Tuesday, 9 March 2010

Plagirisme Adalah Pemberontakan

Pepatah berbunyi ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari’ adalah peringatan keras para pujangga sekaligus pepeling betapa besar peran seorang pendidik. Peran sosial guru menuntut mereka mampu menjadi teladan, tidak hanya dalam berpikir tapi bersikap dan bertingkahlaku. Sekali saja guru bertindak keliru murid didiknya akan membuat kekeliruan yang sama atau bahkan jauh lebih parah. Jika seorang guru besar saja melakukan plagiarisme bagaimana dengan mahasiswanya?

Tulisan ini tidak mempersoalkan fitrah guru, yang meski dituntut menjadi teladan selalu dikelilingi keresahan kesejahteraan, tetapi kemungkinan akibat yang ditimbulkan jika guru melakukan tindakan tercela seperti plagiarisme. Guru dan dosen, apalagi seorang guru besar, punya tanggungjawab moral yang berat dalam kondisi ini.

Penjiplakan dalam dunia akademik telah dititahkan haram karena mengingkari prinsip kejujuran ilmiah. Menemukan kebenaran melalui keobohongan tidak hanya berisiko menyesatkan akademisi itu sendiri tetapi berpotensi mengaburkan kebenaran de facto yang telah ada dalam masyarakat. Jika ilmuwan telah menempuh kebohongan untuk merekomendasikan kebenaran, bayangkan betapa besar kekacauan yang ditimbulkannya.

Pemberontakan
Sebagai bentuk kebohongan plagiarisme banyak ditempuh akademisi sebagai jalan pintas menuju tahta intelektual. Mereka yang tidak sabar menjalani rutinitas membaca, menulis dan meneliti menjadikan plagiarisme jembatan menuju kekuasaan intelektual. Motivasi mereka bisa sangat beragam, dari sekadar uang, legitimasi keilmuan, hingga prestise. Pada kelompok tertentu, plagiarisme skripsi, tesis dan disertasi ditempuh untuk mempercepat mobilitas sosial mencapai kasta terpelajar.

Pada masa kerajaan Hindu, saat kekuasaan diwariskan Raja selalu kepada Putra Mahkota, mobilitas sosial hanya dapat dilakukan dengan melakukan pemberontakan. Secemerlang apapun karir sebagai kuwu, kepala kadipaten, atau bahkan mahapatih tidak memberi kesempatan trah biasa menjadi raja. Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan, sebagaimana Ken Arok pernah membuktikannya, adalah melakukan pemberontakan.

Dalam catatan sejarah kerajaan nusantara, pemberontakan seringkali tidak terhindarkan karena kebuntuan jalur diplomasi antara penguasa dan rakyat. Namun ada pula pemberontakan yang sengaja dikobarkan karena ambisi pribadi seseorang untuk berkuasa. Pemberontakan yang baik bertujuan menumbangkan penguasa lalim dan menggantikannya dengan pengausa baru yang lebih baik. Ambisi berkuasa, meski telah dimanipulasi dalam isu yang bersifat kerakyatan, terbukti lebih banyak gagal karena mengingkari itikad baik membela rakyat.

Sejarah membedakan pemberontakan dan revolusi meski secara kasat mata kedua aktivitas itu nyaris sama. Pemberontakan diliputi ambisi berkuasa sementara revolusi digerakan oleh semangat perubahan sosial. Dalam konteks ini aktivitas plagiarisme tepat jika dikategorikan sebagai bentuk pemberontakan intelektual karena mengutamakan ambisi dan menafikan kepentingan masyarakat. Puncak keilmuan yang mestinya diraih melalui proses belajar yang panjang justru ditempuh dengan membajak hak orang lain.

Efek Psikologis
Karena merupakan bentuk kebohongan, plagiarisme adalah kejahatan akademik. Karena itulah pelakunya perlu diganjar sanksi. Namun di Indonesia pelaku plagiarisme tidak mendapat perhatian serius karena dibiaskan oleh isu pembajakan. Plagiarisme masih dianggap sebagai kekeliruan kecil karena berada di tengah masyarakat yang kurang menghargai hak intelektual. Karena itulah, kejahatan menjiplak artikel, skripsi, atau tesis masih dianggap tidak lebih jahat daripada menggandakan lagu dan film.

Sanksi yang tidak tegas bagi pelaku plagiarisme telah menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi akademisi, mahasiswa dan siswa. Mereka seperti mendapat alasan untuk melakukan plagiarisme karena mendapat pembenaran oleh perilaku buruk guru, dosen atau profesornya. Model buruk yang diperagakan akademisi membuat siswa dan mahasiswa terinsipirasi melakukan perbuatan serupa. “Profesor saja menjiplak, kenapa saya tidak?"

Guru selalu mempersoalkan siswa-siswinya yang nyontek saat mengerjakan ujian. Para guru menganggap nyontek sebagai tindakan para pengecut yang malas berpikir. Namun pada saat yang sama ribuan guru di Indonesia hanya copy paste ketika dilimpahi tugas menyusun silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP). Karena itulah meski Kurikulum Tingkat Sataun Pendidikan (KTSP) memberikan otoritas kepada guru untuk menyusun pembelajaran sesuai kebutuhan siswa sekolah bersangkutan, silabus yang digunakan sama persis dengan sekolah-sekolah lain bahkan daerah lain.

Di perguruan tinggi dosen juga sering mengeluhkan makalah mahasiswa yang terindikasi hasil copy paste. Dosen memarahi mahasiswa karena tindakan tersebut dianggap melecehkan karya orang lain sekaligus mencemari semangat akademis kampus. Namun di lain waktu, ketika dosen memperoleh hibah penelitian, tema-tema penelitian yang diangkat ternyata tidak menunjukkan kebaruan segnifikan. Tema, landasan teori, bahkan analisis masalah yang diungkapkan dalam laporan penelitian hanyalah epigon dari penelitian sebelumnya.

Ketika khalayak ramai-ramai mencibir guru besar yang praktik plagiarismenya terungkap bisa jadi mereka sedang mencari kabing hitam. Masyarakat beramai-ramai menyoal plagiarisme sang guru besar supaya tindakan serupa yang telah dan sedang dilakukannya tidak diungkit orang lain. Bisa jadi.

Surahmat
Pemimpin BP2M Universitas Negeri Semarang
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment