Tuesday, 9 March 2010

Ekpresi Maksulin Demokrasi Kita


Rapat paripurna DPR yang dianggap sebagai forum tertinggi badan legislatif berakhir ricuh pada Selasa (2/3) lalu. Sejumlah anggota dewan yang tidak puas dengan keputusan pimpinan sidang merangsek mendekati meja pimpinan. Ada anggota yang melempar botol air mineral, memaki, bahkan saling jegal.

Pada saat yang sama sejumlah aktivis yang menggelar demo di depan gedung DPR bentrok dengan polisi. Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat mereka melakukan aksi pengrusakan dan saling lempar batu. Keributan antara polisi dan demonstran pun tidak terhindar, menyajikan tontonan menarik sekaligus mengkhawatirkan.

Dari kacamata demokrasi kedua peristiwa tersbut barangkali dianggap lumrah. Keberanian masyarakat mengekspresikan pendapat terhadap proses politik dan pemerintahan dianggap akan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih sehat. Sayangnya, ekspresi demokrasi semacam itu justru menjauhkan kita dari subtansi berdemokrasi. Aksi gagah-gagahan membuat niat mulia untuk membela rakyat tergusur sentimen pribadi dan golongan.

Eskpresi maskulin yang muncul dalam proses berdemokrasi terjadi karena wakil rakyat di DPR belum mampu menanggalkan identitas personalnya. Mereka tetap menjadi diri sendiri karena belum mampu merepresentasikan suara konstituen. Akibatnya, karena sebagian besar anggota dewan adalah laki-laki, ekspresi yang dimunculkan selama sidang adalah ekspresi maskulin. Mereka berusaha menghegemoni orang atau kelompok lain dengan cara menunjukkan kekuatan fisik, kelantangan suara, atau keberanian mencemooh.

Kebenaran demokrasi adalah kebenaran jamak. Ketika voting pada pengambilan keputusan paripurna misalnya, opsi C dianggap benar karena didukung oleh 325 anggota dari 537 anggota dewan yang hadir. Padahal, jika dikaji secara substansial, pilihan mayoritas anggota belum tentu benar.

Karena DPR mengacu pada prinsip demokrasi, kebenaran yang muncul dalam rapat-rapat anggota DPR akan selalu lahir dari perspektif laki-laki. Dominasi laki-laki di DPR akan membuat lembaga ini menjadi lembaga yang diselimuti semangat maskulinitas. DPR akan memandang persoalan bangsa dari perspektif laki-laki; perspektif bapak, perspektif suami, atau perspektif pemuda. Hampir bisa dipastikan, lembaga ini akan melihat perempuan sebagai liyan ketika sesekali mengambil keputusan.

Minoritas
Terbetik pertanyaan; mengapa anggota DPR perempuan jarang sekali bersuara dalam sidang paripurna? Pada Selasa-Rabu (2-3/3) lalu misalnya, dari puluhan interupsi yang muncul hanya empat suara perempuan yang terdengar. Theresiana Pardede dan Angelina Sondakh terlibat debat yang hangat pada awal sidang, dan Puan Maharani mewakili Fraksi PDIP membacakan sikap fraksi. Lili Wahid sempat menyita perhatian karena dengan penuh keberanian memilih opsi C meski fraksinya (PKB) memilih opsi A.

Lesapnya suara perempuan di DPR dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, anggota dewan perempuan masih menjadi minoritas. Srikandi-Srikandi Senayan ini seperti perawan di sarang penyamun. Kedua, tidak ada satupun anggota DPR perempuan yang menjadi pimpinan, baik di tingkat dewan, fraksi, komisi, maupun panitia kerja. Akibatnya, porsi bicara mereka lebih sedikit dibanding anggota yang menyandang status sebagai pimpinan.

Ketiga, pimpinan sidang hanya memberi kesempatan bicara kepada anggota yang mau ngotot. Untuk interupsi saja anggota harus berteriak-teriak, memotong pembicaraan orang lain, berdiri sambil melambaikan tangan, atau bahkan memukul meja. Cara semacam itu jarang sekali ditempuh oleh perempuan.

Jika anggota dewan tidak mampu mematuhi tata tertib sidang, selamanya sidang DPR akan menjadi ajang adu okol. Sidang yang mestinya berjalan santun diselimuti semangat saling menghormati akan menjadi ajang unjuk kekuatan. Anggota yang memiliki suara lantang akan berteriak-teriak, yang bertubuh kuat akan mendobrak, sedangkan yang kebal malu akan mengeluarkan celetukan-celetukan provokatif. Semangat berdemokrasi pun hanya melahirkan ekspresi-ekspresi maskulin yang tidak terkendali.

Yuniyanti Chunizah, dalam Perspektif Baru Melebarkan Sayap (2005; 169) berpendapat, inti masalah gender terletak pada kesadaran. Kesadaran terhadap posisi dan peran masing-masing orang akan membuat relasi gender harmonis dan minim friksi. Kesadaran diri akan membimbing seseorang menyikapi lingkungan dan orang-orang di sekitar secara arif. Perempuan menyadari peran sebagai perempuan dengan menghormati laki-laki dan sebaliknya.

Kesadaran diri inilah yang tampaknya belum muncul dalam penyelenggaraan demokrasi di negara kita. Setiap pihak berusaha menghegemoni pihak lain dengan cara sesukanya. Laki-laki bertingkah gemagah karena merasa kuat sehingga perempuan merasa inferior. Akibatnya, argumentasi yang muncul dalam sidang DPR dipenuhi kejumawaan; itikad mengunggulkan diri dan kelompoknya dengan merendahkan orang dan kelompok lain.


Afirmative action
Dalam penyelenggaraan demokrasi pemerintah dan DPR sepakat memberikan kebijakan afirmasi kepada perempuan. Misalnya, adanya kewajiban partai politik melibatkan setidak-tidaknya 30 persen calon anggota legislatif perempuan. Dalam skala yang lebih kecil perempuan mendapat keistimewaan dalam kaitan dengan urusan kewanitaan seperti hamil, melahirkan dan menyusui.

Kebijakan afirmasi memang lahir sebagai upaya mengakomodasi kepentingan perempuan. Namun, afirmative action juga membuktikan para pembuat kebijakan masih menempatkan diri di luar lingkar perempuan. Pemerintah dan DPR memandang perempuan sebagai orang luar (outsider) bukan sebagai bagian dari komunitasnya (insider). Hal ini membuktikan pengambilan keputusan masih didasari oleh ekspresi-ekspresi maskulin.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment