Thursday, 29 April 2010

Cerita Tentang Keberanian dan Tuhan

Menjelang sampai di Pantai Troya Achiles meminta rekan-rekannya mempercepat laju kapal. Dayung pun bergerak lebih cepat diayunkan lengan-lengan kokoh tentara ‘profesional’ yang dipimpinnya. Ia tampak tidak sabar menepi dan beradu sakti dengan musuh-musuhnya.

Ketika kakinya menapak di pantai Achiles menarik pedangnya. Dia berlari di barisan paling depan mendekati kuil yang dijadikan prajurit Troya sebagai pos jaga. Wajahnya didongakan seperti menatap langit jauh. Hentakan kakinya menyisakan bekas di atas pasir pantai Troya yang lembut. Lebih dari sepuluh penjaga kuil, dalam waktu yang tidak kurang dari lima menit, ia habisi. Ia memenggal patung dewa yang terbuat dari perak; membuat rekan-rekannya kaget dan sedikit ketakutan mendapat kutukan.

Dua malam setelah berlabuh, tenda-tenda tentara Agamemnon telah berdiri. Achiles, tentara Agamemnon yang paling tangguh, menempati tenda tersendiri yang berjarak empat meter dari tenda lain. Di dalamnya terdapat semacam ranjang dari kain seukuran jarit yang dibentangkan dan bejana perak terisi air jernih tempat Achiles membasuh muka ketika bangun tidur atau membersihkan bercak darah setelah ia beraksi menghabisi lawan.

Lamaran Tiba-tiba
Di hari yang berbeda, ratusan tahun setelah Achiles memahatkan namanya sebagai salah satu prajurit terbaik, Rustama memutuskan datang ke rumah Sairah, pacarnya. Ia berencana menemui orang tua Sairah untuk sebauh keperluan.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Rustama disambut kedua orang tua Sairah. Ia dipersilakan duduk di atas kursi rambang yang dianam motif merak singkar di ruang tamu. Tersaji teh hangat dan keripik pisang di atas meja.

Ayah Sairah, Pak Ali, terlihat agak kaget ketika menyambut bujang berambut keriting itu. Sebelumnya mereka tidak pernah bertemu. Apalagi, sebelum datang Rustama memang tidak memberitahukan kedatangannya. Tapi toh Rustama disambut baik. Ia tamu, dan pada akhirnya berhasil membuat Pak Ali melayani perbincangannya. Keduanya terlibat obrolan hangat ketika langit mulai memerah menandai hari segera berakhir.

“Pak, saya Rustama,” ucap Rustama mantap setelah meletakan gelas berisi teh hangat yang baru diseruputnya. Pandangannya tajam. “Saya sudah dua tahun mengenal anak Bapak. Kami sudah saling mengenal dan merasa nyaman saling berhubungan. Maksud kedatangan saya hari ini adalah untuk melamar anak Bapak. Bolehkah anak Bapak saya peristri?”

Rustama adalah mahasiswa sebuah universitas negeri di Semarang. Ia aktif di lembaga pers mahasiswa universitas itu sejak masuk. Kini ia berumur 26 tahun tetapi masih duduk sebagai mahasiswa. Ia belum bergegas menyelesaikan kuliahnya meski sudah hampir tujuh belas sesmter di sana. Padahal ia pintar menulis, termasuk di majalah kampus yang pernah ia menjadi pemimpin redaksi.

Pak Ali tercenung beberapa detik mendengar ucapan Rustama. Tatapanya kosong. Sama sekali ia tidak menduga pemuda itu menyampaikan lamarannya. Seseorang yang belum pernahd atang dan asaling kenal tiba-tiba melamar purinya. Baginya, hal itu agak aneh.

“Wah, kalau urusan ini bicara sama Pak Hasyim saja,” ucap Pak Ali pada akhirnya. Wa Hasyim adalah tetua di desa tempat Pak Ali tinggal yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Wa’ Hasyim sering diminati pendapat karena tahu itung-itungan. Ia pintar meramal bagaimana weton bisa mempengaruhi nasib seseorang, juga bagaimana memilih hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Ia bahkan sering dimintai petunjuk hari baik untuk mendirikan rumah, apakah pada hari candi, rogoh, atau goyang.

Wa’ Hasyim menemui Rustama dengan masih mengenakan sarung, kemeja batik, dan kopyah beludru hitam. Ia baru turun dari Mushala ketika dipanggil. Wa’ Hasyim katanya, senang memanjangkan waktu Dzikir setelah sholat Ashar. Sebab tidak ada sholat rawatib ba’da Ashar.

“Begini Wa’ Hasyim, tadi saya sudah berbincang dengan Pak Ali. Saya bermaksud melamar Sairah, bagaimana menurut Wa Hasyim?” sergap Rustama, tidak mau berbasa-basi. Wa Hasyim batuk kecil sebelum menjawab. “Sairah mau tidak?” tanyanya. “Mau,” jawab Pak Ali setelah menanyai anaknya. “Ya sudah to.”

“Kalau begitu sekarang saya pamit dulu Pak. Ini saya tinggalkan uang tiga ratus ribu untuk selamatan kecil-kecilan lah. Saya melarang Bapak merayakan ijab kobul secara belebih. Hari Rabu besok saya akan kembali ke sini bersama keluarga untuk melangsungkan ijab qobul,” Rustama mengakhiri perbincangan. Wa Hasyim mendengarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Dua hari berikutnya Rustama benar-benar datang ke rumah Sairah. Ia datang bersama ibu dan rekan-rekan sesama pegiat persma. Ayahnya tidak turut dalam rombongan karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan sebagai PNS. Berangkat dari Semarang pukul 3 sore rombongan Rustama sampai menjelang Maghrib karena sempat tersesat.

Susno Duadji
Dua tahun setelah ijab qobul yang berlangsung bersahaja itu Rustama memilki putra, hampir bersamaan dengan wisudanya. Saya sering bertemu dengan dia dan berbincang banyak hal; politik, hukum, pertanian atau perkontolan (seks). Suatu malam ia berbincang-bincang mengenai sikap Susno Duadji yang membeberkan sejumlah borok di kepolisian. Rustama pernah mengaku bingung, apa peran Susni Duadji dalam pemberantasan korupsi. Protagonis atau antagonis?

Ketika mengeluarkan istilah cicak melawan buaya Susno banyak ‘dimusuhi’ orang. Ia dianggap sebagai aktor yang melemahkan institusi pemberantas korupsi itu. Sumpahnya di DPR diragukan banyak orang. Ia ditengarai menerima suap dan kongkalikong berbagai kasus, termasuk pencairan dana juragan Rokok Budi Sampoerna dari Bank bermasalah Century.

Tidak lama setelah itu Susno diundang rapat dengar pendapat di Komisi III DPR. Ia duduk tanpa pendamping ketika sejumlah anggota komisi III melempar berbagai pertanyaan. Matanya yang sipit terus menerus berkedip seperti kelelahan. Matanya bahkan terlihat sembab ketika ia ‘diamankan’ Polri ketika akan terbang ke Singapura untuk lasik.

Susno dianggap salah satu perwira berani karena setelah menguak tindak bejad perwira di Mabes Polri. Kabarnya, karena tindakan itu ia dimusuhi teman-teman sesama polisi. Edmond Ilyas dan Raja Erizman, dua orang yang ia sebut sebagai pelaku money loundry bahkan berencana menuntut Susno Duadji karena dianggap mencemarkan nama baik. Di lain waktu, Syahril Johan, mantan diplomat yang ia sebut menjadi markus, melakukan serangan balik dengan mengungkap pelanggaran yang Susno lakukan.

Tentang Tuhan
Terhadap Achiles, Rustama, dan Susno Duadji, jujur, saya kagum. Mereka adalah pria-pria berani. Keberanian mereka lebih mudah saya ilustrasikan dengan keberanian pria dalam iklan Gudang Garam, bahkan. Tidak peduli motif apa yang menggerakan ketiganya, tindakan mereka fantastis. Seandainya saat itu saya berperang bersama Achiles, dua jempol mungkin akan saya acungkan. Ketidaktakutannya terhadap lawan membuatnya pantas dipuji karena tidak takut mati. Terhadap mahasiswa ‘tua’ yang berani melamar anak gadis orang, jempol juga akan saya acungkan. Tindakannya jauh lebih gagah daripada puluhan rekan saya yang menginapkan pacarnya di kamar kos beberapa malam.

Saya kemudian bertanya, keberanian apa yang Tuhan anugerahkan kepada saya? Tuhan Maha Adil. Pasti Ia juga membekali saya dengan keberanian.

Pukul 20.25, proses lay out Nuansa 127 selesai. Zaki sang lay outer sudah bernjak dari depan komputer untuk mandi setelah dua hari lebih tidak bersentuhan dengan air. Jika cetak lancar Senin pagi Nuansa sudah bisa didistribusikan. Karena itulah muncul kekhawatiran; ditegur birokrat kampus karena Nuansa menguak praktik korupsi di kampus, dihujat rekan-rekan aktivis mahasiswa karena dianggap ‘menelanjangi, atau dicemooh karena ceroboh. Semoga berani dan ceroboh berbeda bagi saya.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes

No comments:

Post a Comment