Banyak pihak, termasuk para rektor, prihatin ketika sekitar 2.894 kursi jurusan pertanian di 47 perguruan tinggi negeri peserta SNMPTN 2008 kosong. (Kompas, 1 Agustus). Selain ironis, mengingat ketatnya persiangan masuk perguruan tinggi negeri (PTN) hal ini membuktikan minat generasi terhadap bidang pertanian rendah. Padahal, Indonesia adalah negara agraris.
Alasan bahwa sarjana pertananian sulit mendapat pekerjaan rasanya terlalu absurd. Sebab, sebagai bidang yang kompleks, pertanian adalah bidang yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Terlebih karena perekonomian bangsa kita lebih banyak ditopang kegiatan pertanian. Perlu dicermati mengapa bidang ini, bagi calon mahasiswa, seperti tidak memiliki bargaining dibanding bidang lain. Padahal, mahasiswa pertanian tidak digodok hanya untuk menjadi petani, tetapi pakar dan perencana bidang pertanian.
Menurunnya peminat bidang pertanian antara lain disebabkan oleh pergeseran persepsi belajar di kalangan mahasiswa. Mereka terjebak pemikiran pragmatis dengan menganggap pendidikan sebagai salah satu tahap mendapat pekerjaan. Padahal pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Persepsi Keliru
Aliran konstruktivisme mengartikan belajar sebagai proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Artinya, belajar yang berhasil berimplikasi langsung pada tingkah laku, baik berupa sikap, kebiasaan, pola pikir, pemahaman, maupun penguasaan konsep.
Namun belakangan, asumsi belajar tersebut mengalami pergeseran yang seginifkan. Tidak sedikit mahasiswa yang menganggap belajar sebagai prasyarat meraih nilai bagus karena memiliki keampuhan menentukan masa depan. Padahal, belum tentu angka-angka dalam laporan akademik menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Terlebih dalam proses evaluasi belajar kerap terjadi kesalahan sehingga memberi peserta didik bertindak curang.
Kenyataan bahwa banyak mahasiswa atau pelajar hanya belajar menjelang ujian adalah bukti terjadinya pergeseran persepsi tersebut. Mereka belajar agar dapat menjawab rangkaian soal yang diujikan. Tak peduli apakah soal tersebut relevan dengan potensi yang dimilikinya. Tak heran jika peserta didik justru lebih sibuk mencermati nilainya, dari pada berefleksi menakar kualitas diri.
Kesalahan persespi, tampaknya, juga dialami pengajar dan orang tua. Mereka terbiasa mengukur kesuksesan belajar peserta hanya dari laporan akademik. Mereka membanggakan nilai yang tinggi tanpa mau tahu bagaiamana siswa dan mahasiswa memperolehnya.
Parahnya, kecenderungan mendewakan nilai juga merambah lembaga. Sekolah dan perguruan tinggi biasanya hanya menerimakan reward kepada peserta didik dengan nilai akademik tinggi, tanpa melihat kecakapan hidup yang dikuasainya. Akibatnya banyak pelajar dan mahasiswa gagap saat menghadapi dunia kerja meski dianggap beprestasi di kampus dan sekolah.
Di negara kita, syarat meraih gelar sarjana adalah menyelesaikan penulisan skripsi. Berbeda dengan beberapa jurusan di perguruan tinggi di Perancis. Mahasiswa baru berhak menyandang gelar sarjana setelah menghasilkan karya nyata. Misalnya, gelar sarjana ekonomi baru akan diterimakan setelah mahasiswa mampu mendirikan badan usaha dengan capaian profit tertentu.
Sebagai bukti riset skripsi memang sangat diperlukan. Namun jika skrpisi justru menjebak mahasiswa pada pemikiran yang teoritis dan menjauh dari kegiatan teknis yang parktis, skripsi perlu ditinjau ulang. Sebab, perkembangan zaman menuntut para sarjana memiliki bekal ilmu terapan, bukan sekadar teori.
Terdidik dan ahli
Kesalahan mempersepsi belajar ternyata berakibat fatal pada proses belajar. Dunia pendidikan kita hanya bisa melahirkan sarjana, bukan pemikir. Wisuda menjadi anualitas pendidikan sebagai perayaan kebebasan mahasiswa dari kekangan akademik. Lembaga pendidikan tidak ambil puisng apakah lulusannya memiliki bekal cukup menapaki karir profesional atau tidak.
Saatnya lembaga pendidikan menempati posisi yang sebenarnya sebagai pusat perubahan sosial. Tidak hanya mencetak sarjana, perguruan tinggi harus mencetak tenaga ahli pada bidang tertentu. Karena itulah diperlukan program yang mempu menjembatani sarjana pada kehalian kerja di bidang tertentu.
Dalam dunia kerja, tenga kerja dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tenaga kerja terampil, yaitu tenaga kerja yang menggunakan kecakapan dan keterampilan sebagai dasar profesi. Disinilah kemampuan psikomotor berperan sangat penting sebagai alat utama menyelesaikan jobnya.
Kedua, tenaga kerja terdidik, yaitu tenaga kerja yang dihasilkan oleh proses pendidikan pofesional secara teoritis dan analitis. Tenaga kerja terdidik lebih mengutamakan kemampuan kognitifnya, seperti; analisa, pemikiran, hipotesa, observasi, dan eksprimen sebagai dasar profesi. Ketiga, tenaga kerja ahli, yaitu tenaga kerja yang memiliki latar belakang pendidikan formal untuk kemudian dipublikasikan sebagai bekal keterampilan lapangan.
Dari ketiga jenis tenaga kerja di atas perguruan tingg bertanggungjawab menghasilkan tenaga terdidik dan ahli. Tidak hanya sebagai pelaksana, sarjana harus bisa bekerja berdasarkan analisa dan hipotesa yang tepat. Dengan begitu, proporsi piramida dalam komposisi kebutuhan tenaga kerja bisa terjaga.
Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M)
Universitas Negeri Semarang
Friday, 5 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment