Pentas politik kita membentangkan sejarah panjang yang unik dan amat rumit. Namun bentangan itu hanya memberi kesempatan kepada beberapa perempuan untuk mencatatkan namanya. Kita hanya mengenal RA Kartini sebagai pejuang emansipasi, Cut Nyak Dien pejuang wanita yang gagah berani, serta beberapa perempuan pejuang lain. Sedangkan dalam pentas diplomasi, perempuan justru tetap dikondisikan sebagai yang kedua. Bahkan isu perempuan hanya dipandang menarik menjelang Pemilu, itupun sebatas retorika.
Perdebatan tentang perempuan dimulai ketika capres dan cawepres terjebak isu tentang jilbab beberapa waktu lalu. Isu itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mampu merepresentasikan kepentingan umum kaum hawa. Padahal, jilbab adalah otoritas masing-masing perempuan, tak perlu dipolitisasi dalam kampanye.
Perempuan tetap menjadi makhluk “seksi” bagi para Capres karena jumlahnya yang besar. Perbandingan calon pemilih laki-laki dan perempuan pada Pilpres 2009 sekitar 40:60. Oleh karena itu isu perempuan menjadi perhatian, setidaknya sebagai upaya menggarap potensi suara.
Mengemas isu perempuan dalam kampanye memang sebatas permainan logika politik, sejauh ini. Seolah, isu tentang wanita hanya diperlukan dalam upaya memperebutkan suara. Nyatanya hingga kini tidak ada Capres yang memiliki rencana kerja nyata dalam pemberdayaan perempuan. Isu-isu yang muncul justru hanya menjadi bagian dari dinamika politik, tidak sampai ranah kerja yang nyata.
Banyak orang bilang Prita Mulyasari beruntung karena kasus hukum yang memintanya terjadi jelang Pilpres. Prita mendapat perhatian besar dari elit politik sehingga mendapat dukungan luas dari masyarakat. Karena itulah ia akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan dan berencana menuntut balik RS Omni Internasional yang telah mengirimnya ke penjara. Jika kejadian yang menimpa Prita terjadi setahun yang lalu, atau setahun kemudian, mungkin ia akan bernasib lain.
Keberuntungan serupa dialami Siti Hajar, seorang Tenaga Kerja Wanita asal Garut yang mendapat kekerasan oleh majikannya di Malayisa. Kasusnya mendapat perhatian besar dari sejumlah elit politik, tak terkecuali capres incumbent SBY. SBY bahkan menyempatkan waktu menelfon Siti yang kini sedang dirawat di Rumas Sakit Universitas Malaya, Kuala Lumpur (Suara Merdeka 12/6).
Jika musibah yang menimpa Siti terjadi jauh hari sebelum masa kampanye, nasibnya mungkin akan sama dengan rekan-rekan TKW lainnya. Mereka mendapat perlakuan kurang baik, namun nihil perhatian.
Politik progender
Dalam kampanye Pilpres isu gender memang bukan isu paling menarik, setidaknya jika dibandingkan dengan isu ekonomi. Sampai saat ini ketiga capres belum satupun yang berani melahirkan platform politik berbasis gender. Kalaupun ada, platform tentang perempuan hanya melekat sebagai pendukung program bidang ekonomi dan kesejahteraan. Perhatian elit politik pada perempuan, termasuk Prita dan Siti, masih menjadi formalitas politik belaka.
Kurangnya perhatian elit politik terhadap perempuan juga dipengaruhi keterwakilannya dalam pentas politik. Hingga kini politik masih didominasi laki-laki, tak sekadar dalam jumlah tetapi juga peran. Menurut Triyono Lukmantoro (Kompas 12/6) pembagian secara biner (duaan) ini mengandaikan perempuan yang berada di ruang privat sehingga bercorak natural, sedangkan pria berada di ruang publik sehingga bersifat kultural.
Ketimpangan peran politik perempuan juga dipengaruhi kultur patrilineal kita. Meski demopkrasi memberi akses yang sama kepada perempuan untuk memperjuangkan haknya melalui politik, hingga sekarang perempuan Indonesia masih terbatas peran kulturnya. Sejumlah perempuan Inonesia tidak punya kesempatan sama dengan laki-laki karena terhalang perannya sebagai ibu dan istri.
Meski pentas politik negara kita tak pernah diklaim berbasis gender, masih ada saja dikotomi perempuan dan laki-laki. Anehnya, isu tentang perempuan-yang menjadi mayoritas pemilih-justru sebatas retorika. Perempuan Indonesia hanya disebut jika kampanye karena memiliki potensi suara yang menjanjikan
Retorika Politik
Retorika memang keniscayaan jualan politik, karena merupakan strategi kampanye. Akibatnya, isu perempuan seolah hanya pantas diorasikan dan dikomantari. Kasus Siti Hajar dan Prita Mulyasari pun akan lesap setelah hingar bingar kampanye Pilpres. Setelah pemilu selesai, toh mereka akan menajdi wanita minim perhatian seperti sebelumnya.
Mengingat Pilpres masih berselang hampir satu bulan, selain jilbab, Siti, dan Prita akan muncul isu lain tentang perempuan. Namun bisa dipastikan sama, semuanya akan berakhir sebagai wacana. Semua calon presiden, mau tidak mau, pasti akan berbicara tentang perempuan dalam kampanyenya. Mereka akan mengatakan bahwa perempuan sangat berharga bagi bangsa, kunci suksesnya pembangunan, juga tonggak kebahagiaan keluarga. Bahkan untuk mengkombinasikannya dengan ekonomi, akan muncul kata-kata pemberdayaan wanita. Namun semua itu hanya beredar dari panggung kampanye satu ke panggung lainnya.
Patutlah kita berharap perempuan Indonesia bisa menjadi prioritas pembangunan bangsa. Setidaknya, dari panggung kampanye pembicaraan tentang perempuan berlanjut di DPR untuk merumuskan pemberdayaan perempuan alam arti yang sebenarnya. Setidaknya, agar nama-nama Prita atau Siti Hajar tak hanya mengemuka lima tahun sekali.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 1 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment