Konotasi kata kampung tampaknya terus berarak mengikuti asumsi penutur bahasa Indonesia. Awalnya kampung digunakan untuk menjelaskan kondisi geografis, berupa daerah pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk kota. Belakangan kata itu berkembang pada ranah lain, yakni untuk menandai sikap dan perilaku seseorang. Karena itulah muncul istilah ‘kampungan’.
Konotasi kampung juga kerap dilekatkan pada perempuan. Umumnya citra perempuan kampung dekat dengan perempuan desa yang tindak-tanduknya mencerminkan kehidupan desa. Sejumlah film memvisualkan perempuan kampung dengan gadis berkebaya dengan bawahan kain. Tidak jarang kesan itu diperkuat dengan ornamen berupa gendongan, caping, atau rantang makanan.
Persoalan muncul ketika citra perempuan kampung keliru saat dilekatkan. Mengingat ada perbedaan citra antara perempuan kampung dan kampungan, tentu saja akan muncul persoalan jika keliru menggunakannya. Lantas bagaiman citra tersebut mempengaruhi persoalan kehidupan perempuan?
Beberapa profesi yang jamak digeluti perempuan lekat dengan citra kampung, seperti penata laksana rumah tangga, penjual jamu gendong, atau pemetik teh di perkebunan. Kesan yang dilekatkan itu akan tampak tidak selaras dengan semangat egaliter yang menjunjung tinggi kesamaan derajat dalam keberagaman. Barangkali para penata laksana rumah tangga, penjual jamu gendong, atau gadis pemetik teh sendiri tidak terlalu senang dengan citra kampung yang dilekatkan kepadanya. Apalagi jika makna kampung dan kampungan dipahami sebagai sinonim.
Istilah kampungan umumnya digunakan dalam pembicaraan tentang sikap, bukan geografis. Oleh para penutur bahasa, ‘kampungan’ disepakati unuk menunjukkan sikap yang ndeso, tidak berpengalaman, gagap teknologi, atau gumunan. Namun karena konotasi tak pernah berhenti, kata kampungan juga lekat dengan sikap urakan dan tidak tahu aturan.
Pencitraan media
Dikotomi perempuan kampung muncul tak lepas dari peran media. Media memunculkan citra perempuan kampung sebagai subordinat perempuan kebanyakan yang dicitrakan anggun dan penuh pesona. Jika ditinjau dengan lebih skeptis, bukan tidak mungkin citra tersebut muncul karena kejenuhan pada citra perempuan yang umum; anggun dan mempesona. Untuk keluar dari kebosanan itulah media mengangkat perempuan kampung sebagai alternatif kesan perempuan pada umumnya.
Harus diakui media punya peran besar dalam menentukan bahkan mengubah persepsi masyarakat. Jalaludin Rahmat memang pernah mengatakan media tak dapat difungsikan sebagai khotbah, namun kenyataan membuktikan kebenaran persepsional masyarakat seringkali berkiblat pada media.
Dalam kaitannya dengan citra perempuan, media tidak bisa melepaskan jati dirinya sebagai male industry. Sampai sekarang pekerja media bahkan didominasi oleh laki-laki. Kalaupun ada perempuan yang bergelut di media, mereka ditempatkan di pos-pos tertentu untuk mengasuh rubrik yang khusus dibuat untuk perempuan, seperti kuliner, busana, atau kecantikan.
Tri Marhaeni (2008; 61) mencatat dominasi pria pada industri media tak hanya pada peran, tetapi juga jumlah. Ia mengambil contoh pada profesi wartawan, sebagai ujung tombak industri media, di sepuluh surat kabar. Ia menyajikan fakta bahwa profesi jurnalis masih didominasi pria. Hanya ada 10,94 persen jurnalis perempuan dari 1.161 wartawan di Indonesia yang menjadi objek penelitiannya.
Dominasi pria pada industri media berpengaruh pada perspektifnya dalam memandang perempuan. Maka, meski media selalu berusahan menempatkan diri sebagai industri progender, persepktifnya dalam memandang gender adalah perspektif pria. Itulah yang membuat media kadang sewenang-wenang menciptakan berbagai citra pada permpuan.
Komposisi tak berimbang antara laki-laki dan perempuan pada media juga berpotensi melahirkan struktur kerja yang biasa gender. Media yang didominasi oleh laki-laki akan melahirkan pembagian kerja yang cenderung maskulin. Akibatnya, posisi-posisi strategis akan di isi oleh laki-laki. Jika kondisi ini terus menerus bertahan industri media dikhawatirkan tidak mampu merepresentasikan netralitasnya.
Citra kampung yang diangkat media adalah bagian dari perspektif bias gender. Buktinya, media tidak pernah melahirkan dikotomi untuk pria kampung. Berkebalikan dengan itu, media justru memunculkan konotasi positif dari seorang laki-laki, termasuk pria metroseksual yang merujuk pada laki-laki yang gemar berdandan.
Lantas bagaimana melakukan perlawanan terhadap konotasi negatif yang lekat pada perempuan kampung? Cara paling bijak adalah dengan menetralkan konotasi tersebut, dengan mengembalikan makna kampung pada ranah geografis. Perempuan kampung adalah perempuan yang berasal dari kampung atau desa. Dengan demikian dikotomi perempuan kampung tidak lagi menyudutkan karena laki-laki dari kampung atau desa juga bisa mendapatkan gelar serupa.
Kalaupun kampung tidak bisa kembali pada makna geografis, sepatutnya kesan itu tetap berada pada titik yang netral. Kampung, sebagaimana kampungan, berkembang untuk menunjukkan sikap yang ndeso, gagap teknologi, atau gumunan. Dengan begitu dikotomi pada istilah perempuan kampung tidak lagi bias, tapi netral.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 1 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment