Wednesday, 19 May 2010

Sri Mulyani Korban Kartelisasi?

Kabar pengangkatan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia ibarat sepoi angin di tengah krisis percaya diri masyarakat Indonesia. SMI membuktikan, tidak hanya kepada para perempuan tetapi kepada seluruh bangsa Indonesia, bahwa manusia Indonesia memiliki keunggulan. Namun, pengangkatan SMI juga meninggalkan kekhawatiran karena membuktikan kartelisasi politik di Indonesia.

Kekhawatiran tersebut muncul atas rangkaian sejumlah perisitwa. Kemunduran SMI dari kursi Menteri keuangan ditengarai akibat tekanan politik Golkar kepada presiden. SMI sengaja dikorbankan dari kabinet supaya presiden mendapat dukungan politik Golkar di parlemen. Dengan begitu Presiden bisa melanjutkan masa pemerintahannya tanpa kendala berarti sebagaimana yang ia jumpai ketika Golkar mengangkat isu Bank Century.

Kepergian SMI akibat kongkalikong politik kelas tinggi ditandai oleh pembentukan Sekartariat Bersama Partai-partai Koalisi, hanya beberapa saat setelah SMI mengajukan pengunduran diri. Sekber partai koalisi sepakat memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua harian. Padahal Aburizal adalah pengusaha dan politikus yang selama ini menjadi SMI, baik karena persoalan pajak maupun sengketa Bank Century.

Barter Kekuasaan
Meski dengan malu-malu dan nyinyir kita harus mengakui telah terjadi barter kekuasaan antarelit politik di negeri kita. Kepergian SMI adalah harga yang dibayar SBY supaya ia mendapat dukungan Golkar di parlemen. Langkah ini ditempuh karena pemerintah merasa kehabisan energi meladeni tuntutan Golkar di parlemen. Pemerintah merasa perlu memperkuat dukungan parlemen agar program-program pemerintahan diloloskan tanpa kendala politis.

Barter kekuasaan yang dilakukan pemerintah dan Golkar telah menunjukkan orientasi gerakan mereka. Sebagai partai yang selalu dekat dengan kekuasaan Golkar tampak tidak sabar menahan nafsunya menjadi penguasa. Ia melakukan berbagai kesepakatan supaya secara kelembagaan dan personal memiliki kekuatan menggerakan arah kemajuan bangsa. Padahal Golkar adalah seteru Demokrat pada pemilu Presiden 2009.

Ambisi partai beringin mengangkangi pemerintahan ditunjukan dengan menunjukkan kekuatan di parlemen sebagai alat menaikan harga tawar (bargaining position). Golkar kemudian membidani sekretariat bersama dan menempatkan ketua umumnya, Aburizal Bakrie, sebagai ketua harian.

Apa akibat barter kekuasaan bagi pemerintahan dan rakyat? Secara de jure posisi sebagai ketua harian memang tidak memiliki legitimasi hukum apapun menentukan arah kebijakan pemerintah. Namun secara de facto Aburizal dipastikan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah, terutama di bidang ekonomi. Melalui Sekber Koalisi Aburizal akan menyortir kebijakan yang ditawarkan pemerintah, meloloskan yang diprediksi menguntungkan partai dan kerajaan bisnisnya dan membuang jauh-jauh kebijakan yang berpotensi merugikan diri, partai, dan usahanya. Secara politis ia memiliki kekuatan melakukan hal tersebut karena ia memegang kendali partai Golkar, partai terbesar kedua di Indonesia.

Gerakan Sipil
Mundurnya SMI dari kabinet Indonesia bersatu menunjukkan Golkar telah memiliki posisi tawar yang sangat kuat. Sebaliknya, demi kelanggengan masa jabatan, pemerintah justru melemahkan dirinya. Karena itulah, ke depan akan semakin banyak kebijakan pemerintah yang berasal dari hasil kesepakatan pemerintah dan Golkar. Pemerintah akan semakin abai kepada suara para buruh, mahasiswa, petani, atau nelayan karena dipaksa mengarusutamakan ‘bisikan’ Golkar.

Kita bisa bayangkan jika kebijakan pemerintah adalah hasil afiliasi kekuatan politik. Para penguasa akan mempertimbangkan kebijakan, apakah perlu dibuat atau justru dilupakan, hanya berdasarkan kalkulasi politik. Akibatanya, pemerintahan akan kembali tersentralisasi. Koalisi dikhawatirkan akan berakhir pada kolusi politik dan justru menjauhkan pemerintah dari kerja pemerintahan yang efektif.

Mencermati tren tersebut, agak sulit masyarakat berpartisipasi dalam pemerintahan. Sebab, suara rakyat akan menjadi suara minor yang hanya didengan pada upcara-upacara namun akan hilang di meja perundingan. Mengantisipasi hal tersebut, karena tampaknya akan segera terjadi, rasanya masyarkat perlu memperkuat diri dalam gerakan masyarakat sipil yang lebih massif. Gerakan ini setidaknya dapat mengimbangi persekongkolan elit politik dengan melakukan boikot. Karena masyarakat, atas nama demokrasi, berhak mengambil sikap tidak partisipatif jika kebijakan pemerintah adalah hasil kongkalikong penguasa semata.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Dari Halaman Opini Mahasiswa Koran Sore Wawasan

No comments:

Post a Comment