Tingkat kelulusan UN tahun 2010 mengalami penurunan cukup segnifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Di Jawa Tengah lebih dari 8 persen peserta UN dinyatakan tidak lulus dan diwajibkan mengulang. Meski telah diberikan himbauan supaya siswa tidak panik dan bersiap mengulang dampak psikologis yang ditimbulkan UN tidak terbendung lagi. Ribuan siswa yang tidak lulus larut dalam kekecewaan mendalam yang berpotensi memicu keputusasaan.
Tangis atau bahkan pingsan menjadi ekspresi yang banyak dijumpai ketika siswa dinyatakan tidak lulus. Tekanan sedemikian besar yang mereka rasakan selama mempersiapkan UN hingga menunggu pengumuman dirasakan sia-sia. Siswa merasa kerja keras selama ini tidak mendapat imbalan yang pantas. Karena itulah kekecewaan meledak dalam jerit tangis yang memekikan.
Rangkaian tangis adalah bukti paling nyata bahwa UN telah menciptakan ketakutan yang berkembang menajdi kekerasan psikologis. Ketetapan standar kelulusan yang sejak diterapkan menjadi momok telah berimplikasi negatif bagi perkembangan kejiawaan siswa. UN yang mestinya menjadi bagian terintegrasi dalam usaha mencerdaskan bangsa justru menciptakan ketakutan. Pemerintah tidak hanya lalai menyelenggarakan pendidikan yang mencerdaskan, tetapi justru mengubah pendidikan di Indonesia menajadi tidak ramah anak. Pendidikan telah menjadi ajang pertaruhan yang dilegalkan.
Cacat Pedagogis
Takanan psikologis yang terejawantah dalam jerit dan tangis menunjukkan UN telah melenceng jauh dari prinsip-prinsip pedagogis. Target lulus UN mengubah proses belajar di sekolah tidak lagi menyenangkan. Pendidikan sebagai proses belajar yang mestinya berjalan secara rigid dan unik telah dibanalkan oleh target nilai. Proses belajar sebagai proses pemerolah nilai (value) telah didangkalkan sebagai proses memperoleh nilai (point) sehingga siswa dijauhkan dari proses belajar yang humanis.
Agus Salim (2004) mengartikan pendidikan sebagai strategi manusia dalam upaya memperolah filsafat hidup yang paling tepat bagi dirinya. Karena itulah proses belajar manusia selalu berjalan unik sesuai karakter diri pembelajar. Pendidikan tidak dimaksudkan untuk melabeli siswa dan mengkategorikan mereka dalam kelas pintar atau kelas tidak pintar, tetapi membantu siswa menemukan keunikan diri sehingga mampu mengembangkannnya menjadi sesuatu yang bernilai. Sebab hidup menurut Leenhouwers (1988) adalah beban yang penuh risiko, pendidikan diharap membantu manusia melaluinya dengan baik.
Proses belajar pada dasarnya adalah proses berfilsafat. Dalam teori belajar behavioristik pendidikan berguna mengondisikan siswa menemukan solusi atas masalah hidup yang sedang dan akan dihadapi. Pendidikan ingin mencapai suatu pengetahuan dan perilaku yang berguna bagi kehidupan individu dan masyarakat.
Ketika proses belajar diciutkan oleh target kelulusan, proses berfilsafat serta merta dihilangkan. Siswa tidak lagi tertarik pada proses pencarian tentang diri dan lingkungannya karena larut dalam usaha mencapai target-target kuantitatif. Sekolah tidak mampu lagi memberikan pengetahuan (knowledge), meneguhkan sikap (atitude), dan memberikan keterampilan (skill) karena dipatok meluluskan siswanya.
Penanganan Trauma
Akibat penyelenggaraan pendidikan yang banalkan oleh UN, siswa tidak lagi menjadi pembelajar. Ia tidak melakukan proses pencarian diri karena dipaksa memperolah nilai cukup saat ujian nasional. Tekanan untuk memperoleh nilai yang cukup menempatkan siswa tidak ubahanya pekerja yang dibebani serangkaian target. Karena itulah, ketika target tidak tercapai siswa merasakan kekecewaan luar biasa. Siswa bepotensi shock, stres, bahkan gila karena UN telah telanjur dimaknai sebagai ajang pertaruhan harga diri.
Siswa yang tidak lulus dan tengah guncang memerlukan penanganan trauma yang cepat dan tepat. Bukan saja karena mereka harus segera mempersiapkan ujian susulan, tetapi juga supaya semangat hidup mereka kembali bangkit. Kekecewaan besar yang berlarut-larut berpotensi menjebak siswa pada perasaan inferior yang berlebihan. Siswa merasa dirinya tidak berguna sehingga enggan menempuh proses pendidikan kembali.
Pihak yang harus bertanggungjawab menangani trauma tentu saja pemerintah. Sebagai penyelenggara UN ia harus menangani implikasi-implikasi negatif yang ditimbulkan. Apalagi impliaksi negatif tersebut menyangkut masa depan ribuan siswa. Jika penanganan lamban, trauma yang dirasakan siswa dikhawatirkan menimbulkan efek berantai yang berkepanjangan. Misalnya, motivasi belajar mereka hilang sehingga enggan menempuh ujian susulan. Artinya, siswa kehilangan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Siswa-siswa ‘korban’ UN harus memperoleh penanganan segera. Motivasi belajar yang hilang harus kembali dibangkitkan supaya mereka kembali fokus mengembangkan dirinya. Jika pemerintah terlambat meredam taruma, artinya pemerintah telah melakukan kejahatan pendidikan yang keji. Pemerintah bukan saja telah membanalkan proses belajar dalam anualitas miskin substansi seperti UN, tetapi telah melakukan kekerasan psikologis massal. Karena itulah pemerintah bisa ditempatkan sebagai pelaku kejahatan yang wajib diadili dan dikenai sanksi.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 26 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment