Thursday, 14 January 2010

Redudansi Pemberitaan Bom, Wajarkah?

Dua pekan setelah terjadi ledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton sorotan media tersita pada persitiwa yang menewaskan sembilan orang itu. Porsi pemberitaan di media, khususnya televisi, begitu dominan hingga mengalahkan pemberitaan tentang pemilu.

Sayangnya, keinginan besar televisi untuk memberi informasi terbaru seputar kasus ledakan bom tidak diimbangi dengan kemahiran jurnalistik yang patut. Pemberitaan yang berjejal di setiap waktu tidak berhasil membawa masyarakat pada pemaknaan baru karena berita yang disiarkan hanya pengulangn (repetisi). Berita yang telah disiarkan kembali ditayangkan untuk menunjukkan bahwa stasiun televisi ini adalah yang terdepan.

Redudansi pemberitaan bom ternyata cukup mengganggu kenyamanan masyarakat. Mereka tidak diberi alternatif untuk menyimak berita lain, meskipun mereka berhak dan menginginkannya. Pertanyaannya, mengapa televisi terus menerus menyiarkan berita yang sama meski esensinya telah diketahui masyarakat?

Pemberitaan bom yang berjejal berakibat buruk karena kengerian dalam peristiwa tersebut terus beredar di masyarakat. Televisi seperti menegaskan bahwa negara ini dalam bahaya dan terancam. Dari situlah bisa terjadi kepanikan dalam masyarakat karena harus terus menerus dihadapkan pada berita yang mengerikan. Apalagi kengerian berita sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, tercermin melalui kata ‘bom’, ‘potongan kepala’, ‘bunuh diri’, atau ‘tubuh yang berserakan’.

Teror Media
Jika pemberitaan telah berakibat buruk pada kondisi psikologis masyarakat, maka sesungguhnya televisi telah melakukan teror di atas teror. Televisi terjebak oleh strategi komunikasi publik yang telah dirancang teroris. Inilah alasan mengapa jaringan teroris memilih Indonesia sebagai wilayah medan perang mereka. Faktor kuncinya ada pada kelonggaran sistem pemberitaan dan pers Indonesia.

Teroris menganggap dirinya sedang terlibat dalam sebuah perang. Sebagaimana strategi perang modern, mereka memerlukan dukungan publikasi untuk mengokohkan pergerakannya sebagai gerakan yang benar. Mereka tidak sekadar menebar ketakutan, tujuan mereka juga mengendalikan publikasi isi pemberitaan agar mengarah pada pembenaran atas pergerakan mereka.

Jaringan teroris Noor Din M Top selalu mengidentifikasikan diri sebagai seorang Muslim dengan memanfaatkan atribut ke-Islaman. Ia berpenampilan layaknya Muslim, bergaul dengan para santri, dan memanfaatkan label jihad dalam pergerakannya. Citra itu ia manfaatkan untuk menjajaki kemungkinan pembenaran dan dukungan ideologis dari kaum Muslim yang jumlahnya besar di Indonesia. Lepas dari urusan apakah ia mendirikan sholat atau tidak, media telah membalut pergerakan Noor Din sebagai gerakan ideologi sehingga terkesan heroik.

Agar tidak terjebak pada pemaknaan seperti yang diatur teroris, agaknya kita harus merekonstruksi fakta yang telah disajikan media. Fakta-fakta yang ditemukan media harus diterjemahkan dengan lebih cermat agar tidak tergiring pada pembenaran ideologis atas gerakan teroris. Jika pada sebuah penggrebekan teroris selalu ditemukan buku-buku anti Amerika bukan berarti mereka memusuhi Amerika. Jika ia bergaul dengan para santri bahkan menikahi keluarga Kyai bukan berarti ia seorang Muslim. Fakta-fakta parsial itu bisa jadi telah direkayasa untuk mencitrakan gerakan mereka dilandasi ideologi.

Pemanfaatan media dalam kerja komunikasi teroris dapat kita lihat dengan mencermati kasus penculikan direktur Marcedes Benz pada November 1975 di Montoneros, Buenos Aires. Waktu itu, teroris melepaskan korban setelah mereka meminta korban mengiklankan di surat kabar Eropa, Washington, dan Meksiko tentang imperialisme ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di negara berkembang. Jadi jelas, bahwa tujuan utama teroris tidak bukan semata menciptakan kerusakan, tetapi juga berusaha untuk menguasai dan mengarahkan publikasi.

Etika Jurnalistik
Pekerja pers memang memiliki keinginan kuat untuk menyajikan fakta terbaru, tapi terjebak oleh ketidakmampuan mendapat informasi terbaru. Ini berakibat tidak baik karena pekerja pers akhirnya terjebak pada berbagai dugaan yang spekulatif.

Pada kasus ledakan JW Mariot dan Ritz Carlton media berspekulasi dengan mengungkapkan nama Nur Hasbi atau Nur Said sebagai pelaku bom bunuh diri. Namun dugaan itu terbukti keliru dan menjurus ke fitnah karena setelah polisi melakukan tes DNA pelaku bom dengan DNA keluarga Nur Hasbi ternyata tidak identik. Tidak bisa dibayangkan bagaimana keresahan yang dirasakan keluarga Nur Hasbi selama ini karena anggota keluarganya dituduh (diberitakan) menjadi pelaku bom bunuh diri. Tentu saja pemberitaan itu sangat mengganggu sehingga keluarga Nur Hasbi di Temanggung dan Klaten mengalami tekanan sosial yang berat sehingga harus mengasingkan diri.

Kalau tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik, kasus ini telah menunjukkan pelanggaran etika kerja jurnalistik. Setidaknya ada dua pelanggaran yang harus mendapat perhatian pekerja pers dan dewan pers. Pertama, sebagai sumber informasi yang kerap dijadikan kiblat pembenaran, media justru terjebak pada dugaan-dugaan yang dangkal. Media menggerakkan isu yang akhirnya tidak terbukti. Kedua, dugaan-dugaan tersebut telah menyeret pihak lain yang sebenarnya tidak memiliki sangkut paut dengan esensi berita.

Sungguh media ditempatkan dalam posisi yang sulit dalam menyikapi kasus ini. Karena itulah ada banyak hal yang harus dibenahi dalam sistem pemberitaan dan kerja pers kita. Diperlukan kearifan dari pengelola media saat memanfaatkan kebebasan pers yang dimilikinya.


Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara

No comments:

Post a Comment