Kasus yang membelit petinggi Polri memaksa masyarakat mengenang kembali kasus serupa pada masa-masa sebelumnya. Sebab, anggota Polri yang telah melakukan pelanggaran hukum tidak hanya kali ini. Jauh hari sebelum Edmont Ilyas dan Raja Erizman, tidak sedikit anggota Polri yang terbukti berbuat tercela. Mulai dari perkara kecil seperti penipuan, hingga korupsi kelas kakap yang melibatkan mantan Kabareskrim Suyitno Landung.
Berbagai kasus yang silih berganti mengiringi dinamika Polri membuat masyarakat bertanya, apa sebabnya? Polri tidak bisa terus menerus menyalahkan oknum, melainkan harus membuka diri dan terus berevaluasi. Sangat mungkin, sistem kerja yang dibangun Polri lah yang membuat anggotanya berbuat nakal. Atau bahkan, pola pendidikan mereka juga tidak tepat.
Pendidikan Polisi
Secara komprehensif, evaluasi terhadap Polri juga perlu ditinjau dari mana dan bagaimana anggota Polri dihasilkan. Setidaknya ada dua jalur, yakni pendidikan Bintara dan Perwira. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing yang berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya tindakan korup anggota Polri.
Pendidikan Bintara Polri barangkali patut disebut sebagai pendidikan instan. Sebab, pendidikan Bintara hanya berlangsung selama satu tahun, yakni enam bulan pendidikan dan enam bulan magang. Untuk ukuran tugas sebagai polisi, masa pendidikan enam bulan tentu masa pendidikan yang terlampau singkat. Waktu selama itu hanya cukup memberikan keterampilan teknis kepolisian, namun tidak cukup untuk menanamkan idiologi kepolisian. Penanaman idiologi menjadi hal yang mutlak dilakukan karena Polri bertugas melakukan pengamanan, bukan sekadar penjagaan.
Pendidikan yang singkat kemudian dilanjutkan masa magang membuat Bintara Polri menjadikan polisi senior sebagai referensi bertindak dan mengambil keputusan. Anggota Polri magang, mau tidak mau, menjadikan senior mereka sebagai model. Padahal, anggota senior belum tentu dapat dijadikan contoh yang baik. Di antara mereka bahkan banyak yang terlibat berbagai perkara kriminal, suap-menyuap, tindak kekerasan, atau bahkan pelecehan seksual.
Perwira Ningrat
Lantas bagimana dengan pola pendidikan di Akademi Kepolisian yang akan menghasilkan para perwira? Dilihat dari waktu pendidikan, rentang waktu hingga lima tahun jelas cukup untuk menggembleng taruna menjadi polisi terampil yang memiliki integritas. Namun, pola pendidikan tertutup yang selama ini dikembangkan Akpol membuat mereka tertutup sehingga menghasilkan perwira-perwira bermental ningrat.
Mentalitas ningrat tumbuh karena taruna lahir dari rahim yang sangat istimewa. Akademi Kepolisian, sekolah kedinasan yang melahirkan calon petinggi Polri, adalah lembaga pendidikan yang penuh gengsi. Pemuda-pemudi yang berkesempatan mengenyam pendidikan di sana juga pemuda-pemudi yang dicap terbaik. Karena itulah proses pendidikan di sana ditopang dengan fasilitas kelas wahid. Tanpa harus berpusing-pusing memikirkan biaya pendidikan sebagaimana pemuda-pemudi lain di perguruan tinggi umum, negara menjamin keberlangsungan pendidikan taruna.
Citra sebagai putra-putri terpilih mengangkat taruna dalam kelas sosial yang sangat tinggi. Apalagi status sebagai taruna sering diartikan dengan jaminan jabatan dan gaji besar. Keadaan tersebut perlahan mengendapkan mental ningrat dalam diri sebagian taruna. Sebagai penghuni kelas sosial tinggi mereka ingin dilayani, meski mereka dididik untuk menjadi pelayan masyarakat.
Jika perspesi tersebut terbawa ketika mereka telah menempati posisi penting, perilaku ningrat akan mengemuka. Sebagai atasan, pemegang otoritas bidang atau wilayah, mereka minta dilayani bawahan. Sebagai ningrat, perwira tidak berkata ‘bagaimana sebaiknya?’ melainkan ‘harusnya begini’. Hal ini terbukti dengan banyaknya perwira polisi yang tersandung kasus korupsi. Tradisi setoran, meski berulangkali dibantah Kapolri, diyakini masih ada menjadi representasi mental ningrat petinggi Polri
.
Orientasi Nilai
Kenyataan pahit tersebut memaksa Polri mawas diri. Kesalahan yang terus berulang tidak hanya terjadi karena sistem kerja, melainkan sistem pendidikan yang melahirkan penerus mereka. Kurikulum pendidikan kepolisian harus didekatnya pada konsep nilai yang lebih nyata. Tidak melulu kecerdasan dan ketangkasan yang diasah, tetapi juga keterampilan membaurkan diri dalam masyarakat. Sebab, sebagaimana telah menjadi dogma selama ini, Polri dan masyarakat adalah bagian tidak terpisahkan. Dua tetapi satu. Loro loroning atunggal.
Surahmat
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Dari Opini Mahasiswa Koran sore Wawasan, Selasa (6/4)
Monday, 12 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment