Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, telah berkembang menjadi kota besar. Kegiatan ekonomi di sana didominasi pemodal besar. Mall mengalahkan pasar tradisional, jumlah kampus menyaingi pondok pesantren tradisional. Namun sebagai kota yang dibangun dalam subkultur pinggiran Purwokerto tidak bisa melepaskan identitas pinggiran. Karya sastra yang lahir di sana, bahkan di Banyumas Raya, lekat dengan slenthingan khas kaum pinggiran.
Sastra pinggiran di Banyumas ditandai oleh kritik tajam terhadap kemapanan. Karya sastra menjadi semacam pelantang suara kaum papa. Ia hadir mengambil jarak dengan penguasa sebab tidak hadir dari gelimang kemakmuran melainkan lahir dari implikasi sampingan dari kemakmuran. Sebab kemakmuran satu kelompok selalu menyisakan kesengsaraan bagi kelompok lain.
Jika mencermati tren tema karya sastra Banyumasan, tema-tema penginyongan hadir berakulturasi dengan kondisi zaman. Tahun 1980an misalnya, Ahmad Tohari hadir dengan Ronggeng Dhukuh Paruk (RDP). Melalui premis yang dibangun dalam novel tersebut Tohari memberi kritik yang tajam terhadap kekuatan militer.
Tema demikian tidak ditemukan pada era 2000an karena masalah mutakhir telah berganti. Hari Soemoyo dalam Geger Wong Ndekap Macan (GWNM) mewakili suara pinggiran dengan menampilkan profil kaum tani. Petani Banyumas tidak lagi dihadapkan pada kebengisan militer melainkan kuasa modal. Petani dibuat repot oleh kenaikan harga pupuk, akses modal yang berbelit, serta permainan harga di tingkat tengkulak yang kerap mengombang-ambingkan petani. GWNM menyuarakan pembelaan terhadap kaum tani ketika mereka berhadapan dengan pemilik modal dan pemerintah yang abai.
Baik RDP maupun GWNM menunjukkan pembelaan terhadap masyarakat miskin dengan sangat kentara. Keduanya menampilkan deskripsi yang panjang dan menggugah untuk menguraikan kesulitan orang Banyumas menyikapi hidup. Orang desa yang miskin menjadi semacam representasi umum masyarakat Banyumas yang perlu dibela. Pada beberapa bagian kedua novel ini bahkan menampilkan hujatan sentimentil terhadap pemilik kewenangan.
Pemberontak
Kentalnya suara-suara pinggiran dalam sastra Banyumasan tidak lepas dari pengaruh sejarah subkultur Banyumas. Dalam berbagai catatan dapat dijumpai fakta bahwa masyarakat Banyumas lekat dengan karakter pemberontak. Mereka memilih mengambil jarak dari pusat kekuasaan dengan sesekali melancarkan kritik. Posisi oposan diambil meski mereka tidak memiliki kepentingan, atau bahkan hanya itikad, mengambil alih kekuasaan.
Priyadi (2000) menguraikan Babad Tanah Jawi saja mencatat ada empat orang pemberontak dari Banyumas, yaitu Saradenta-Saradenti, Raja Namrud, dan Ki Bocor. Serat Babad Kaliwungu atau Syair Perang Kabawungu mengisahkan pemberontakan Secayuda atau Raja Darap Maolana Mahribi atau Abdul Kadir, sedangkan Babad Kebumen yang juga dikenal dengan Babad Arumbinangan menggambarkan dua orang bersaudara pemberontak dari Gunung Slamet, yakni Damarmaya dan Mayadarma.
Sejarah panjang perlawanan masyarakat dan priyayi di Banyumas memiliki andil besar dalam mewarnai karya sastra di sana, setidaknya dalam pemilihan tema dan sudut pandang. Novel Banyumasan hampir dipastikan mengangkat tema kaum pinggiran; buruh tani, buruh perkebunan, atau penyadap nira. Juragan sebagai representasi pemilik modal sering diposisikan pada peran antagonis.
Penyair, cerpenis, dan novelis juga mengambil perpektif yang tegas ketika menyikapi dinamika sosial politik masyarakat. Berbeda dari kebanyakan sastrawan yang berusaha keras menjadikan karyanya bebas nilai, sastrawan Banyumas justru terang-terangan melakukan pembelaan terhadap kaum miskin desa ketika mereka mengalami ketidakadilan. Pernyataan skeptis mengemuka ketika para sastrawan memandang struktur sosial yang diskriminatif. Narasi-narasi kritis bernada menghujat pun kerap menghiasi karya mereka.
Lantangnya suara pinggiran sastra Banyumasan menarik dicermati karena telah menciptakan semacam aliran sastra tersendiri. Sastra Banyumasan adalah sastra wong cilik, sastra kaum pidhak pidarakan. Karakter demikian bertahan hingga sekarang bahkan ketika subkultur Banyumas telah berkembang berakulturasi dengan modernitas.
Mbok Minah
Hingga kini pembelaan yang kuat tetap ditunjukkan sastra Banyumasan ketika mendapati relasi sosial-ekonomi yang dianggap tidak berkeadilan. Pada kasus Mbok Minah, nenek yang hukum percobaan satu setengah bulan karena mengambil tiga buah kakao dari perkebunan misalnya, sastra mengambil peran sugestif. Ia melakukan pembelaan dengan mengemukakan berbagai argumen secara logis estetis. Beberapa puisi yang lahir ketika kasus itu menghangat terang-terangan bersikap dengan mendeskripsikan hal yang mestinya dilakukan dan mestinya tidak dilakukan.
Pembelaan terhadap kaum pinggiran telah menjadi karakter khas sastra Banyumasan. Apalagi saat ini, hiruk pikuk kemajuan telah menyajikan banyak cerita ketidakadilan. Relasi modern-tradisional menyisakan ruang kesenjangan yang lebar. Relasi pemerintah dan rakyat menyisakan ketidakberdayaan. Demikian pula relasi agraris-industri, terdapat ketidakimbangan ketika produk-produk pertanian tergeser oleh produk olahan pabrik.
Dalam relasi seperti itulah sastra Banyumas hadir menyajikan narasi alternatif. Ia tidak semata-mata menjadi ekspresi seni para pujangga melainkan menjadi duta masyarakat marginal di sana. Ia tidak sekadar menciptakan imajinasi kreatif dan rekreatif, tetapi memberanikan diri menawarkan solusi.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dari Halaman Forum Kompas Jateng, 11 Mei 2010
Wednesday, 5 May 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment