Saya memilih kursi di baris ketiga saat masuk di auditorium Undip Tembalang, entah gedung apa namannya. Di sana sudah ada beberapa orang yang duduk bergerombol. Satu kelompok ada yang terdiri dari 4 orang, 5 orang, atau enam orang. Ada guru berseragam coklat, mahasiswa BLKP, Menwa, Pramuka, juga taruna Akpol dengan seragam ketat. Seorang taruni melintas di depan saya dengan langkah tegas namun terlihat anggun. Lekuk tubuhnya telihat sangat jelas.
Pagi itu saya sebenarnya mencari LetJend. Purbo S. Suwondo, seorang mantan shoudancho PETA yang pagi itu menjadi pembicara sarasehan. Dia lelaki sepuh yang pada saat saya liputan ke Jakarta saya tumpangi tidur semalam. Saat saya menerbitkan BONANG, beliau saya kirimi salah satu. Ketika ia ada acara di Undip beliau menelfon supaya kami bisa bertemu. Katanya beliau juga mau memberi saya buku.
Letjen. Purn. Purbo S. Suwondo pernah menjadi komisaris utama Bank BNI 46. Ia memulai karir di militer di PETA, satu angkatan dengan almarhum Supriyadi. Pada tahun 70an ia menjadi gubernur Akmil. Katanya, ‘ijazah SBY dan Bibit Waluyo itu yang tandatangni saya itu, ‘
Pagi itu Pak Purbo datang ke Undip bersama Pak Oentarto, juga mantan Shoudancho PETA. Ada pula Ki Darmadi, adik kandung Supriyadi, dan Prof, Gunawan, seorang guru besar UGM. Sarasehan pagi itu bertajuk Sejarah keberadaan PETA dan peran sertanya bagi kemerdekaan Indonesia dan Peningktana Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Acara siang itu dibuka oleh ketua Yayasan PETA, Tinton Suprapto, pengusaha yang dua anaknya; Moreno dan Ananda Mikola menjadi pembalap nasional.
Tidak banyak yang saya mengerti dari pembicaraan mereka sebenarnya. Pak Purbo bicara terlalu bersemangat dengan membacakan sebuah buku kecil yang disusunnya. Hanya satu point penting barangkali yang harus saya ingat; PETA lahir dari kemauan keras bangsa Indonesia saat itu untuk merdeka.
Barangkali hal yang lebih menarik adalh pernyataan Ki Darmadi, adik almarhum Supriyadi. Ia mangatakan kalau kakaknya sudah dibunuh tentara Jepang dua hari setelah ia memimpin pemberontakan PETA di Blitar. “Jadi jelas salah kalau ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Supriyadi,” katanya sambil mengingatkan pada audiens pada Andaryoko Wisnuprabu, laki-laki dari Semarang yang 2008 lalu mengaku sebagai Supriyadi.
Sejarah, bagi saya adalah masa lampau. Itu adalah pelajaran berharga yang mestinya kita ambil hikmahnya demi kebaikan bangsa. Sejarah adalah pondasi kemajuan. “Tidak penting mengingat siapa lahir tahun berapa, tapi yang terpenting adalah peljaran apa yang bisa diambil dari peristiwa itu,” kata moderator yang tidak saya kenali namanya.
Saya sangat menghargai sejarah. Saya menjadi penggemar Soekarno, bukan hany karena dia pintar merayu wanita dan berorasi, tapi karena gagasannya visioner. Saya mengagumi Jenderal Besar Soedirman, bukan hanya karena dia berasal dari Purbalingga, tetapi karena karir militernya sama sekali tanpa cela. Barangkali, yang membuat saya agak berjarak dengan mereka, baik idiologi maupun pengetahuannya adalah karena tidak ada teks yang menghubungkan kami. Teks-teks sejarah tidak mampu saya lahap karena keterbacaannya rendah. “Memang, selama ini yang nulis sejarah kita justru orang luar,” kata Pak Purbo menanggapi pertanyaan saya.
Undip, 20 Januari 2010
Thursday, 21 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment