Penyelidikan kasus bail out Bank Century dua bulan terakhir membentangkan banyak fakta baru tentang amburadulnya pengawasan perbankan di Indonesia. Bank Indonesia lalai melakukan fungsi pengawasan sehingga Bank Century gagal dan harus dibail out dengan uang rakyat. Anehnya, banyak pejabat dan mantan pejabat BI yang mengaku tidak tahu kronologis kasus tersebut. Ada pula pejabat yang melempar tanggungjawab kepada bawahan.
Kondisi tersebut menunjukkan banyak pejabat negara tidak memiliki tanggungjawab moral terhadap tugas yang diembannya. Mereka seperti sekadar melaksanakan tugas prosedural namun tidak memiliki pemahaman yang holistik terhadap tanggungjawabnya. Akibatnya, mereka kelabakan ketika kebijakan yang diambilnya dianggap keliru dan dimintai pertanggungjawaban. Alih-alih sigap menyiapkan solusi, mereka justru saling lempar tanggungjawab.
Fakta serupa dapat dijumpai ketika kasus Anggodo Wijoyo menyeret nama sejumlah pejabat. Tidak ada satupun pejabat yang mengkui kesalahan dan bersikap sportif dengan mengundurkan diri. Petinggi Polri dan Kejaksaan yang doduga terlibat kriminalisasi pimpinan KPK bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah.
Persepsi kekuasaan
Kondisi tersebut memunculkan sebuah pertanyaan; benarkan negara ini dikelola oleh-olah orang yang keliru? Sebab, meski dalam satu dasawarsa terakhir iklim demokrasi semakin kondusif penegakan hukum masih lemah. Undang-undang sigap menjerat pelaku kejahatan kelas bawah namun kerap mental menjangkau pelaku kejahatan kelas kakap. Bahkan, akibat blunder pemerintah menandatangani AC-FTA, kemiskinan rakyat diprediksi meningkat.
Publik mempersepsi jabatan sebagai kumpulan tugas yang dilegitimasi melalui ketetapan hukum. Artinya, jabatan hanya sarana agar seseorang yang dipercaya masyarakat menjadi pemimpin mampu melaksanakan tugas dengan baik. Kewenangan dan fasilitas yang menyertainya hanya alat bantu supaya pejabat bersangkutan bekerja optimal. Karena itulah fasilitas mestinya tidak menjadi prioritas.
Persepsi tentang jabatan tampaknya mengalami pergeseran konotasi belakangan ini. Banyak yang menerjemahkan jabatan sebagai kekuasaan. Kewenangan berubah menjadi hak khusus yang bisa digunakan sesuka pemegangnya. Kebijakan yang dimbil pejabat melulu didasari keinginan untuk menggunakan wewenang. Akibatnya, pertimbangan moral diabaikan pejabat ketika mengambil keputusan.
Bentuk negara republik dipilih oleh para pendiri bangsa untuk mendistribusikan kewenangan secara proporsional. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban sesuai takaran. Tidak ada orang, apapun posisinya, berhak mengatur negara sekehendaknya. Pejabat tinggi negara dibatasi kewenangannya agar tidak sewenang-wenang. Sedangkan rakyat dilindungi hak-haknya supaya memiliki kesempatan hidup layak.
Cita-cita tersebut tampaknya semakin kabur karena banyak pejabat yang bertingkah menjadi penguasa. Presiden menganggap diri sebagai raja sementara kepala lembaga bertingkah seperti adipati. Kesadaran bahwa jabatan adalah kumpulan amanat yang diberikan rakyat hilang tergantikan keinginan untuk memperkaya diri. Inilah hasil yang dipetik dari demokrasi prosedural yang kehilangan substansi.
Demokrasi luaran
Indonesia membanggakan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sayangnya pada saat yang sama rakyat mengalami kesulitan hidup berkepanjangan. Membaiknya demokrasi ternyata tidak berakibat positif terhadap peningkatan taraf hidup rakyat. Ini membuktikan demokrasi di Indonesia masih bersifat luaran. Demokrasi baru menjadi seperangkat aturan tentang tata kelola negara.
Sejak reformasi bergulir rakyat memang telah bisa memilih presiden secara langsung. Bahkan pada 2009 rakyat bisa menentukan wakil yang duduk di parlemen. Namun pada saat yang sama demonstrasi terjadi di mana-mana menandai bebalnya saluran aspirasi. Pejabat tidak peka terhadap penderitaan rakyat sedangkan anggota DPR tidak mampu menyerapnya. Baik pejabat maupun anggota DPR tidak mampu merepresentasikan kehendak rakyat melainkan hanya menjadi wakil simbolis.
Dalam beberapa tahun ke depan kebuntuan aspirasi tampaknya akan terus terjadi. Selama demokrasi masih direpresentasikan hanya oleh pemilihan umum kondisi belum akan membaik. Karena itulah masyarakat sebagai subjek demokrasi perlu terlibat lebih banyak, setidaknya dalam mengawasi kerja pengelola negara. Jangan sampai bangsa besar ini dikerdilkan oleh pejabat yang melakukan malpraktik kebijakan.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Tuesday, 9 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment