Sejumlah kekhawatiran selalu mencuat tiap kali ujian nasional digelar. Siswa khawatir tidak lulus, sedangkan orang tua khawatir anaknya tidak lulus. Sekolah juga demikiran; khawatir jika indeks kelulusannya menurun. Namun banyak orang luput dari kekhawatiran yang substansial, bahwa pendidikan kita telah terjebak pragmatisme.
Pragmatisme berkembang di Eropa sebagai ajaran filsafat yang mengakui kebenaran sebagai sesuatu yang berguna. Ajaran ini mengatakan kebanaran sesuatu dapat diketahui dari kegunannya. Sejarah pragmatisme berkembang secara konotatif hingga kini, ‘menyihir’ penganutnya mengutamakan kegunaan sebagai landasan kebenaran.
Meski menolak, bahkan barangkali akan mengingkari, siswa dan kalangan pendidik kita juga menjadi penganut pragmatisme yang setia. Belakangan semakin banyak siswa yang hanya belajar menjelang ujian, baik ujian semester, sekolah maupun, nasional. Nyatanya mereka tidak melakukan penelaahan mendalam terhadap bidang yang dipelajarinya. Mereka mempelajari mata pelajaran tertentu hanya untuk mencapai tujuan jangka pendek, yakni ujian nasional.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan rupanya juga tak bisa lepas dari kerangka berpikir ‘asal cepat dan berguna’. Mereka melakukan aktivitas belajar sebagai formalitas, bukan sebagai kewajiban mengembangkan potensi siswa. Buktinya, jelang ujian nasional sekolah giat memberikan pelajaran tambahan mata pelajaran yang diujikan. Dalam konteks ini prinsip siswa sebagai pembelajar dilupakan demi tercapainya target kelulusan.
Jika mau mengaku, kebanaran pragmatis juga telah menjadi konvensi nasional. Konvensi ini bahkan dikukuhkan oleh pemerintah melalui badan standar nasional pendidikan yang menetapkan nilai minimal lulus. Dalam hal ini pemerintah telah berlaku lalim dengan menetapkan angka kelulusan minimal sebagai satu-satunya kebenaran untuk meluluskan siswa. Kenyataan ini menjadi pelik jika angka kelulusan yang dipatok pemerintah hanya sebagai upaya meningkatkan peringkat pendidikan nasional di mata internasional dengan mengabaikan prinsip belajar humanistik.
Selain pada ujian nasional jebakan pragmatisme pendidikan juga bisa kita baca ketika Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2008 lalu. Saat itu banyak pihak, termasuk para rektor, prikhatin mendapati 2.894 kursi jurusan pertanian di 47 perguruan tinggi negeri peserta SNMPTN kosong. Kenyataan ini ironis mengingat persaingan di jurusan lain sangat ketat.
Alasan bahwa ahli pertanian sulit mendapat pekerjaan rasanya terlalu absurd. Sebagai bidang yang kompleks, pertanian mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Terlebih karena perekonomian bangsa kita lebih banyak ditopang sektor pertanian. Perlu dicermati mengapa bidang ini, bagi generasi muda, seperti tidak memiliki bargaining dibanding bidang lain. Padahal, mahasiswa pertanian tidak hanya digodok menjadi petani, tetapi juga perencana bidang pertanian.
Menurunnya peminat bidang pertanian antara lain disebabkan oleh pergeseran persepsi belajar di kalangan pelajar. Mereka terjebak pemikiran pragmatis dengan menganggap pendidikan sebagai prasyarat mendapat pekerjaan. Padahal anggapan itu tak sepenuhnya benar.
Persepsi Keliru
Konstruktivisme mengartikan belajar sebagai proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Artinya, belajar yang berhasil diukur dari perubahan tingkah laku, berupa sikap, kebiasaan, pola pikir, dan penguasaan konsep. Namun belakangan, tampak telah terjadi pergeseran asumsi belajar. Anak muda –sebutan kolektif untuk pelajar dan mahasiswa- menganggap belajar sebagai prasyarat meraih nilai bagus. Dipikirnya, nilai bagus dapat mengantar mereka meraih masa depan yang lebih baik. Padahal angka-angka dalam laporan akademik belum tentu menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Kesalahan persepsi tampaknya juga dialami pengajar dan orang tua. Mereka terbiasa mengukur kesuksesan belajar hanya dari laporan akademik. Mereka membanggakan nilai yang tinggi tanpa tahu bagaiamana pemerolehannya. Parahnya, kecenderungan mendewakan nilai juga merambah lembaga. Sekolah biasanya hanya memberikan reward kepada peserta didik dengan nilai akademik tinggi. Padahal praktiknya angka-angka dalam laporan akademik hanyalah formalitas, bentuk pertanggungjawaban semu guru kepada orang tua.
Faktor lainnya adalah mentalitas. Masyarakat masih banyak yang menganut budaya bangsawan minded, dengan memanfaatkan gelar akademik sebagai pendokrak status sosial. Jika gelar kebangsawanan dianggap kuno dan hanya diraih melalui heritage (pewarisan), masyarakat melirik gelar akademik.
Kesalahan mempersepsikan belajar ternyata berakibat fatal. Dunia pendidikan kita hanya bisa melahirkan kaum terpelajar, bukan pemikir-pemikir yang handal. Upacara kelulusan juga hanya anualitas pendidikan, karena lulusannya tidak memiliki bekal memadai untuk menapaki karir profesional.
Momentum ujian nasional mestinya menjadi titik balik revitalisasi pendidikan. Saatnya lembaga pendidikan menempati posisi yang sebenarnya sebagai pusat perubahan sosial. Namun harapan itu tampaknya akan semakin sulit terwujud melihat pendidikan kita justru semakin dalam ditenggelamkan pragmatisme, kepentingan jangka pendek yang dangkal.
Untuk membebaskan pendidikan Indonesia dari jebakan pragmatisme diperlukan rumusan yang jelas sekaligus elegan. Pertama, mengembalikan pendidikan kepada rel yang sebenarnya sebagai proses yang memanusiakan manusia. Siswa adalah manusia dengan jiwa-jiwa kaya yang perlu mendapat fasilitas berkembang. Sangat tidak adil jika kekayaan cipta, rasa, dan karsa mereka tak dapat berkembang terhalang angka.
Kedua, karena pendidikan adalah proses yang terjadi secara individual dan kelompok kecil kebijakan pendidikan mestinya tidak dipukul rata. Ada puluhan juta siswa di Indonesia dengan puluhan juta karakter. Meski mereka hidup dalam sebuah komunitas berbangsa yang sama, mereka menempati teritorial yang berbeda. Karena perbedaan teritorial dan lingkungan juga menyebabkan kebutuhan dan perkembangan mereka berbeda. Saatnya kebijakan pendidikan diotonomikan pada diri pembelajar, bukan mendiktenya dari Jakarta.
Ketiga, mengembalikan pendidikan Indonesia menjadi pendidikan ke-Indonesiaan yang sempurna. Meski mondialisme menuntut setiap warga negara pintar mengikuti perkembangan zaman, bangsa Indonesia tak harus meninggalkan karakternya. Pendidikan Indonesia harus dirumuskan dengan mencermati kebutuhan bangsa, bukan mengimpor kebijakan lantas mendiktenya. Menciptakan bangsa yang cerdas tak boleh meninggalkan perilaku, sebab pendidikan tidak hanya tinemu tapi laku lan ngelmu.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment