Thursday, 21 January 2010

Citra Memang Lebih Nyata Dari Aslinya

Hujan masih belum reda ketika malam menjelang Isya. Suara rintik hujan yang merujuh di atas gedung kantor BP2M terdengar keras mengalun bersama lagu Yogyakarta Katon bagaskara yang diputar Media Player. Jujur, saya tidak menikmati keduanya. Suara hujan, meski selalu saya sukai karena biasanya membawa kehidupan, tidak begitu saya dengarkan. Sedangkan lagu Yogyarakarta, yang mendendangkan betapa bersahajnya kota pelajar itu, berlalu begitu saja.

Siang tadi saya mengajar di YPI pukul 10.30 WIB hingga masuk waktu Dzuhur. Seteah itu saya memenuhi undangan diskusi di secretariat lembaga Studi Pers Indonesia (LeSPI) di Tanah Putih II/80. Di sana saya berdiksui dengan pakar komunikasi dari FISIP Undip, Triyono Lukmantoro dan Litbang Suara Merdeka, mas Anto dalam suasana yang hangat.

Di sebuah teras rumah yang didesain seperti balkon itu kami berdikusi. Seskali angin menyambar terasa sangat sejuk. Hadir juga teman-teman dari ilmu komunkasi Undip, Persma Manunggla Undip dan Persma UKSW Salatiga. Kami membahas pengawasan kepada media (media watching).

Sebagai orang lapangan, tema media watch relative baru di telinga saya. Tapi sangat menarik. Bukan sekadar karena pemantik diskusi adalah orang yang sangat berkompeten, tapi akrena tema itu penting bagi saya yang selama ini aktif di Persma dan berharap bisa berkarir di bidang jurnalistik.

Pada intinya kegiatan media watch dilakukan dengan mengawasi media, baik sender (redaksi), messege (text), maupun reader (pembacanya). Kegiatan itu dilakukan untuk melempar wacana kritis kepada masyarakat bahwa tidak semua media dapat dipercaya. Informasi yang ditawarkan media massa, baik elektronik, cetak maupun online tidak boleh ditelan mentah-mentah. Saat ini media telah dikotori oleh kepentingan-kepentingan lain. Berita telah menajdi komditas yang diperdagngkan, yang ukuran kebaikannya hanya dari keberterimaan masyarakat. Berita yang baik bagi mereka adalah berita yang menarik. Karena itulah pengelola media terjebak pada pemberitaan yang sensasional. Mereka seperti tidak lagi mempertimbangkan etika komunikasi dan mengukur akibat yang ditimbulkannya.

Begitulah media massa sat ini berkembang demikian pesat karena dipupuk semnagat kebebasan sehingga sering kelewatan. Terlalu bebas. Terlalu bebas!
Sepulang dari LeSPI saya bersama rekan dari Persma UKSW Yodi menuju jalan Pahlawan. Saya mengantarnya main karena katanya ia ingin nongkrong dulu sebelum pulang ke Salatiga. Kami duduk di depan angkringan nasi kucing ketika hujan turun sangat lebat. Jalan pahlawan tiba-tiba gelap. Bahu saya basah karena terpal atap angkringan itu bocor.

Dulu saya punya persepsi yang sangat baik tentang UKSW. Pertama, UKSW punya track record bagus melahirkan pemikir besar seperti Liek Wilardjo, Arif Budiman, dan George Junus Aditjondro yang sebulan terakhir heboh setelah menerbitakan buku Membongkar Gurita Cikeas.

Tapi perspesi saya ternyata terbantah oleh Yodi. Ia merasa UKSW sekarang tidak seperti dulu. Ia melukiskan harus berdesak-desakan saat kuliah karena kapasitas kampus yang sangat terbatas. Menurutnya, UKSW ideal untuk 4 ribu peserta namun memiliki sekitar 14 ribu mahasiswa. Karena itulah, uangkap Yodi, kelas di UKSW sangat gemuk. “Kadang smaapi 60 orang,” ungkapnya sambil menyeruput kopi susu yang dipesannya.

Di sinilah saya sadar berpata penting pencitraan. Persespi baik saya tentang UKSW hanyalah akibat pencitraan lembaga tersebut. Saya mengetahui UKSW dari media massa tapi belum sekalipun mengunjunginya. Karena itulah persepsi positif saya tentang UKSW masih terbentuk meki perguruan tinggi itu tidak secemerlang dulu.

Begitulah pencitraan bekerja menciptakan kepalsuan dalam otak orang. Saya kaget ketika Yodi berucap, “enak kuliah di universitas negeri seperti Unnes atau Undip, semangat membaca dan menulis mereka lebih tinggi kayaknya.” Saya tersenyum sendiri sambil membatin, “belum tahu dia.”

Rumah BP2M, 19 Januari 2010

No comments:

Post a Comment