktis pragmatis.

De Saussure, Bapak Linguistik Modern, memang pernah memberikan batasan terhadap bahasa sebagai alat komunikasi yang bersifat arbitrer dan konvensional. Artinya, bahasa memang selayaknya digunkan sebagai alat komunikasi. Namun batasan ini terlalu sumir jika kita mengingat bahwa bahasa adalah juga menjadi alat penyebaran budaya. Jika karakter bahasa semata-mata didasarkan kepada konvensi sekelompok orang kebudayaan yang terbangun akan dianggap milik sekelompok orang.

Tanpa menafikan teori dan jasa besar De Saussure, kita juga perlu meminjam perspektif Jaques Derrida dalam memandang bahasa. Tokoh dekonstruksi ini menempatkan bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunkasi. Justru menurutnya, bahasa hanyalah sebagian dari sebuah sistem kebudayaan manusia. Bahasa, yang oleh Saussure disebut parole, hanyalah sebagian kecil dari sistem penanda-petanda yang pernah disepakati manusia.

Karena itulah, bahasa Indonesia juga perlu didudukkan kembali sebagai salah satu ujud kebudayaan manusia. Ia bukan semata-mata alat, tapi pada kondisi tertentu bisa menjadi refleksi para penuturnya. Bahasa Indonesia adalah cermin perdaban bangsa, menunjukkan kerumitan sistem sosialnya, juga dinamika yang telah, sedang dan akan dialami bangsa ini. Maka penting bagi penutur bahasa Indonesia untuk menyadari dan menjaga karakter bahasa Indonesian sebagai sesuatu yang unik.

Sayangnya kesadaran itu tampaknya tidak dimiliki keseluruhan penutur bahasa Indonesia. Mereka lebih suka menempatkan bahasa Indonesia sebagai alat yang sewaktu-waktu bisa berubah, dimodifikasi bahkan diganti sesuai keperluan. Karena itulah meski bahasa Indonesia terus berkembang, karkateristiknya justru menghilang. Pengaruh intralingual dan ekstralingual yang demikian kuat membuat bahasa Indoensia lemah dalam politik bahasa internasional.

Tiga Tantangan
Jika dipetakan, setidaknya ada tiga pengaruh yang membuat bahasa Indonesia kehilangan karakteristiknya, yakni penutur bahasa, mondialisme sistem bahasa, dan pragmatisme. Karena telah berlangsung lama ketiganya terpadu menjadi demikian kompleks, bahkan seperti sangat sulit diuraikan.

Pertama, penutur bahasa Indonesia tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasanya. Harus diakui, kita kurang percaya diri menggunakan bahasa Indonesia sehingga berusaha mendekatkan bahasa Indonesia pada bahasa lain. Buktinya, khazanah lema lokal yang telah lama maupun baru dicipta justru digantikan oleh kata serapan asing. Akibatnya tidak sepele karena lema-lema khas pada akhirnya tergantikan oleh lema-lemas asing. Contoh paling konkrit tentu saja akhiran ‘sasi’ pada kata serapan kita yang diadaptasi dari ‘tion’.

Kedua, mondialisme menuntut penutur bahasa Indonesia menguasai bahasa asing sebagai prasyarat pergaulan internasional. Sayangnya sikap ini tidak diimbangi dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik sehingga penggunaannya bercampur. Seperti yang Mantan Mendiknas Bambang Sudibyo katakan dalam Kongres Bahasa IX di Jakarta, masyarakat memilih penggunaan bahasa asing atau bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.

Penggunaan bahasa Indonesia yang tepat perlu ditekankan sebagai bagian integral dari kesatuan sistem berbangsa. Di Jepang dan Jerman nasionalime generasi muda dibentuk melalui penggunaan bahasa nasional secara ketat, bahkan meski negara mereka hancur lebur karena perang. Jepang membangun jati dirinya melalui pengutamaan bahasa Jepang dengan menerjemahkan semua literatur ke dalam bahasa Jepang. Sedangkan di Jerman, kecintaan pemuda juga dibentuk melalui kecintaan terhadap bahasa.

Ketiga, pragmatisme menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi semata sehingga menghilangkan ideologi berbahasa. Penutur bahasa Indonesia tidak mempertimbangkan semangat kebangsaan dan ideologi bahasa. Padahal setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis, setidaknya jika ideologi adalah keyakinan atau gagasan yang commonsensical (sesuai akal sehat).

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu menganai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (pada Sumpah pemuda 28 Oktober 1928) sekaligus sebagai bahasa negara (UUD 1945 pasal 36). Saat para pemuda memutuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebenarnya mereka sedang mengemban ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Mereka sadar bahwa kesatuan tidak hanya ada pada ranah ideologi, tetapi harus diimplementasikan dalam kehiduan yang lebih realistis, termasuk berbahasa.

Ideologi berbahasa sudah tidak ditemukan lagi saat ini. Berbahasa telah dianggap sebagai peristiwa komunikasi semata, sekadar bertukar pesan dan informasi. Akibatnya, konsistensi berbahasa dianggap tidak perlu dijaga karena lebih mengutamakan kelancaran komunikasi. Maka, kecuali dalam ragam komunikasi formal, bahasa Indonesia sudah tidak mampu menggambarkan ideologi kebangsaan yang demokratis, jati diri, dan semangat kesederajatan.

Kondisi ini tentu disayangkan, terlabih karena politik bahasa nasional sepertinya tidak menjadi perhatian penting pemerintah saat ini. Dialektika berbahasa dibiarkan ‘tergembala’ oleh pengguna bahasa tanpa kendali sehingga berjalalan menuju bentuk yang tidak dapat dipastikan. Akibatnya, tidak hanya ideologi, bahasa Indonesia kehilangan martabat kebangsaan yang puluhan tahun lalu melekat padanya.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment