Monday, 1 February 2010

Peluang Perempuan di Pilkada 2010

Pada tahun 2010 setidaknya ada 17 kabupaten/kota yang dijadwalkan menggelar pemilihan kepala daerah. Tidak hanya kaum adam yang tampil sebagai bakal calon, sejumlah perempuan di berbagai daerah juga menunjukkan komitmen untuk meramaikan bursa pemilihan bupati dan walikota. Sebagaimana pemimpin lain, mereka tidak bisa dipandang sebelah mata karena memiliki karakteristik kepemimpinan sendiri.

17 daerah yang akan melangsungkan Pilkada antara lain Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan dijadwalkan 5 Juni, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal 26 Juni, Rembang, Kota Magelang, Sukoharjo, Blora, Boyolali, Pubalingga, dan Surakarta pada 27 Juni.
Selain itu Pilkada juga dijadwalkan berlangsung di Kabupaten Semarang pada 31 Agustus, Wonosobo 4 September, Wonogiri pada 17 September, Klaten tanggal 24 September, dan Pemalang 27 November.

Sebagai kepala daerah, perempuan memiliki cara pandang tersendiri terhadap sebuah persoalan. Karakater tersebut tentu tidak dapat didikotomikan dalam dua bentuk biner kepemimpinan maskulin atau feminis, tapi juga karakter lain yang unik. Sebab secara biologis dan psikologis perempuan memiliki keunikan.

Hennig dan Jardim dalam The Managerial Woman mengatakan, kebanyakan wanita melihat dirinya sebagai seseorang yang ragu, bimbang, bingung akan tujuan-tujuan mereka dalam hidup, dan menunggu dipilih atau disadari keberadaannya oleh pria. Mereka tidak suka mengambil risiko dan mudah gelisah dalam situasi genting di mana mereka tidak mengetahui banyak hal. Karakter ini tentu sangat berbeda dengan laki-laki yang asertif, agresif, dan berani mengambil risiko.

Oleh karena itu, setidaknya ada dua syarat supaya perempuan sukses menjadi pemimpin. Pertama, mereka dididik dengan cara yang berbeda untuk mengenali potensi kepemimpinan yang ada dan telah belajar untuk memimpin jauh hari sebelum ditetapkan menjadi pemimpin. Proses yang matang dalam berbagai kondisi menjadikan perempuan lebih mantap dan menyadari bakat kepemimpinannya. Sebab, perempuan tidak terlahir sebagai perempuan, tetapi lahir menjadi perempuan yang dibesarkan proses.

Kedua, pemimpin perempuan harus menempati pos sesuai bidang keahliannya. Sebab, perempuan memiliki kecenderungan memilah sesuatu sesuai keahlian dan kesukaannya. Meski mereka terlatih mengakomodasi berbagai kepentingan, pemimpin perempuan seringkali mengidentifikasi sesuatu sesuai kesukaannya. Jika ditempatkan pada pos yang keliru mereka dikhawatirkan merumuskan konsep secara parsial. Padahal seorang pemimpin harus berpikir holistik karena permasalahan yang dihadapi sebuah daerah sangat kompleks.

Emosional
Kondisi psikologis lain yang distigmakan kepada perempuan adalah mudah emosional. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepekaan perasaan perempuan terhadap sebuah kondisi. Bahkan berangkat dari kondisi tersebut sebuah adagium lama mendeskripsikan besarnya kendali perasaan terhadap diri perempuan. ‘Laki-laki memiliki sembilan pikiran dan satu perasaan, sedangkan perempuan punya satu akal dan sembilan perasaan,’ katanya.

Ekspresi emosional pernah ditunjukkan Direktur Utama Pertamina perempuan pertama Karen Agustiawan pada awal masa jabatannya. Saat melakukan rapat kerja dengan Komisi VII DPR Karen tersinggung karena kemampuannya dianggap sama dengan satpam. Tidak tahan membendung kesedihannya, Karen menangis saat diwawancara wartawan beberapa saat setelah rapat kerja selesai.

Empati dan emosional yang besar memang bisa berfunsgi ganda bagi seorang pemimpin. Di satu sisi emosional memperlihatkan kelemahan pemimpin yang tidak tahan terhadap tempaan. Padahal sebagai pengambil keputusan ia harus tetap tegar, tangguh, dan kuat menghadapi kemungkinan terburuk supaya bisa menguatkan jajaran yang dipimpinnya.
Meski demikian, empati yang besar juga bisa membuat perempuan merasa begitu dekat dengan bawahannya. Secara alamiah ia bisa merasakan penderitaan orang lain sehingga berusaha membuat keputusan terbaik sekalipun harus mengorbankan sebagian kepentingan pribadinya.

Selain itu, kepekaan perempuan terhadap kondisi di sekitarnya mampu melahirkan gaya kepemimpinan partisipatif. Studi yang dilakukan Lyon (2000) kepada para kepala sekolah dan manajer perempuan mendeskripiskan mereka sebagai sosok yang supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Keenganan mereka bekerja sendiri membuat pemimpin perempuan mampu membuat tim yang solid dan selektif menentukan delegasi.

Kombinasi sempurna
Meski kekhasan psikologis perempuan menyiratkan kelemahan memimpin, namun jika dipadupadankan dengan pengetahuan dan keterampilan, sikap tersebut bisa menjadi kombinasi yang sempurna. Empati yang didukung keterampilan membuat mereka mampu bekerja keras dan rasional mengambil keputusan. Mereka tidak akan menjadi diktator yang arogan meski kekuasaan yang dimilikinya cukup besar.

Pemimpin perempuan lebih melihat jabatan yang dimilikinya sebagai organisator bukan manajer. Mereka menganggap kerja keras sebagai bentuk pelayanan terhadap komunitas, bukan untuk memperkuat diri tetapi sebagai timbal balik atas sesuatu yang diperolehnya dari komunitas.

Shakeshaft (1989) menunjukkan organisasi yang dipimpin perempuan lebih mudah berkembang karena setiap detail potensi dapat dilihat dan dikembangkan. Solidaritas yang dibangun perempuan dengan melakukan kontak yang intens dengan atasan, bawahan, dan mitra membuat organisiasi mudah berkembang. Organisasi juga akan lebih solid karena perempuan lebih peduli dan berusaha menghargai perbedaan individual.

Kenyataan tersebut mestinya bisa membuktikan bahwa kepemimpina perempuan tidak perlu diragukan. Gugatan yang sering ditimpakan kepada perempuan mestinya tidak berkisar pada perspektif feminis atau maskulin. Gugatan bisa saja terus terjadi sebagai keniscayaan demokrasi, namun harus digeser pada persoalan kapabelitas, rekam jejak, dan komitmen. Ketiga hal tersebut toh harus dipertanyakan kepada setiap pemimpin, apapun jenis kelaminnya.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment