Friday, 5 March 2010

Parktik Mafia di Pedesaan Kita

Pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY membumbungkan optimisme sekaligus pesimisme masyarakat. Optimis karena dalam waktu singkat Satgas yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto itu telah menunjukkan kinerja dengan membongkar skandal ‘hotel penjara’ di LP Pondok Bambu. Namun pesimisme juga mencuat karena Satgas ini hanya dibentuk di tingkat nasional meski mafia hukum diyakini telah terdistribusi merata ke daerah-daerah, kabupaten dan kota.

Pembongkaran ‘hotel penjara’ yang dilakukan Satgas di Jakarta sudah demikian menghebohkan. Padahal, rutan Pondok Bambu hanya salah satu dari ribuan LP yang tersebar di tingkat kabupaten di Indonesia. Seandainya Satgas memiliki tangan di setiap kabupaten, fakta adanya ‘hotel poenjara’ dan praktik mafia hukum akan semakin mengejutkan, bahkan bisa jadi membuat kita semua shocked.

Sebagaimana dikatakan Kuntoro (Kompas.com 4/1), praktik mafia hukum sebenarnya telah berlangsung sejak lama di berbagai lapisan masyarakat, lembaga, dan daerah. Modus mereka juga sangat beragam, mulai dari makelar kasus, hotel penjara, pungutan liar, hingga praktik suap-menyuap. Namun karena melibatkan para penegak hukum persoalan mafia hukum terpendam oleh sikap tahu sama tahu.

Mafia Desa

Lantas, apakah praktik mafia hukum juga terjadi di tingkat pemerinatah rendah seperti desa dan kelurahan?

Ya. Meski barangkali belum bisa dikategorikan dalam praktik mafia hukum, praktik mafioso ternyata juga dipraktikan aparat desa. Mereka melakukan pungutan atas layanan yang diberikan kepada masyarakat meski layanan tersebut mestinya bisa diberikan secara cuma-cuma. Meski tidak terjadi di semua desa/kelurahan, pungutan liar oleh aparat desa telah terjadi sejak lama.

Praktik mafia di tingkat desa selama ini luput dari perhatian media karena dianggap sebagai hal yang remeh. Transaksi antara warga dengan aparat hanya melibatkan uang dalam jumlah kecil. Bahkan praktik seperti ini nyaris tidak tampak karena telah melembaga. Baik pelaku maupun masyarakat yang menjadi korban telah menganggap hal semacam ini sebagai sesuatu yang lumrah. Misalnya, pada praktik pembuatan KTP, warga diminta memberikan uang dalam jumlah tertentu ketika meminta surat pengantar kepada Ketua RT, Ketua RW, Kepala Urusan (Kaur), Sekdes, atau Kepala Desa.

Nominal pungutan yang dibeberapa daerah telah dilabeli sebagai ‘pungutan sukarela‘ tersebut berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Bagi masyarakat yang mampu barangkali tidak menjadi persoalan, namun akan sangat membebani warga miskin di pedesaan. Beban tersebut terutama dirasakan petani di pedalaman yang penghasilannya rendah.

Selain pada proses pembuatan KTP, pungutan yang dilakukan mafia desa juga terjadi pada bidang lain, seperti proses perijinan melangsungkan pernikahan, alih kepemilikan tanah, hingga pengurusan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang jelas-jelas telah menjadi hak warga miskin.

Pada proses pernikahan misalnya, aparat desa mengharuskan calon pengantin atau keluarganya membayar sejumlah uang untuk mendapatkan surat keterangan dari desa. Jika ‘syarat’ tersebut tidak dipenuhi masyarakat terpaksa menunda pernikahan karena perijinan memakan waktu lebih lama. Bahkan, surat nikah yang mestinya dipegang pengantin setelah proses ijab qobul dilakukan justru ditahan supaya ditebus dengan sejumlah uang.

Hal serupa terjadi ketika warga memerlukan surat keterangan alih kepemilikan lahan ketika terjadi jual beli tanah. Aparat desa mewajibkan calon pembeli membayarkan sejumlah uang, baik yang digunakan untuk mengurusi perijinan maupun keperluan lain. Jumlah uang yang harus dikeluarkan masyarakat bisa mencapai ratusan ribu jika nilai transaksi jual beli tanah besar.

Bantuan Langsung Tunai
Namun dari beragam praktik tersebut, praktik mafioso dalam pengurusan BLT menjadi praktik yang paling disesalkan karena mengorbankan warga miskin. Praktik mafioso pada BLT yang paling vulgar dilakukan aparat desa dengan memotong uang yang diterima warga untuk keperluan ‘administrasi’. Di luar itu, praktik serupa dilakukan dengan ‘menjual’ surat keterangan domisili bagi penerima BLT yang tidak memiliki KTP.

Meski telah terdata sebagai penerima BLT, aparat desa mewajibkan warga membuat surat keterangan pengganti KTP dengan membayar sejumlah uang. Bahkan, bagi penerima BLT yang sakit atau tua sehingga tidak bisa mengambil uang di kantor pos, mereka wajib membuat surat kuasa kepada keluarga yang mewakili dengan membayarkan sejumlah uang.
Pada praktik seperti ini masyarakat umumnya tidak menyadari telah menjadi korban.

Selain telah dianggap wajar, masyarakat yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang tata cara administrasi pemerintahan hanya bisa manut. Selain itu, posisi tawar mereka lemah. “Timbang BLTne nyong ora kena dijukut ya mbayar apaha,” (Daripada uang BLT saya tidak bisa diambil, ya mending mbayar saja lah), ucap tetangga saya suatu ketika.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksaran Banjarnegara

No comments:

Post a Comment