Monday 1 February 2010

Dikotomi Gender Profesi Polisi

Wakapolri Makbul Padmanegara, Sabtu (15/8) lalu mengumukan penerimaan 400 taruna baru Akpol, baik dari sumber sarjana maupun SMA. Ia mengatakan ada kemungkinan tahun depan kuota tersebut ditambah karena Polri memerlukan tambahan personil. Namun pengumuman itu mengejutkan karena dari 400 taruna baru hanya 47 calon taruni yang lolos.

Kenyataan tersebut seperti merepresentasikan peran sosial perempuan di Indonesia belakangan ini. Meski secara kuantas jumlahnya dominan perempuan belum andil besar dalam kehidupan sosial masyarakat.

Seleksi taruna Akpol adalah seleksi umum yang dapat diikuti setiap pemuda dan pemudi di Indonesia. Profesi sebagai polisi juga termasuk profesi yang paling diminati. Terbukti, seleksi tarua tahun ini diikuti lebih dari 13 ribu peserta dari seluruh tanah air. Mestinya momentum tersebut dimanfaatkan pemuda-pemudi Indonesia untuk mengaktualisasikan diri. Namun kenyataannya hanya segelintir pemudi yang percaya diri mengaktualisasikan diri pada bidang ini.

Kecilnya keterwakilan perempuan dalam sekolah dinas kepolisian tersebut dapat dipicu oleh dua kemungkinan. Pertama, target penerimaan taruni (taruna putri) yang ditetapkan Polri memang hanya 10 persen. Angka 10 persen pun sebenarnya angka afirmasi untuk meningkatkan peran serta perempuan.

Kedua, citra profesi polisi ternyata masih lekat dengan maskulinitas. Pekerjaan sebagai polisi dianggap lebih patut dijalankan oleh laki-laki. Mereka dianggap lebih cakap menjalankan tugas pengamanan karena memiliki karakter fisik dan psikis yang kuat. Apalagi karena tugas polisi dikenal dekat dengan bahaya.

Jika anggapan tersebut berkembang hingga saat ini tentu tidak tepat lagi. Polisi memang punya tugas prinsip menjaga keamanan negara, namun tidak selalu identik dengan kekerasan. Kalaupun kekerasan sering mengiringi tugas polisi, itu hanya sebagai akibat. Ke depan, institusi Polri telah menunjukkan itikad untuk mengedepankan pendekatan humanis dalam melaksanakan tugasnya.

Citra maskulin pada polisi harus dilesapkan jika polisi serius menjadi aparat yang memasyarakat. Jika pandangan maskulin dipertahankan ditakutkan akan terjadi maskulinisasi kerja polisi. Maskulinisasi berarti memandang pekerjaan polisi sebagai pekerjaan yang jantan sehingga harus dilakukan dengan cara-cara jantan pula.

Dikotomi
Perbedaan fisik dan kondisi psikis pada laki-laki dan perempuan adalah kondisi alamiah yang membuat mereka tidak bisa disamakan. Apalagi karena fisik, menurut pemikir feminis Beauvoir dalam The Second Sex, adalah identitas gender yang paling diakui. Namun perbedaan fisik tidak semestinya menjadi argumen melakukan dikotomi terhadap perempuan.

Dalam berbagai film, khususnya yang diproduksi Hollywood, dipertunjukkan adegan action oleh polisi perempuan sangat mudah ditemukan. Mereka diceritakan bekerja pada lembaga keamanan elit seperti FBI, CIA, bahkan tentara nasional. Namun pemandangan tersebut tidak dilihat di Indonesia, setidaknya jika kita mengamati aksi penyergapan teroris di Temanggung, Jumat (7/8) lalu. Melalui pengamatan terhadap identitas fisiknya, hampir semua personil Densus 88 yang melakukan penyergapan adalah laki-laki.

Polwan di Indonesia lebih mudah dijumpai di kantor daripada di lapangan. Mereka bekerja sebagai staf kantor seolah-olah telah diseting sejak awal. Pos-pos yang mereka tempati juga pos ‘istimewa’, seperti administrasi surat-surat kendaraan, pembuatan SIM, atau uji kesehatan.

Dikotomi terhadap peran Polwan juga dapat ditemukan dengan mengamati pejabat teras Polri. Jabatan-jabatan strategis, baik di Mabes maupun Polda, masih didominasi laki-laki. Selama 63 tahun Polri eksis jabatan strategis di lingkungan Polri diwariskan dari laki-laki satu ke laki-laki lain. Dalam catatan, hanya Brigjen (Pol) Rumiyah (kapolda Banten) perempuan yang pernah menjabat sebagai Kapolda.

Kekangan Kultural

Kenyataan tersebut tentu tidak lepas dari identitas kultur perempuan Indonesia, yang dalam masyarakat patriarkhi ditempatkan sebagai warga kelas dua. Banyak orang menganggap profesi polisi tidak cocok bagi perempuan.

Keperkasaan kultur patraiarkhi dalam masyarakat Indonesia membuat perempuan tidak lahir sebagai perempuan, tetapi lahir menjadi perempuan. Artinya, identitas seseorang perempuan tidak dapat dibangun oleh orang perorang, tapi dibentuk oleh pandangan komunal yang kompleks.

Hal ini tidak bisa dianggap remeh karena kekuatan pandangan kultural ternyata bisa melampaui kekuatan hukum. Bisa saja tindakan seorang perempuan dibenarkan hukum, tapi belum dikatakan benar jika bertentangan dengan adat masyarakat setempat. Radhika Comaraswamy, pelapor khusus PBB yang melakukan penelitian isu gender di Indoensia pascareformasi, bahkan mengatakan hukum adat dan negara sering tak integratif mengawal hak perempuan.

Untuk melawan kekangan kultural yang demikian kuat tentu saja diperlukan kebijakan afirmasi yang lebih besar. Dalam seleksi taruna Akpol misalnya, perempuan tidak hanya dipandang sebagai seorang perempuan. Kenyataan membuktikan perempuan kerap menunjukkan sikap cancut tali wanda, yang dalam terminologi Jawa berarti kemampuan untuk bertanggungjawab dan memimpin. Tidak hanya melahirkan gagasan, perempuan terbukti mampu merancang konsep dan mengeksekusinya.

Pemahaman terhadap tugas pengamanan yang dilimpahkan kepada polisi juga perlu didudukkan kembali. Mengamankan tidak selalu berarti bergelut dengan kekerasan. Untuk mewujudkan Polri yang memasyarakat, tugas pengamanan mestinya diprioritaskan pada upaya preventif.

Untuk mencegah tindak kejahatan dan meredam potensi konflik, perempuan memiliki keunggulan alami. Karena kekuasaan perempuan pada dasarnya bisa menyentuh jiwa dan dimensi ruhaniah yang paling dalam, kehadirannya bisa lebih efektif dalam upaya pencegahan kejahatan. Keunggulan ini yang harus segera disadari agar berlaku menjadi salah satu sendi penting kerja polisi.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara

No comments:

Post a Comment