Tuesday, 13 April 2010

Sangiran, Roti Berisi Selai Strawberi, dan Inisiatif

Jalan antara Sangiran dan Klaten masih basah pada sore 20 April 2008. Gerimis datang lesap beberapa lama sebelum kembali mengguyur kami. Saya dan Dina memilih berteduh pada sebuah warung mie ayam di pinggir jalan; Soto Mba Enda. Kami baru saja berkunjung ke situs purbakala Sangiran untuk liputan.

Kami duduk berhadapan menunggu gerimis reda. Ketika malu saling bertatap aku mengalihkan perhatian pada hamparan sawah yang basah di seberang jalan. Orang-orangan sawah, yang kepalanya terbuat dari kelapa kering, bergoyang diterpa angin. Warung soto Mba Endah sepi sore itu. Sesekali saja ada suara roda mobil basah berdejit ketika beradu dengan aspal.

“Kau tahu, keasyikan seorang pemburu adalah ketika ia menembus belantara demi mendapatkan targetnya?” tanyaku, retoris. Dina tak menjawab beberapa lama. Pelayan warung melatakan dua gelas teh hangat yang kami pesan.
“Terus?”
“Tapi pada suatu ketika, pemburu harus mengarahkan senapannya. Ia harus membidik sasaran untuk menentukan keberhasilannya.”
“Ya, supaya burung itu bisa dimakan kan?”
“Mungkin. Tapi lebih dari itu. Perburan harus diakhiri.”

Dina diam. Tampaknya ia mulai membaca arah pembicaraanku. Ia mengalihkan perhatian dengan menyeruput teh hangat. Udara semakin dingin. Truk yang melintas di jalanan menyisakan kibasan air yang melayang dan mendarat di wajah kami.
“Ini yang dua bulan terakhir sedang aku lakukan. Jadi Din, maukah kau menjadi kekasihku?”

Dina terdiam beberapa lama. Pandangannya menunduk diarahkan pada daun meja kecoklatan di warung itu. Ia mencopot kacamatanya dan mengelapnya dengan tisu
“Jujur, aku masih ragu. Aku tidak siap dikecewakan.”
“Percayalah, aku berbeda. Tidak sedikitpun aku punya niat menyakiti hati gadis seistimewa kamu.”

Suasana kembali hening. Hembusan nafasku terdengar lebih kencang. Jantungku berdetak lebih kencang. Tatapan mataku beradu beberapa lama dengan tatapan matanya. Dia tersenyum dan aku tertawa.
“Jadi?” tanyaku.
“Jadi apa?”
“Maukah kau menjadi kekasihku?”
Dina mengangguk. Aku tersenyum lebar. Soto ayam yang kami pesan datang, tersaji dengan kerupuk udang dan bakwan hangat. Kami makan soto bersama sebagai sepasang kekasih.

***

Dari situlah ikrarku dengan Dina, diawali. Kami berkenalan tidak terlampau lama. Ia seorang bendahara umum pada lembaga pers mahasiswa tempatku magang menjadi reporter. Ia terlihat lebih cantik dari yang lainnya karena memiliki dagu khas, yang berkali-kali aku katakan, seperti dagu gadis arab. Rosi Diana Sari, namanya.

***

Di kos Nawaksara, Senin 12 April 2010, kami menggelar tikar. Ada beberapa orang yang datang siap memilai diskusi. Artikel yang aku tulis belum sempat aku cetak sehingga harus aku bacakan dari layar laptop.

Diskusi Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) malam itu berlangsung menarik. Tema Realitas, Citra, dan Keseolah-olahan yang aku gagas menggelitik rekan-rekan yang hadir. Ari, Taufikurohman Sombo, Triyas Agus Yulianto bergiliran mengemukakan pendapat. Agus SP dan Zaki menyusul kemudian.

Sayangnya, sebagai diskusi besar yang diselenggarakan BP2M, malam itu hanya ada tumpukan gelas dan air putih. Aku menyeret teko plastik dengan malu-malu menawarkannya pada Taufikorohman Sombo. Sedikit tidak enak karena sebagai tuan rumah aku hanya menyuguhinya air putih. Huft.

***

Ketika aku dan Dina jalan-jalan pada suatu malam, ia memintaku berhenti di depan minimarket. Aku memilih menunggu karena tidak terlalu senang berbelanja di minimarket. Setelah menunggu beberapa lama di tempat prakir Dina keluar membawa banyak makanan ringan. Ada yang berbentuk keripik, mungkin kentang atau ketela aku tidak tahu persis, ada pula roti bulat-bulat yang setelah aku cicipi berisi selai rasa strawbery.

Dina awalnya aku kira tipe gadis yang memang gemar menyantap makanan ringan sehingga belanja terlalu banyak. Tapi malam itu ia belanja jajan untuk disantap bersama rekan-rekan BP2M. Di markas BP2M, komplek Joglo, ada diskusi kecil. Ketika aku dan Dina datang rekan-rekan diskusi belum dimulai. Hanya sebagian orang yang datang karena diskusi digelar mendadak. Dina pun mengaku tahu satu jam sebelum acara itu dimulai.

Di tengah diskusi Dina mengeluarkan makanan yang baru kami beli. Seperti biasa, rekan-rekan berebut. Diskusi yang khusuk berubah ramai. Peserta diskusi yang tampak mulai bosan dan ngantuk kembali bersemangat. Mereka berbagi keripik kentang, berbagi minum meski hanya air mineral, dan berebut roti isi selai strawberi. Suasana kembali tenang ketika Jamburi, pemimpin diskusi malam itu, meminta perhatian peserta agar diskusi segera dilanjutkan.

***

Jelang tengah malam di gedung C7. Backdrop berukuran 2 x 5 meter kegiatan PJN telah terpasang di belakang meja pembicara, tapi kursi peserta belum tertata. Kami, panitia Pekan Jurnalistik Nasional, mulai kelelahan. Aku duduk di atas podium dengan meluruskan kaki. Kedua tanganku menyangga tubuh ke belakang. Rekan-rekan lainya masih tampak sibuk menata kursi.

Event pekan jurnalistik nasional, bagi saya yang saat itu masih menjadi reporter magang, adalah event besar. Seminar yang kami persiapkan adalah rangkaian kegiatan. Sebelumnya ada pelatihan jurnalistik, lomba majalah, dan lomba foto bagi siswa dan mahasiswa. Malam sebelumnya aku dan Mas Thoriq Medianto bahkan tidak tidur untuk memasang foto-foto lomba supaya siap dipamerkan. Tengah malam kami memotong-motong kayu dan membuat semacam bingkai.

Ketika kami kelelahan Dina datang. Ia bersama rekan kami lainnya yang tidak saya ingat persis namanya. Di tangan dan kirinya ada keresek plastik berisi makanan dan es teh. Sontak, aku langsung berdiri dan mengambil bungkusan berisi nasi, kering tempe, dan telur dadar. Aku dan rekan-rekan BP2M lain menghentikan pekerjaan untuk makan malam bersama. Setelah menghabsikan makan kami melanjutkan menata kursi. Ada sekitar 180 kursi yang harus kami tata rapi. Sebab, esok harinya akan ada seminar penting. Pembicara yang kami undang adalah koordinator Pantau Andreas Harsono dan pakar hukum FH Undip Nyoman Nuarta. Moderatornya adalah Achiar M. Permana, wartawan Suara Merdeka yang ketika memandu diksusi selalu tampak enerjik.

***

Semua raket yang diperlukan telah terkumpul. Jumlahnya memang hanya tujuh, namun cukup untuk memulai turnamen bulu tangkis internal BP2M. Peserta yang akan bertanding juga telah datang. Rifai bahkan sudah berkali-kali memutari lapangan untuk pemanasan. Ia mengenakan kaos biru dan celana kolor yang senada warnanya.

Minggu 12 April 2010 BP2M menyelenggarakan turnemen bulutangkis internal. Bukan untuk mengadu teknik sebenarnya, hanya penyegaran supaya anggota BP2M yang selama ini disibukan dengan urusan redaksi lebih fresh; bisa ketawa dan teriak-teriak sepuasnya. Aku sudah membooking dua lapangan dan dua orang wasit untuk menyelenggarakan turnamen itu.

Meski permainan dimulai ba’da Isya, aku yakin teman-teman akan kehausan. Bulu tangkis termasuk olahraga yang menguras tenaga. Karena itulah sebelum aku berangkat aku meminta Fina, bendahara umum BP2M, untuk membeli air mineral. Aku pikir karena peserta turnamen itu sekitar 25 orang satu dus air mineral gelas cukup.

Pertandingan sudah dimulai beberapa game. Aku memimpin pertandingan di lapangan A pada game kedua. Rifai menang melawan Zaki dalam dua set langsung. Agi dan Mas Teplok menyajikan pertarungan yang sengit meski harus diakhiri dua set langsung oleh Mas Teplok. Saat itulah teman-teman mulai kehausan. Agi mendongakan tangan di atas mulut menanyakan air minum. Karena itulah aku bergegas menghampiri Fina dan bertanya, ‘Sudah beli air minum?”. Fina menjawab, “belum”. Ia hendak memberi alasan, tapi aku langsung mengatakan, “Ya sudah, biar saya cari saja.” Akhirnya aku minta Eko untuk membelinya dengan uang pribadiku dulu.

***

Pada diskusi di kos Nawaksara Taufikurihman Sombo mengatakan sangat mengkhawatirkan ada narasi tunggal dalam kehidupan politik dan hukum di Indonesia. Menurutnya, narasi tunggal akan membodohi masyarakat. Ia kahwatir masyarakat akan terus dijejali informasi yang menyesatkan karena tidak memiliki alternatif sumber informasi lain.

Malam itu Taufikorohman Sombo duduk bersila persis di depanku. Ketika mengemukakan argumenatsi beberapa kali menatap wajahku. Aku balik menatapnya dengan tetap kosong. Malam itu aku masih diliputi kekhawatiran dan rasa tidak enak hati. Diskusi BP2M yang digelar malam itu tanpa jamuan yang layak. Mas Taufikorhamn Sombo aku ketahui adalah intelektual muda Semarang. Adalah kehormatan bagi saya bisa berdiskusi dengan dia.

Sore sebelum dikusi dimulai aku SMS Fina supaya datang. Maksudku, karena dia adalah bendahara umum yang memegang seratus persen uang organisasi ia akan datang membawa jajan sebagai kudapan diskusi. Ketika aku kirimi sandek kurang lebih ia menjawab akan datang tapi tidak tahu kapan, mungkin akan terlambat. Aku memaklumi itu sambil membatin semoga dia datang lebih awal.

Setengah sembilan diskusi aku mulai. Jam sembilan Fina belum datang bersama jajan yang aku harapkan. Setengah sepuluh kami masih diskusi, Fina masih belum datang bersama jajan yang aku harapkan. Diskusi baru berakhir setengah satu pagi dan Fina belum datang dengan jajan yang aku harapkan. Kami mengakhiri diskusi. Lekas-lekas aku minta tolong seorang rekan membeli jajan barangkai masih ada warung yang buka. Kami makan keripik ketela dan roti berisi selai strawberi yang dibeli dengan terburu-buru, bukan keripik kentang dan roti berisi selai strawberi yang disiapkan orang yang memagang uang organisasi sebelum diskusi dimulai. Inisiatif memang mestinya datang dari diri sendiri. Huft….

No comments:

Post a Comment