Thursday, 14 January 2010

Mengapa Pemerintah Memaksakan UN?

Keputusan Presiden SBY untuk tetap menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) tahun 2010 meski dengan beberapa perubahan mengisyarakan keteguhan sikap pemerintah pada satu sisi. Namun pada sisi lain keputusan tersebut justru menggambarkan betapa keras kepalanya pemerintah. Meski telah dilarang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menuai protes dari pengamat pendidikan, bahkan diprotes oleh siswa di berbagai daerah pemerintah tetap ngotot.

Perdebatan panjang mengenai ujian nasional sebaiknya didudukkan pada substansi yang sebenarnya. Pertama, UN adalah alat evaluasi pembelejaran sebagai bahan pertimbangan mengambil kebijakan pendidikan. Bagi guru dan sekolah ujian dilakukan untuk mengetahui kesuksesan pembelajaran sehingga pada tahun-tahun berikutnya bisa menentukan metode pembelajaran yang lebih tepat. Sedangkan bagi birokrasi, mulai Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota hingga Departemen Pendidikan Nasional, hasil ujian diperlukan sebagai dasar membuat kebijakan pendidikan.

Kedua, UN hanya bagian kecil dari proses pendidikan sehingga tidak bisa dijadikan sebagai parameter tunggal mengukur keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana diungkapkan menteri pendidikan nasional M. Nuh, “Ujian nasional hanyalah pohon, sedangkan pendidikan nasional ibarat hutan (Kompas, 9 Januari 2010).” Maka sangat naif seseorang atau lembaga bisa mengukur kualitas hutan melalui satu pohon. Padahal hutan adalah habitat bagi beragam populasi, seperti rumput, semak belukar, bahkan hewan-hewan liar.

Dari dua tesis tersebut, perdebatan mengenai UN sebenarnya tidak lagi berada pada soal boleh dilaksanakan atau tidak, melainkan pada peran dan posisi UN bagi pendidikan. Mendudukan UN pada peran yang keliru sangat mungkin menjebak pendidikan pada pendangkalan proses. Dengan melaksanakan UN pemerintah telah mengabaikan proses belajar yang telah ditempuh para siswa.

Empat alasan
Pertanyaan muncul, mengapa pemerintah bersikeras melaksanakan UN meski kebijakan tersebut dianggap tidak tepat dan menuai penolakan bahkan sejak pertama kali digagas? Setidaknya ada empat alasan mengapa pemerintah begitu memaksakan diri.

Pertama, pemerintah tidak memiliki alternatif cara mengukur keberhasilan pendidikan selain UN. Padahal UN sudah terbukti tidak mampu merepresentasikan kondisi pendidikan yang sebenarnya. Misalnya, siswa yang dikenal cerdas di kelas justru tidak lulus UN sedangkan siswa yang dianggap guru kurang menguasai pelajaran justru dinyatakan lulus.

Sikap keras kepala pemerintah sebenarnya muncul karena pemerintah tidak punya cara lain mengukur keberhasilan pendidikan. Akibatnya, UN yang dalam pelaksanaannya lemah diberbagai aspek dipaksakan.

Kedua, muncul ketidakpercayaan dari pemerintah pusat terhadap pemeirntah daerah, sekolah dan guru. Meski memiliki keinginan menyerahkan otonomi kepada pemerintah daerah, buktinya pemerintah pusat masih ngganduli dan terkesan tidak percaya dengan pemerintah daerah, sekolah, dan guru.

Ketidakpercayaan kepada Pemda terkait dengan managerial dan kebijakan pendidikan lokal. Seolah-olah pemerintah kabupaten/kota tidak mampu merumuskan kebijakan pendidikan yang memenuhi kebutuhan lokal, nasional dan global sehingga perlu dikendalikan dari pusat.

Kepada sekolah pemerintah pusat tidak percaya dengan mekanisme penyusunan kurikulum di sekolah. Meski telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mestinya memberi otoritas lebih kepada sekolah, pemerintah masih menetapkan standar isi dan standar kelulusan yang berlaku secara nasional. Kebijakan ini menyiratkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap proses pembelajaran di masing-masing sekolah.
Terkait dengan guru, pemerintah tidak percaya kompetensi mengajar, mengevaluasi, dan memetakan kualitas pendidikan. Apalagi standar kompetensi guru, terutama guru sekolah dasar, masih di bawah rata-rata kompetensi ideal pendidik.

Ketiga, pemerintah memaksakan diri membuat standar pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan pemerintah seperti lupa bahwa wilayah Indonesia sedemikian luas dan sangat heterogen. Keragaman geografis dan sumber daya lokal pada akhirnya membuat kebutuhan pendidikan lokal beragam. Namun melalui standar kelulusan, pemerintah seperti ingin membuat standar pendidikan yang sama di seluruh nusantara, baik di Jakarta yang metropolis maupun di pedalaman Yahukimo yang terasing.

Keempat, pemerintah hanya mampu memandang proses pendidikan dari aspek managerial, namun menafikan aspek sosial, psikologis, dan filosofis. Hal ini terlihat pada proses pengambilan kebijakan pendidikan pada tataran makro. Pemerintah lalai bahwa proses belajar pada dasarnya adalah proses individual sehingga perlu dipetakan secara spesifik pada masing-masing individu dan tidak bisa dipukul rata.

Pemahaman terhadap aspek filosofis membuat pemerintah hanya tertarik pada hal-hal yang artifisial, seperti biaya pendidikan, fasilitas pendidikan, dan tingkat kelulusan. Padahal pada dasarnya proses pendidikan adalah proses perubahan sikap seorang individu dari keadaan tidak bisa menjadi bisa, tidak tahu menjadi tahu, dan kurang baik menjadi lebih baik.

Penilaian komprehensif
Banyaknya mudharat yang timbul akibat penyelenggaraan UN mestinya membuat pemerintah segera membuat sistem evaluasi pendidikan yang lebih komprehensif. UN telah terbukti tidak mampu mengukur kemampuan siswa secara utuh karena hanya mengutamakan aspek kognitif. Padahal aspek kognitif hanya salah satu bagian dari kompleksitas pribadi siswa.

Ujian nasional adalah bentuk kekerasan pemerintah kepada para siswa sehingga harus segera dihentikan. Para siswa yang menjadi korban telah diteror secara psikologis oleh UN sehingga menjadi tidak tenang melaksanakan proses belajar. Lebih dari itu, UN adalah ujud keinginan pemerintah untuk mengetahui peta kualitas pendidikan secara instan. Padahal, jika kita kembali pada teori belajar behavioristik dan humanisme, pendidikan adalah proses panjang, sedangkan proses tidak bisa dan tidak boleh diabaikan.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment