Dua kali sepakan Mbah Solimah, tetangga saya di Dusun Sampang, desa Petuguran, Banjarnegara yang akrab disapa Mbah Imah datang ke rumah Pak Sanahyat untuk ngaji. Wanita berusia 72 tahun ini minta dibimbing melafalkan doa-doa shalat. Sepakan lalu ia hafal iftitah dan kini ia coba menghafal doa tahyat. Ia melafalkan potongan doa itu beberapa kali meski kadang terbolak-balik.
Mbah Imah mengaku tidak pernah ngaji atau sekolah ketika kecil. Saat ia masih anak-anak tidak ada sekolah di dekat rumahnya. Guru ngaji yang bisa membimbingnya belajar shalat juga tidak ada. Karena itulah ia tidak pernah shalat. Ia mulai belajar shalat sekitar dua bulan lalu ketika mulai gemar datang ke pangajian ibu-ibu.
Kemampuan belajar Mbah Imah tidak terlalu istimewa. Ia bahkan sering lupa. Kadang Pak Sanahyat mengulang pelajaran hari sebelumnya dari awal karena Mbah Imah lupa sama sekali. Tapi dia tetap tampak semangat. Ba’da Isya setiap malam Senin dan Kamis ia duduk di teras rumah Pak Sanahyat menunggu guru ngajinya itu pulang dari Mushola. Kadang-kadang ia ditemani cucunya.
Kemauan belajar Mbah Imah membentangkan fakta yang mengejutkan bagi saya. Ia memiliki tekad kuat meski sudah tidak muda lagi. Ia digerakan kekuatan untuk bisa sehingga tidak perlu malu belajar dari nol. Ia berusaha mengenali fitrah dirinya, melakukan identifikasi benar-salah, sekaligus berusaha menemukan pengalaman hidup yang bermakna. Ia termotivasi mengetahui dan menguasai sesuatu supaya bisa segera mampraktikannya.
Ujian Nasional
Proses belajar Mbah Imah berbeda dengan proses belajar yang dilakukan puluhan ribu siswa di sekolah yang berorientasi pada Ujian Nasional. Banyak siswa yang belajar giat sekadar melewati UN. Mereka terdorong belajar supaya bisa menyelesaikan soal-soal UN tanpa peduli apakah proses belajar yang dilaluinya bermakna bagi kehidupan mereka atau tidak. UN seolah-olah menjadi representasi tunggal keberhasilan belajar.
Kekeliruan mempersepsi proses belajar sebagai rutinitas formal telah menjadikan siswa di Indonesia keblinger memahami konsep diri dan lingkungannya. Kegiatan belajar mengajar di kelas, yang lebih berorientasi pada penguasaan konsep, tidak mampu membantu mereka menemukan kebenaran filosofis kehidupan. Apalagi sejak diberlakukan UN, kegiatan belajar seperti melulu dilakukan supaya siswa lulus. Proses belajar sebagai proses panjang manusia mengidentifikasi diri, lingkungan, serta relasi yang meliputi keduanya justru sering diabaikan.
Agus Salim (2004) memandang pendidikan sebagai proses berfilsafat. Pendidikan yang baik mestinya mampu mengantarkan siswa pada kebenaran-kebenaran hidup, yakni kebenaran berupa pengetahuan dan perilaku yang berguna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Sebab, pendidikan bukankah resep yang secara mujarab mampu mengatasi persoalan kehidupan, tetapi sebuah pendekatan bagi individu untuk menyikapi realitas hidup secara bermakna.
UN telah menjauhi proses tersebut. Proses belajar di kelas beserta rangkaian tes yang menyertainya seperti formalitas. Siswa melakoni aktivitas tersebut karena tuntutan formal. Siswa belajar supaya lulus UN dan memperoleh ujazah, kemudian bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dan mendapat pekerjaan layak. Prinsip belajar learn to do tidak terlalu mendapat perhatian karena siswa justru berkonsentrasi melewati formalitas-formalitas pendidikan. Akibatnya, ketika formalitas tersebut telah berhasil dilalui, aktivitas belajar seolah terhenti.
Ngangsu
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa belajar sering disamakan dengan aktivitas ngangsu atau menimba air. Pembelajar adalah gentong sedangkan lingkungan adalah tuk atau mata air. Relasi gentong dan tuk bukanlah relasi formal yang ditata dengan seperangkat aturan, tetapi kebutuhan hidup. Gentong perlu diisi karena pemiliknya memerlukan air untuk berbagai keperluan hidup; minum, memasak, mandi atau mencuci. Seseorang tidak akan pernah berhenti ngangsu karena akan terus memerlukan air selama ia hidup.
Mengibaratkan pendidikan dengan ngangsu barangkali akan membuat seseorang lebih bijak menyikapi proses belajar. Pendidikan setidaknya tidak dimaknai sebagai formalitas, melainkan kebutuhan hidup. Setiap individu memerlukan ilmu pengetahuan sebagai alat memaknai hidup. Maka ketika satu mata air yang satu kering ia akan tergerak untuk mencari mata air lain.
Relasi ngangsu seperti inilah yang tidak dijumpai di sekolah ketika UN dijadikan syarat tunggal kelulusan. Aktivitas belajar disempitkan pada tujuannya sekadar bisa menjawab soal. Siswa tidak diajak memaknai substansi materi tetapi pengetahuan-pengetahuan yang hanya bersifat luaran. Siswa mempelajari berbagai hal namun tidak mampu mendaratkan ilmunya dalam kehidupan. Bahkan mereka seperti sudah cukup puas ketika sukses menjawab rangkaian pertanyaan.
Hal demikian tidak hanya menjauhkan siswa pada substansi keilmuan, tetapi menjebak mereka pada tujuan-tujuan yang tidak nyata. Kelulusan adalah ilusi jika tidak disertai pemerolehan ilmu pengetahuan, keterampilan, atau perubahan tingkah laku. Karena itulah, sekolah kadang tidak lebih baik dari Mbah Imah.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Wednesday, 5 May 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment