Ada anjuran sederhana yang disampaikan Nabi Muhammad kepada kaum ibu dan remaja putri ketika menjelang Ramadhan. Nabi meminta mereka menambahkan lebih banyak kuah ketika masak sesuatu. Tujuannya, agar ibu dan remaja putri bisa berbagi sayur dengan tetangga meski lauknya terbatas.
Pesan sederhana itu sebenarnya merepresentasikan keutamaan beramal secara simbolik. Kewajiban beramal tidak hanya dilimpahkan kepada orang yang merasa sudah berkecukupan atau mapan. Jika ada kemauan, beramal juga bisa dilakukan oleh keluarga sederhana, melalui cara-cara yang sederhana.
Di sinilah didapati kedekatan psikologis yang nyata antara beramal dan perempuan. Sebab perempuan dibekali sifat-sifat dermawan yang lebih kuat, potensi perempuan untuk menggerakan potensi amal sangat besar.
Beramal, dalam wujud dan kapasitas apapun, adalah bentuk tertinggi kepedulian seseorang. Sebab, seseorang yang beramal telah melampaui proses keprikhatinan, kepedulian, dan usaha. Barangkali karena itulah gerakan beramal menjadi salah satu ibadah yang paling dianjurkan selama puasa. Sebab dengan berpuasa seseorang diharap mampu merasakan kondisi serba kekurangan, yakni kondisi yang sering dialami fakir dan miskin.
Kesenjangan Sosial
Sebagai sebuah gerakan moral yang tidak dilandasi aturan perundang-undangan, beramal menyimpan kekuatan ekonomi yang sangat besar. Sebuah lembaga amil zakat di Indonesia bisa menerima amal, baik berupa shodaqoh, zakat, hibah, maupun infak, hingga puluhan milyar.
Rumah Zakat Indonesia bahkan memperkirakan potensi zakat di Indonesia mencapai angka 9,09 trilyun per tahun. Angka ini diperoleh dengan asumsi pada tahun 2007 ada 29,065 juta keluarga sejahtera dari sekitar 87 persen penduduk Muslim Indonesia. Rata-rata mereka membayar zakat Rp 684.550 per tahun per orang. Jika potensi tersebut digali, dikelola secara profesional, lantas disalurkan melalui berbagai program yang tepat tentu akan sangat bermanfaat. Tidak mustahil amal menjadi kekutan baru yang mampu menolong masyarakat dari keterpurukan ekonomi.
Sejak krisis finansial melanda dunia beberapa bulan lalu, pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia menurun. Raksasa ekonomi dunia seperti Amerika bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,5 persen. Perlahan, kondisi tersebut juga berpengaruh di Indonesia hingga kesenjangan sosial semakin tinggi. Sektor ekonomi potensial seperti retail, properti, dan usaha perdagangan masih didominasi kelompok tertentu, sementara kelompk masyarakat lain terhitung papa. Kondisi tersebut membuat kata keadilan baru dapat diterjemahkan secara leksikal, belum mampu didaratkan dalam bentuk program.
Realitas sosial di atas sebenarnya bisa menjadi episentrum gerakan beramal, sebegai ujud paling nyata kepedulian sosial. Sebab, dalam perintah beramal sesungguhnya tidak hanya tersimpan perintah membersihkan harta, tetapi juga upaya penguatan sendi-sendi sosial. Jika amal telah menjadi keniscayaan, kesenjangan sosial yang selama ini menyimpan kerawanan dapat dikurangi. Dengan kemampuan alami yang dimiliki, perempuan memiliki peran sosial yang segnifikan dalam upaya ini.
Psikografi Perempuan
Anjuran beramal memang dilimpahkan kepada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun karena peran sosial dan psikografinya yang istimewa, beramal sangat lekat dengan perempuan. Sebagai istri, kran keuangan rumah tangga, perempuan memiliki kewenangan menyusun skala prioritas kebutuhan rumah tangga. Ketika prioritas terpenuhi, perempuan memiliki kesempatan mendermakan sebagian sisa belanjanya. Posisi inilah yang belum tentu tidak dimiliki laki-laki, baik dalam posisinya sebagai suami, ayah, maupun kepala keluarga.
Pendhazur dan Teenbaum (1979), mengungkapkan kondisi psikologis perempuan memiliki perbedaan besar dengan laki-laki. Peran gender perempuan lekat dengan sifat hangat dalam hubungan interpersonal, suka berafiliasi, suka kompromi, sensitif terhadap keberadaan orang, mudah merasa kasihan, dan senang pada kehidupan kelompok. Kondisi alami seperti ini adalah modal besar bagi perempuan untuk mengasah kepekaan sosial di bulan Ramadhan.
Dalam kondisi tertentu, perasaan iba dan mengerti kesusahan orang lain begitu mudah muncul dari seorang perempuan. Mereka senantiasa peduli, sebab selalu berusaha menempatkan diri pada posisi orang lain. Kepedulian tersebut memang tidak selalu tercermin dalam perilaku memberi (giving) tetapi juga bisa dalam bentuk menghargai atau berempati.
Kondisi ini berbeda dengan laki-laki yang karena pengaruh hormonal lebih cenderung bersikap agresif. Bahkan karena pengaruh perkembangan psikisnya, laki-laki memiliki kecenderungan kurang hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi.
Rasa empati perempuan seringkali muncul melalui pertimbangan irasional karena mengedepankan perasaan. Oleh perempuan, pertimbangan matematis seringkali diabaikan dalam melakukan tindakan. Karena itu pula konsep untung-rugi juga dinomorduakan. Mereka berniat beramal, bukan atas pertimbangan ‘menabung’, melainkan semata-mata terdorong keinginan yang kuat untuk membantu.
Kondisi psikologi perempuan yang demikian juga berkaitan dengan ketergantungannya pada kelompok. Hilary M. Lips dalam Sex and Gender menulis, perempuan memiliki kesadaran untuk saling menguatkan. Sebuah komunitas akan utuh dan dapat mencapai tujuannya jika komponen-komponennya saling membantu. Karena itulah, hati perempuan mudah tergerak jika melihat anggota kelompoknya mengalami kesulitan.
Disadari atau tidak kondisi ini membuat perempuan lebih dekat dengan laku beramal sebagai perwujudan kepedulian sosial. Toh, dalam kehidupan bermayarakat, beramal tidak selalu identik dengan kegiatan memberi. Keinginan berbuat baik, ketulusan untuk membantu, serta kepedulian terhadap sesama juga mampu mencerminkan kepedulian sosial, sebuah masalah mendasar yang menjadi bahan renungan wajib selama seseorang melaksanakan ibadah puasa.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara
Monday, 1 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment