Friday, 5 March 2010

Pelajaran Dusta Aktivis Mahasiswa

Peringatan Hari Antikorupsi Dunia 9 Desember dilalui dengan parayaan yang menggebu-gebu. Tergambar jelas semangat rakyat untuk membebaskan diri dari korupsi. Aktivis LSM, masyarakat, pelajar dan mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan.

Namun, di balik peringatan yang hangar bingar itu ancaman korupsi masih ada. Tidak hanya oleh para koruptor, potensi korupsi bahkan ada pada aktivis mahasiswa yang selama ini dikenal getol menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Melalui mekanisme tertentu mereka dididik, diarahkan, bahkan digiring menjadi koruptor di perguruan tinggi.

Pelajaran Korupsi
Ketika digagas pada akhir tahun 2007 mata kuliah antikorupsi banyak dikritik karena berpotensi melahirkan mahasiswa yang korup. Dikhawatirkan, mahasiswa yang tahu selak-beluk korupsi justru leluasa melakukan kejahatan tersebut. Mereka pintar menggunakan berbagai modus sekaligus pintar menyiapkan pembelaan jika kejahatannya diketahui.

Kekhawatiran itu pula yang sekarang menyelimuti dunia perguruan tinggi kita. Mekanisme pencairan dan pelaporan keuangan kegiatan mahasiswa ternyata secara tidak langsung telah mendidik para aktivis menjadi koruptor. Padahal aktivis mahasiswa adalah kalangan yang selama ini dikenal sangat vokal melawan korupsi. Ironis, mereka terus menerus menggugat korupsi sambil terus menerus mempraktikannya.

Tulisan ini menjadi otokritik bagi penulis dan rekan aktivis mahasiswa supaya pembelajaran korupsi yang diperolah di perguruan tinggi tidak berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Atau setidaknya supaya pelajaran korupsi aktivis mahasiswa tidak menjerumuskan mereka pada tindakan korupsi ketika memegang jabatan publik. Sebab, aktivis mahasiswa sejak lama digadang-gadang sebagai pemimpin masa depan bangsa.

Dua Bentu
k
Mencermati perkembangan mekanisme pencairan dan pelaporan penggunaan dana kemahasiswaan, ada dua bentuk yang bias korupsi. Jika dibiarkan, tindakan ini berpotensi besar mendidik para aktivis pada berbagai modus korupsi.

Pertama, pada pencairan dana. Organisasi kemahasiswaan pada beberapa perguruan tinggi hanya bisa mencairkan dana ketika mereka sudah membuat surat pertanggungjawaban (SPJ). SPJ yang lazimnya diberikan pada akhir kegiatan justru wajib diberikan sebelum dana dicairkan. Artinya, para aktivis merancang laporan fiktif yang berisi perkiraan penggunaan dana. Besar kemungkinan penggunaan dana tidak sesuai dengan SPJ.

Karena SPJ harus disampaikan pada awal kegiatan, aktivis mahasiswa seringkali menganggarkan uang lebih daripada dana yang sebenarnya diperlukan. Pos-pos yang sebenarnya tidak perlu sengaja diadakan, harga barang di-mark up, dan belanja melebihi kebutuhan karena alasan antisipasi. Selain boros, mekanisme seperti ini membuka peluang oknum mahasiswa yang memanfaatkan kegiatan untuk mengeruk keuntungan. Sebab, mereka tidak merasa punya kewajiban mengembalikan uang meskipun ada saldo dana. Toh dalam SPJ sudah telanjur dilaporkan bahwa saldo = 0.

Setidaknya ada tiga pembelajaran korupsi yang dilakukan mahasiswa dalam mekanisme ini, yaitu laporan fiktif, mark up, serta memungut uang negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Padahal ketiga bentuk kecurangan yang berpotensi merugikan keuangan negara tersebut dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diancam hukuman empat hingga dua puluh tahun penjara atau denda Rp. 200 juta hingga Rp. 1 milyar. Ancaman yang tidak main-main.

Kewajiban memberikan laporan terlebih dahulu dengan sendirinya mengajari mahasiswa merancang laporan palsu. Karena saat SPJ disusun belum terjadi transaksi apapun, bukti pembelian juga dipalsukan. Mereka membuat nota belanja fiktif sesuai tuk gathuk mathuk rencana anggaran. Mereka melobi pemilik usaha untuk meminta nota kosong supaya bisa diotak-atik supaya saldo = 0.

Modus korupsi seperti yang penulis kemukakan sudah terhitung canggih. Mereka tidak hanya menyalahgunakan uang negara tapi juga berkoordinasi dengan pihak lain untuk mengeruk kepentingan pribadi. Maka sangat mungkin, ketika mereka telah menjadi pejabat publik, mereka lihai melakukan sekaligus mengembangkan berbagai kecurangan.

Penetapan mekanisme yang kurang tepat juga terjadi pada pembatasan pos yang boleh didanai. Dalam petunjukan teknis pelaporan ada beberapa pos kegiatan yang tidak dapat di SPJkan, seperti transportasi, konsumsi, dan jasa tenaga meskipun ketiganya hampir selalu diperlukan di setiap bentuk kegiatan. Mahasiswa terpaksa membebankaan pengeluaran dari pos tersebut pada pos lain.

Melembaga
Perilaku mahasiswa yang berpotensi korup sangat disayangkan karena seperti telah melembaga. Kekeliruan mekanisme pengelolaan dana kemahasiswaan seperti telah direstui pimpinan perguruan tinggi. Para pimpinan yang mestinya bertanggungjawab sebagai pengawas dan auditor tidak mengkritisi sistem yang keliru tapi justru terlibat melanggengkannya. Padahal sebagai kaum intelektual mahasiswa, dosen dan pejabat perguruan tinggi mestinya berani mengkritisi sistem dan menawarkan regulasi baru yang lebih sehat.

Negara telah menganggarkan banyak uang untuk memberantas korupsi setidaknya satu dasawarsa terakhir. Sejak era reformasi uang yang digunakan pemerintah untuk kampanye antikorupsi, proses penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana korupsi sudah tidak terhitung jumlahnya. Sangat disayangkan jika pada saat yang sama negara juga memfasilitasi mahasiswa praktik korupsi di perguruan tinggi yang mestinya ’suci’ dari berbagai bentuk kecurangan.

Generasi yang dibesarkan dengan kebiasaan berbuat curang jelas tidak akan menjadi generasi yang sehat. Mereka akan terbiasa berbuat curang jika di kemudian hari memiliki kesempatan. Apalagi jika pengetahuan dan kebiasaan berbuat curang tidak diimbangi dengan landasan moral. Sangat disayangkan.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment