Ada puluhan persoalan gender mendasar yang hingga kini belum dapat diselesaikan dengan baik di Indonesia. Selain diskriminasi di bidang sosial-ekonomi, perempuan dihadapkan pada masalah perspektif. Melalui tulisan berjudul Berharap pada Kementerian Perempuan pada kolom ini (Rabu, 14/10) Faizi seperti membebankan masalah tersebut kepada Kementerian Perempuan meski rekam kerjanya sebenarnya tidak terlalu baik.
Sebagai sebuah lembaga negara, Kementerian Perempuan memang punya otoritas membuat kebijakan, dari urusan tata sosial hingga urusan paling pribadi seperti kekerasan seksual. Sayangnya, Kementerian Perempuan juga punya sejumlah keterbatasan sehingga tidak patut diharapkan menjadi juru selamat bagi perempuan Indonesia.
Pertama, Kementerian Perempuan adalah bagian dari pemerintahan yang terkait erat dengan dinamika politik. Akibatnya, perspektif lembaga ini selalu sama dengan perspektif penguasa. Bisa jadi kementerian ini justru akan dimanfaatkan penguasa untuk membangun citra positif dan memasifkan kekuasaannya.
Hubungan yang tidak sehat ini dapat kita amati ketika posisi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menjadi rebutan oleh sejumlah partai anggota koalisi. Pos menteri dijadikan tanda terima kasih presiden terpilih kepada partai pendukungnya. Maka pertimbangan pemilihan menteri akan didominasi logika politik sehingga kerap menafikan kepentingan khalayak. Bisa jadi, menteri Pemberdayaan Perempuan yang terpilih adalah utusan partai yang pemahaman gendernya kurang mumpuni.
Pos menteri perempuan idealnya diisi oleh perempuan yang mengerti benar pelbagai masalah perempuan, makro maupun mikro. Tidak hanya pemahaman secara manajerial, menteri harus mampu memahami perempuan secara sosial, budaya, dan filosofis. Sebab, masalah gender adalah masalah yang kompleks. Tidak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi menyangkut persoalan budaya dan keasadaran.
Kondisi inilah yang membuat Kementerian Perempuan tidak patut dijadikan satu-satunya harapan terurainya berbagai persoalan gender. Menteri yang diutus partai biasanya cenderung berpikir sistematis-birokratis berdasarkan logika untung rugi. Akibatnya, kebijakan yang dirumuskan terintervensi oleh dua kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah dan partai. Padahal persoalan perempuan (dan anak) menuntut ketulusan dan objektivitas.
Kedua, pos menteri perempuan hingga saat ini masih bersifat logosentris. Pos menteri ini seperti sengaja diisi oleh perempuan hanya untuk memunculkan kepedulian pemerintah terhadap perempuan. Padahal dalam praktiknya, kepentingan perempuan justru banyak ditentukan oleh menteri bidang lain.
Contoh paling konkrit dapat diamati ketika ibu-ibu memprotes kenaikan harga elpiji. Sebagai pihak yang berkepentingan langsung dengan elpiji perempuan hanya bisa mengadu. Mereka tidak memiliki saluran aspirasi yang akomodatif karena pemegang otoritas harga elpiji adalah Pertamina atau Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sedangkan Kementerian Perempuan, yang mestinya berpikir dan bertindak untuk kepentingan perempuan, tidak cukup kuat memveto keputusan itu.
Hal serupa dijumpai pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang banyak menimpa perempuan. Meski korban kekerasan adalah perempuan, Kementrian tidak berhak melakukan intervensi apapun. Apalagi sebagaimana sering mencuat dalam diskursus tentang hukum, tidak ada afirmatif action dalam penegakan hukum.
Masalah kesadaran
Tanpa maksud menafikan kerja Kementerian Perempuan selama ini, lembaga ini patut dikritisi karena lebih banyak bekerja pada tataran makro. Keasyikan mengurus undang-undang dan beragam regulasi membuat lembaga ini seperti lalai pada persoalan perempuan di akar rumput. Apalagi sebagai kementerian negara, lembaga ini tidak memiliki tangan cukup panjang (misalnya di tingkat desa) untuk mengurai persoalan mikro seperti kesehatan reproduksi, kekerasan rumah tangga, atau diskriminasi sosial.
Akibatnya, meski pemerintah beritikad memberi penghormatan tinggi kepada perempuan melalui kebijakannya, masalah mendasar masih menjadi momok. Contohnya, sampai sekarang angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara, yakni 470 per 100 ribu persalinan. Umumnya kematian terjadi karena tiga hal, yakni tekanan darah tinggi, pendarahan, dan infeksi pascapersalinan.
Selain itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditekan. Zona Migran , sebuah lembaga perlindungan perempuan, mencatat 2007 hingga 2008 telah terjadi 383 kasus KDRT di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut KDRT terbesar dterjadi di Semarang yang mencapai 92 kasus. Angka ini bisa meningkat fantastis mengingat kasus KDRT yang terlaporkan diyakini hanya sebagian kecil dari KDRT yang ada.
Kedua masalah tersebut mestinya bisa ditekan Kementrian Perempuan karena sangat konkrit. Di luar dua masalah tersebut, ada sejumlah masalah sosial-kultural yang agaknya sulit dibaca dan diatasi Kementrian. Misalnya, pada kelas masyarakat tertentu perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. Mereka terkungkung legitimasi mitos, tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan mengalami beban sosial.
Maslah kultural akan sulit diatasi karena tidak sesuai dengan pendekatan birokratis yang selama ini dikembangkan Kementerian. Masalah kultural mestinya diatasi dengan membangun kesadaran dan budaya. Sedangkan selama ini kementrian lebih banyak berlaku sebagai policy maker, buka pembangun kesadaran.
Harus diakui, salah satu sebab kemampatan aspirasi perempuan adalah rendahnya keterwakilan di lembaga eksutif, legislatif, dan yudikatif sehingga kebijakan yang dihasilkan pemerintah tidak sensitif gender. Sedangkan satu atau dua perempuan yang berkesempatan duduk di lembaga-lembaga tersebut tidak mampu mewakili kaumnya karena terbebani kepentingan partai atau lembaga.
Karena itulah, perjuangan gender harus mulai beralih dari birokrasi ke gerakan sosial di tingkat akar rumput. Perempuan harus membangun kekuatan lokal yang masif sebelum membangun kekuatan nasional. Dibandingkan terus berharap pada Kementrian Perempuan, cara ini lebih realistis sebab pemerintah tidak lagi melakukan depolitisasi, homogenisasi, dan hegemoni terhadap pergerakan perempuan seperti pada masa Orde Baru.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 1 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment