Pesta pernikahan, sebagimana supitan, telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam risalah hidup seseorang. Upacara pernikahan menjadi sakral karena dianggap mampu menyatukan dua kepala dalam satu anggukan. Pernikahan menjadi catatan awal sebuah peradaban, tempat mula suka dan duka. Karena itulah pasangan pengantin kerap disebut raja dan ratu sehari untuk menggambarkan betapa penting dan dihormatinya mereka, jelang dan saat upacara pernikahan dilangsungkan.
Hal yang menarik, pengantin selalu disibukan dengan serangkaian aturan. Jelang dan saat upacara pernikahan ada serangkain aturan yang berkelindan mengelilingi mereka. Kumpulan larangan dilekatkan dilengkapi dengan serangkaian mitos. Demikian pula berbagai anjuran, berubah menjadi kewajiban karena hadir disertai ancaman. Pengantin diliputi berbagai ancaman sehingga otoritas atas diri dan pikirannya tersita.
Nyatanya, kumpulan aturan yang meliputi pasangan pengantin kekal hingga saat ini. Atas nama ora ilok pengantin mengikutinya. Hal demikian bahkan terbawa ketika pengantin ditandur pada resepsi. Mereka, sebagai raja dan ratu, justru setidaknya dikendalikan oleh tiga pihak, yakni among acara, penata rias, dan fotografer. Pengantin akan mengikuti rangkaian acara sebagaimana dibaca among acara, menerima jenis pakaian yang disarankan penata rias, juga mengukuti gaya yang diminta fotografer.
Pelabelan
‘Kepasrahan’ raja dan ratu sehari membuktikan terdapat proses labeling yang demikian kuat dalam masyarakat kita. Sebagai bangsa yang menyusun sejarahnya atas simbol dan upacara, label terbukti digdaya meninabobokan subjek supaya melalaikan kuasa atas dirinya. Pada contoh pengantin, mengapa pasangan raja dan ratu justru manut diatur oleh kekuatan-kekuatan dari luar? Ia bahkan membiarkan orang-orang yang dibayarnya untuk menentukan rangkaian pilihannya. Apakah label sengaja diberikan justru agar mereka mudah dikendalikan?
Bagi masyarakat yang mengakui simbol sebagai representasi pengakuan, label berubah menjadi kebutuhan. Ia diperlukan untuk mengekalkan eksistensi pribadi, menggantikan esensi substantif yang cenderung sulit diperoleh. Bahayanya, gelar yang dilabelkan kemudian mendikte pola pikir dan tingkah laku seseorang. Gelar melucuti karakter unik seseorang dan menggantinya dengan identitas baru yang bersifat simbolis.
Terkait dengan hal itu, menyeruak pertanyaan menarik dari jagad akademis. Mengapa banyak dosen begitu berambisi mengejar gelar doktor dan guru besar sehingga menempuh berbagai jalan untuk memperolehnya?
Selain nominal tunjangan yang memukau, seorang akademisi barangkali perlu meneguhkan kepakarannya dengan gelar. Ia merasa semakin percaya diri ketika gelar doktor atau “Prof” melekat dalam identitas dirinya meski karya yang mengukuhkan kepakarannya tidak ada. Ada semacam kepuasan yang dirasakan akademisi kita ketika nama mereka diiringi rangkaian gelar.
Bagi masyarakat yang percaya dan dipuaskan oleh simbol, gelar tentu saja sangat kemedol. Ia memiliki nilai jual karena dirangkaikan dengan sebuah mitos yang telanjur dipercaya. Guru besar sebagai contoh, hampir selalu diasumsikan sebagai tokoh intelektual yang memiliki keahlian mendalam dalam suatu bidang. Profesor kemudian menjadi maskot intelektualitas, tokoh serba tahu yang solutif. Masyarakat cenderung abai jika pemerolehan gelar tersebut ternyata dapat dilakukan hanya dengan memenuhi rangkaian penilaian kuantitatif.
Apakah kegemaran masyarakat mengutamakan label mempengaruhi relasi logika dan keputusan yang diambil?
Masyarakat (baca: kita) akan begitu merindukan label sebagai jalan pintas memperoleh pengakuan. Akhirnya, gelar dan jabatan menjadi lebih penting daripada kerja realistis yang meliputinya. Kita bisa mencermati aksi para politik, baik di daerah mapun pusat, untuk membuktikan tesis tersebut. Sejumlah tokoh terlibat perebutan jabatan sehingga kerja pengabdian kepada rakyat yang menjadi esensi jabatannya justru terbengkalai. Di tingkat korporasi agaknya juga demikian. Sertifikasi produk dan ajang penghargaan (awarding) diadakan hanya untuk meneguhkan brand.
Demokrasi
Pelabelan telah menghilhami para penguasa meredam keinginan rakyat untuk berkuasa. Dalam sistem pemerintahan demokrasi rakyat disebut-sebut sebagai pemegang kedulatan. Pemerintahan dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat. Baik sebagai subjek maupun konsep rakyat dirumuskan sebagai penguasa tertinggi.
Cara demikian terbukti efektif, setidaknya dalam meredam gejolak perlawanan rakyat. Rakyat dipuaskan oleh berbagai adagium yang menempatkannya sebagai raja. Sistem politik perwakilan dirancang sedemikan rupa sehingga mengesankan rakyat menjadi penentu keputusan. Padahal, dalam politik perwakilan terdapat berbagai kendala yang memutus logika perwakilan. Anggota DPR yang diasumsikan sebagai representasi rakyat justru sibuk menyuarakan kepentingan partai. Mereka asyik menikmati kenyamanan Senayan saat rakyat yang diwakilinya bergelut melawan kemiskinan.
Agar tidak menjadi adagium kosong, pemilihan langsung tampaknya perlu dimaknai kembali. Sebab, proses pemilihan telah menjadi transaksi. Pemilihan langsung bukan upacara pelimpahan kekuasaan melainkan anualitas demokrasi sekadar mengakomodasi hasrat ‘berkuasa’ rakyat. Setelah proses tersebut berlangsung toh hubungan rakyat dengan penguasa ternyata terputus. Seperti pengantin, rakyat hanya menjadi raja dan ratu sehari.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Sunday, 23 May 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment