Sunday, 23 May 2010

Halinakerebcesfer

Fitriyan Dwi Rahayu barangkali menjadi siswa SMP paling bahagia di tengah keprikhatinan jebloknya tingkat kelulusan siswa SMP. Sabtu (8/5) lalu ia ditelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena berhasil meraih nilai UN tertinggi di tanah air. Siswa SMP Negeri 1 Karanganyar, Kebumen itu meraih nilai UN rata-rata 9,95 dengan perolehan sempurna untuk mata pelajaran Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Ia pun memperoleh tawaran studi di sejumlah SMA favorit dengan garansi beasiswa hingga sarjana dari Bupati.

Prestasi Fitriyan ibarat conal atau tokoh komedial yang hadir di sela ketegangan konflik dalam pentas ketoprak. Ia mampu menghadirkan senyum dan gelak tawa di tengah geram dan kesedihan. Fitriyan hadir membantah tesis bahwa prestasi hanya bisa lahir dari gelimang fasilitas. Ia sekaligus mengingatkan bahwa orientasi pembangunan pendidikan harus dikembalikan pada pembangunan manusia. Sebagai proses yang berusaha memanusiakan manusia perhatian utama pendidikan adalah nilai-nilai kemanusiaan, bukan isu politik, hukum, atau ekonomi yang melingkupinya.

Prestasi yang Fitriyan toreh, saya sepakat dengan Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Karanganyar dan Bupati Kebumen, adalah prestasi luar biasa. Namun, apa yanga Fitriyan lakukan patut menjadi permenungan. Ia tidak bisa dijadikan tameng bagi sekolah, daerah, atau Departemen Pendidikan Nasional untuk mengklaim keberhasilan pendidikan. Prestasi Fitiryan adalah murni milik Fitriyan, bukan milik sekolah, daerah, apalagi pemerintah. Sebab, pada saat yang sama dan di tempat yang sama masih banyak siswa yang tidak lulus. Di Kebumen sendiri tercatat ada 6.085 siswa SMP tidak lulus dengan 11 SMP tidak lulus 100 persen.

Tidak Jujur
Klaim sekolah, daerah, dan pemerintah terhadap prestasi Fitriyan dikhawatirkan akan membuat mereka terlena. Sebab Fitriyan hanya anomali. Keberhasilannya meraih nilai UN nyaris sempurna itu tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan pendidikan. Tanpa bermaksud meremehkan prestasinya, Fitriyan bisa jadi hanya sedang beruntung. Ia, bisa jadi, kebetulan membubuhkan jawaban UN yang sama dengan dengan kunci jawaban, atau soal-soal yang diujikan adalah soal-soal yang kebetulan telah dikuasainya.

Fitriyan adalah minoritas. Ia hadir menjawab asumsi jebloknya kelulusan siswa karena meningkatnya kejujuran. Para pemangku kepentingan di bidang pendidikan harus mengakui bahwa pencapaian spektakuler Fitriyan membuktikan masih ada siswa yang tidak jujur. Jika siswa yang tidak lulus dianggap menunjukkan kejujuran dan bukan karena proses pembelajaran yang kurang tepat, maka siswa yang meraih nilai UN tinggi perlu dicurigai telah berbuat curang. Karena itulah ia tidak bisa diklaim sebagai representasi keberhasilan proses pendidikan.

Penyelenggaraan UN beberapa tahun terakhir telah menyajikan perdebatan tidak berkesudahan. UN ditarik pada ranah politik justru oleh pemerintah sendiri. Pemerintah mempolitisasi UN untuk melegitimasi kekuasaan. Pernyataan konyol bahwa siswa tidak lulus merpresentasikan kejujuran siswa dan guru misalnya, menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau disalahkan. Pemerintah tidak mau mengakui bahwa UN telah menciptakan tekanan psikologis yang dahsyat pada siswa yang tidak lulus. Pemerintah hendak melempar tanggungjawabnya kepada siswa, kepada masyarakat, dan kepada situasi.

Pencapaian Fitriyan mestinya tidak diklaim siapapun, tetapi sebaliknya, harus digunakan sebagai momentum membalik persepsi tentang UN. UN bukanlah resepsi sakral yang patut dijadikan parameter tunggal keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Sekolah dan pemerintah daerah tidak perlu membuat target lulus 100 persen, tetapi berkewajiban mengawal proses pendidikan agar berjalan tanpa mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan siswa. Persoalan lulus UN 100 persen atau 0 persen adalah persoalan pemerintah. Persoalan siswa hanyalah bagaimana belajar dengan baik sehingga pengetahuan, konsep, dan keterampilannya bermakna bagi kehidupan diri dan masyarakatnya.

Yang Penting Lulus
Sejak mulai digelar tujuh tahun lalu UN dikhawatirkan membanalkan proses belajar. Sebab, sejak saat itu mulai muncul indikasi proses belajar yang siswa lakukan di kelas berorientasi pada kelulusan. Siswa abai apakah proses belajar yang dilaluinya akan bermakna atau tidak. Akibatnya proses belajar di kelas kehilangan konteks. Siswa tidak peduli apakah ilmu yang diperolehnya akan bermanfaat atau tidak karena telah berprinsip ‘yang penting lulus’.

Indikasi tersebut dapat kita jumpai menjelang penyelenggaraan UN. Siswa kelas tiga SMP dan SMA terus menerus melakukan try out dengan mengerjakan contoh-contoh soal. Mereka diminta menganalisis model soal yang telah lalu sekadar supaya tahu jenis soal yang akan keluar pada UN mendatang. Rumus-rumus praktis banyak digunakan sehingga siswa semakin jauh dari substansi keilmuan yang dipelajarinya.

Contoh paling sederhana penulis alami ketika mempelajari mata pelajaran Kimia di SMA. Guru meminta siswa menghafal susunan periodik unsur untuk njagani jika soal tersebut keluar. Guru menyarankan siswa menggunakan akronim Halinakerebcesfer untuk mempermudah hafalan urutan hidrogen (Ha), litium (Li), natrium (Na), kalium (K), rubidium Rb), caesium (Cs), dan fransium (Fr) pada tabel periodik. Akibatnya, meski mampu melafalkan Halinakerebcesfer dengan sangat lancar hingga saat ini penulis tidak pernah tahu wujud, keberadaan, apalagi cara pemanfaatn unsur-unsur tersebut. Entah makhluk seperti seperti apa mereka.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment