Monday, 1 February 2010

Otoritas Kepemilikan Tubuh Perempuan

Melalui biografi berjudul My Life My Secret Krisdayanti (KD) membentangkan pengakuan mengejutkan, termasuk operasi plastik yang pernah dilakukannya. Pengakuan itu memicu pro dan kontra dari anggota masyarakat seolah-olah mereka punya kepentingan. Bukan semata-mata karena KD seorang public figure, perhatian besar dari masyarakat tersedot karena ia perempuan.

Pihak yang pro mengatakan tindakan KD sebagai sebuah kewajaran. Ia memiliki hak tampil cantik meski harus melakukan operasi plastik. Toh selain KD, ratusan perempuan melakukan hal yang sama untuk memperindah penampilannya. Apalagi KD adalah pekerja hiburan yang dituntut harus selalu tampil sempurna.

Sedangkan pihak yang kontra menganggap tindakan KD sebagai sesuatu yang berlebihan, bahkan berpotensi haram. Sebagai perempuan ia kurang mensyukuri tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Padahal ia memiliki tubuh yang baik, dalam arti sehat dan menarik. Bahkan jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia umumnya, tubuh KD terhitung proporsional.

Berbagai tanggapan yang mengemuka membuktikan KD menjadi objek pembicaraan yang menarik. Namun komentar-komentar tersebut juga membuat KD seperti kehilangan otoritas atas tubuhnya. Masyarakat tiba-tiba memberikan tanggapan seolah-olah mereka punya kepentingan atas tubuhnya.

Menurut pandangan Karen Johnson dan Tom Ferguson dalam Thrusting Ourselves hilangnya otoritas pemilikan perempuan atas tubuhnya dipengaruhi banyaknya kepentingan yang berafiliasi di sana. Apalagi dalam dunia budaya pop, tubuh perempuan di setting sebagai representasi suatu benda, produk atau komoditas yang dimaksudkan untuk dijual. Maka, baik penjual, calon pembeli, maupun broker yang menjadi perantara keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.

Tampaknya memang sembrono, tapi dalam tren budaya pop, tubuh perempuan memang telah menjelma menjadi komoditas. Ia diperbincangkan oleh masyarakat sebagai benda yang memiliki daya jual. Padahal dalam konsep de Beauvoir, konsep identitas tubuh sangat penting untuk memahami penindasan yang terjadi dalam ketidaksetaraan gender. Sebab, melalui fungsi tubuhlah identitas gender diciptakan.

Otoritas tubuh
Sebagai perempuan, KD tentu punya hak tanpa batas atas dirinya. Namun peran ganda sebagai ibu, istri, sekaligus public figur membuat ada pihak-pihak lain yang punya hak dan perlu didengar pertimbangannya. Karena itulah ada anggota masyarakat yang merasa berhak protes, mengeluh, mendukung, atau bahkan menghujat saat KD memberi perlakuan pada tubuhnya.

Keterlibatan pihak lain dalam otoritas kepemilikan tubuh perempuan juga disebabkan oleh tugas dan etika dalam masyarakat. Jika perempuan juga seorang istri, sang suami punya sebagian hak. Sedangkan jika ia seorang ibu, apalagi sedang hamil dan menyusui, anaknya memiliki kepentingan atas tubuhnya.

Lalu bagaimana dengan anggota masyarakat yang merasa memiliki kepentingan atas tubuh perempuan? Apakah mereka juga punya hak mengintervensi?

Tentu saja tidak sebab kepentingan masyarakat hanya sebatas etika pergaulan. Masayarakat hanya punya hak berkomentar jika seorang perempun memperlakukan tubuhnya hingga menyalahi etika. Di luar sebab itu masyarakat tidak punya hak apapun karena kepentingan mereka tidak diatur dalam relasi hak dan kewajiban.

Janice Winship dalam Sexuality for sale (1980) mengatakan, perempuan tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi menikmati pandangan orang lain di sekitarnya. Peremp[uan, seolah-olah, tidak pernah mampu menentukan identitas siapa diri mereka dan bagaimana mereka semestinya. Bentuk tubuh, rambut, pakaian, kosmetik yang dipilih, dan cara berperilaku selalu mereka sesuaikan dengan anggapan orang lain supaya terkesan cantik atau baik.

Komodifikasi

Paradigma inilah yang sering menjebak perempuan dalam komodifikasi tubuh. Perempuan menganggap pandangan orang lain terhadap tubuhnya sebagai sesuatu yang penting sehingga penilaian tentang baik dan tidaknya perempuan sering hanya didasarkan pada tingkat estetika tubuh. Ketika pandangan orang lain berubah, perempuan juga merasa perlu mengubah penampilannya.

Problem ini muncul bukan semata-mata karena perempuan secara alamiah ingin membanggakan estetika tubuhnya, tetapi juga perspektif patriarkhi yang masih mengakar dalam masyarakat kita. Tubuh perempuan terasa penting dipersoalkan karena laki-laki punya kepentingan untuk mempersoalkannya.

Karena KD adalah public figure, pihak yang punya kepentingan untuk mempersoalkan tubuh dan penampilannya tentu tidak hanya suami dan anak-anaknya. Tubuh KD telah menjadi bagian dari industri huburan yang digelutinya, sehingga artist agency tempatnya bernaung, lawan main, agen iklan, label rekaman, produser, hingga penggemar punya kepentingan. Mereka ingin tubuh KD tetap ideal sesui kepentingan mereka. Jika sewaktu-waktu KD mengubah tubuhnya tentu mereka merasa berhak komplain.

Hilangnya otoritas atas tubuh adalah keniscayaan bagi pekerja industri yang melibatkan tubuh sebagai modal atau penunjang karirnya. Ini menjadi konskuensi yang tak dapat dihindari karena sedikit sekali pemilik modal yang memandang objektif kemampuan perempuan. Tubuh yang indah dan enak selalu dipandang wajib dimiliki perempuan untuk melejitkan karir keartisan.

Inilah konskuensi bagi KD, juga ribuan perempuan lain yang telanjur melibatkan tubuhnya sebagai komoditas karir dan pencitraan. Toh, konskuensi ini agaknya dianggap sebanding dengan pencapaian popularitas dan harta mereka.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment