Selasa, pukul 21.02 WIB, Astrid, reporter Nuansa yang poninya menutupi separuh wajah bertanya, “nasi kucing?” Ia rupanya berencana membeli nasi kucing dan bermaksud menawari saya. Saya langsung memberi tanda V dengan jari telunjuk dan jari tengah. “Dua,” ucap saya.
Selasa malam hujan turun deras di Sekaran. Guyuran hujan menciptakan gemuruh yang khas. Jika dilihat dari kantor BP2M di lantai dua gedung UKM, guyuran hujan tampak mengkilat memantulkan cahaya lampu.
Astrid dan roperter Nuansa lain berencana lembur malam itu. Rekan-rekan lainnya pun datang. Lusi duduk di pojokan menghadap laptop. Di samping Lusi ada Nisrina, Debi, Anis, Lina, Didit, dan beberapa pegiat pers mahasiswa lain. Topan dan Wita, keduanya redaktur pelaksana Nuansa, mondar-mandir karena naskah Nuansa 127 ada yang kurang. Sementara Zaki, lay outer senior yang kini memanjangkan rambut, duduk di depan depan komputer sejak Ashar. Beberapa batang LA Light sudah ia habiskan.
BP2M Melawan Korupsi
Greget awak Nuansa malam itu sangat terasa. Mereka bahu membahu menyiapkan terbitan Nuansa 127 yang mengambil tema ‘melawan korupsi’. Yudi Ristu Prihawan sang pemimpin redaksi membolak-balik print out draft Nuansa. Sementara itu saya duduk di kantor menyaksikan Tina Talisa. Ia tampak lebih hot dari bisanya dalam balutan blues biru. Sesekali muncuil wajah Gayus HP Tambunan di layar televisi.
Tema korupsi yang diangkat Nuansa adalah representasi kegeraman kami, pegiat persma, terhadap korupsi yang kian merajalela. Bagi saya, para koruptor adalah makhluk keji melebihi iblis. Ia bukan hanya jahat, tetapi ‘jahat’. Ia menyeramkan seperti wewe gombel dan licik melebihi Sengkuni. Menyimak ulah para koruptor menilap uang negara membuat saya ingin meludah. Kebencian saya pada mereka terasa sampai ubun-ubun sehingga saya sering ingin menjadi The Punisher untuk menghabisi mereka satu demi satu.
Tidak hanya di layar televisi, saya khawatir praktik-praktik korupsi juga dekat dengan kehidupan sehari-hari. Di kampus misalnya. Sebab, perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu adalah lembaga besar. Uang yang dikelola lembaga ini saya dengar lebih dari 200 milyar per tahun. Karena itulah, bukan tidak mungkin, ada praktik korupsi di perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu.
Berawal dari pemkiran itu, rekan-rekan Nuansa sepakat; korupsi-betatapun besar dan kecilnya-harus dimusnahkan. Praktik korupsi harus dijauhkan dari kehidupan. Maka, sebagai pekerja pers, kami memulainya dengan menerbitkan Nuansa edisi melawan korupsi. Setelah itu aksi nyata melawan harus kami wujudkan dalam tindakan nyata. Bagi saya deklarasi anti korupsi, penandatangan nota kesepahaman, atau bahkan meneriakan perlawanan terhadap korupsi, sudah tidak relevan. Tren memerangi korupsi yang paling mutakhir adalah dengan menjaga diri.
Prof Abu Suud dalam tulisan Koruptorkah Aku..? (Suara Merdeka, 18/12/2009) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap korupsi di perguruan tinggi. Ia bahkan khawatir dirinya juga seorang koruptor. Sebab menurut Prof Abu, betatapun kecil nominalnya, memungut uang negara untuk kepentingan pribadi adalah korupsi. “Ketika kita mendapat kendaraan dinas, pernahakah kita menggunakannya selain untuk urusan dinas?” gelitik guru besar emeritus Unnes yang sangat produktif menulis itu. “Pernahkah kita mendapat proyek penelitian, betapapun kecilnya, dan oleh karena harus mempertanggungjawbakan dana sesuai nominal sementara yang kita terima tidak sebesar itu, pernah kita melakukan jurus mark up, tanpa merasa bersalah?”
Saya kemudian teringat tulisan Belajar Korupsi di Program Kreativitas Mahasiswa (Kompas, 9/11/2009) yang saya tulis beberapa waktu lalu. Tulisan itu saya buat dari pengamatan terhadap penyelewengan dana penelitian PKM yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa. Mereka mengajukan dana penelitian dengan nominal tertentu meski penelitian yang dilakukan hanya membutuhkan dana separuhnya. Sisa dana penelitian mereka jelmakan menjadi laptop, ayam goreng, atau sekadar dihabiskan untuk beli kebutuhan sehari-hari.
Ironisnya, saya sebagai fungsionaris lembaga kemahasiswaan, tidak luput dari aksi kongkalikong itu. Supaya organisasi yang saya pimpin ‘sejahtera’ saya beberapa kali mengajukan dana kegiatan yang lebih omber. Sengaja saya membuat selisih antara uang yang saya perlukan dengan uang yang saya mintakan. Ini sebagai ‘antisipasi’.
Beberapa kali saya termenung mengingat hal yang saya lakukan. Apakah saya telah melakukan dosa? Ego saya kemudian menguatkan, perbuatan itu saya lakukan bukan oleh motif-motif pribadi. Saya tidak bermaksud memperkaya diri. Saya hanya ingin organisasi saya bisa terus berkegiatan sehingga bisa terus menyebarkan informasi. Menurut saya, kerja BP2M melalui Express, Nuansa, dan Kompas Mahasiswa menyebarkan informsi adalah kerja mulia. Tapi, kerja mulai kenapa harus dimulai dengan apus-apusan? Sungguh, saya tidak bisa menjawabnya. Saya hanya bisa mengulang kalimat Sukardi Rinakit, Gusti Allah Ora Sare.
Gerakan Moral
Kegelisahan saya berlanjut. Bagaimana cara agar BP2M mampu menjadi inspirasi kehidupan yang bersih dari korupsi?
Sebagai bagian dari sistem yang lebih besar BP2M tidak bisa melakukan tawar menawar terlalu banyak. BP2M, mau tidak mau, harus manut supaya bisa terus hidup. Tetapi saya kahwatir jika sistem besar yang BP2M ikuti adalah sistem besar yang korup. Itu artinya BP2M juga organisasi yang korup, atau setidaknya menjadi bagian dari sistem yang korup.
Ketika hujan menyisakan rintik-rintik, Astrid datang. Ia membawa beberapa plastik kresek berisi nasi kucing, coffemix, dan bakwan hangat lengkap dengan beberapa butir cengis. Segera saya mengambil dua bungkus nasi dan dua bakwan. Ketika akan menggigit salah satunya tiba-tiba muncul tanya; inikah bakwan yang BP2M beli dari mark up kegiatan? Haramkah?
Sungguh, saya menyadari BP2M tidak akan menjadi siapa-siapa dalam ikhtiar memerangi korupsi di Indonesia. Lembaga mahasiswa ‘kecil’ ini hanya sebutir pasir sedangkan korupsi adalah gurun. Karena itulah BP2M akan kesulitan jika melakukan pendekatan struktural. Korupsi di Indonesia tidak akan hilang hanya karena BP2M. Jadi menurut saya, perlawanan terhadap korupsi harus menjadi gerakan moral. Setidaknya, BP2M mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang tidak money mindset lah.
Jika gerakan moral ini berhasil saya yakin akan berimplikasi besar suatu saat nanti. Muqsith Ary yang saya ramal akan menjadi pengusaha sukses misalnya, menjadi pengusaha antikorupsi. Rifai yang ingin menjadi guru semoga bukan guru korup. M. Khusni, setelah menjadi duta besar, saya harap menjadi diplomat yang antikorupsi. Sedangkan Diana yang agaknya akan bernasib menjadi istri kedua semoga menjadi istri kedua yang menyadari hak dan ‘jatahnya’. Gusti Allah ora sare.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Thursday, 29 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment