Pembatalan Undang-undang Badan Hukum pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi disambut suka cita oleh sebagian besar masyarakat. Pembatalan undang-undang tersebut sedikit menjawab kekhawatiran akan melonjaknya biaya pendidikan. Sebab, beberapa pasal dalam Undang-undang BHP menjurus pada komersialisasi pendidikan.
Meski demikian, biaya pendidikan di perguruan tinggi tidak serta merta turun. Pascapembatalan UU BHP berbagai modus komersialisasi pendidikan masih terus terjadi, misalnya dalam penerimaan mahasiswa baru mandiri yang dilakukan sejumlah universitas. Penyelenggaraan ujian amsuk mandiri membuat perguruan tingg leluasa menetapkan taruif masuk. Ketetapan biaya masuk disesuaikan dengan subur dan tidaknya jurusan. Biaya masukan pada jurusan yang dibanjiri peminat sengaja dinaikkan hingga nominal yang segnifikan supaya bisa memberi pemasukan bagi universitas. Akibatnya, tidak sedikit calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang terpaksa mengurungkan niatnya untuk kuliah.
Praktik ini adalah bentuk transakasi baru yang memeragakan hukum pasar. Perguruan tinggi sebegai pemilik penyelenggara pendidikan tinggi telah menempatkan calon mahasiswa sebagai pembeli. Melalui mekanisme tertentu perguruan tinggi melakukan tawar menawar dengan calon mahasiswa. Sebagaimana pasar dalam arti yang sebenarnya, penawar harga tertinggi yang berhak memperoleh barang berupa kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Peristiwa tawar menawar yang dilakukan perguruan tinggi dengan sendirinya telah menempatkan pendidikan sebagai komoditas dagang. Pendidikan diperjualbelikan layaknya barang. Akibatnya, hanya segelintir anggota masyrakat yang berkesempatan mencicipinya. Bagi si miskin, betatapun kuat keinginanya untuk belajar, bangku perguruan tinggi hanya menjadi impian. Tangga pendidikan yang dipercaya dapat menjadi alat mobilitas sosial tidak tersentuh karena melayang tinggi menyerupai awan.
Pengawasan
Mahalnya pendidikan di perguruan tinggi harus dipertanggungjawabkan pemerintah. Sebab, pembiaran yang dilakukan pemerintah adalah tindakan yang inkonstitusional. Jika praktik dagang kursi terjadi berarti pemerintah telah gagal mengemban amanat UUD 1945 supaya pendidikan bisa dinikmati semua anak bangsa. Karenanya, sebelum praktik tersebut melembaga lantas dibenarkan karena telah menjadi kebaisaan pemerintah perlu melakukan pengawasan. Perguruan tinggi, dengan alasan apapun, tidak diperbolehkan memperdagangkan pendidikan.
Selama ini aktivitas berdagang kursi masih dibiarkan pemerintah. Departemen Pendidikan Nasional melalaui Dirjen Dikti agaknya tidak pernah menegur perguruan tinggi yang sengaja mematok tarif selangit meski mereka mengetahui. Demikian pula Dewan Perwakilan Rakyat yang seperti menganggap kenaikan biaya kuliah sebagai sesuatu yang lumrah. Tidak seperti pada kasus Century, DPR tidak menaruh perhatian serius memberantas praktik perdagangan pendidikan.
Menjelang penerimaan mahasiswa baru pengawasan pemerintah adalah hal yang sangat urgent dilakukan. Sebagai penyelenggara pendidikan nasional pemerintah perlu membuat batas atas tarif masuk perguruan tinggi. Pungutan 150 juta hingga 300 juta yang dilakukan perguruan tinggi menurut saya telah melampaui batas kewarasan. Tindakan itu tidak hanya merepresentasikan keangkuhan lembaga perguruan tinggi, tetapi juga menunjukkan kerakusan para pengelolanya.
Tarif masuk perguruan tinggi sebenarnya dapat dikendalikan jika pemerintah memiliki keinginan kuat. Dengan melakukan penghitungan biaya operasional perguruan tinggi pemerintah sebenarnya bisa mengestimasikan besaran tarif masuk yang realistis. Caranya, pemerintah mendata kebutuhan operasional perguruan tinggi selama satu tahun. Dari jumlah yang terdata pemerintah memberikan subsidi dalam jumlah tertentu. Sisa kebutuhan di luar subsidi itulah yang dibebankan kepada masyarakat dengan memungut tarif masuk dan biaya pendidikan rutin.
Kuliah Murah
Saya optimis pemerintah sebenarnya bisa menyelenggarakan pendidikan tinggi yang murah asal memiliki manajemen keuangan yang baik. Mahalnya biaya pendidikan selama ini disebabkan oleh beratnya beban keuangan pemerintah. Dengan jumlah anggaran yang terbatas pemerintah ditarget pencapaian pembangunan tertentu. Jika pemerintah mampu mengefisienkan pengeluaran negara pemborosan yang selama ini terjadi bisa digunakan untuk membiayai pendidikan.
Tantangan paling berat bagi pemerintah adalah melakukan efisiensi anggaran, memberangus praktik korupsi, serta peningkatan pendapatan negara. Birokrasi yang tambun dan berpotensi menyebabkan pemborosan uang negara harus sesegera mungkin dirampingan. Tidak hanya ditingkat pusat efisiensi anggaran di daerah juga perlu dilakukan dengan memperketat pengawasan. Target-target pembangunan kuantitatif dikurangi supaya fokus pada ikhtiar pembangunan sumber daya manusia.
Supaya pemborosan negara dapat dihentikan tentu saja perang terhadap korupsi harus tetap menjadi agenda nasional. Fungsi-fungsi prevenetif dilakukan dengan memperkecil celah korupsi di setiap lini. Pada saat yang sama aset-aset koruptor dapat disita kemudian disumbangkan bagi penyelenggaraan pendidikan. Sanksi hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi diberlakukan supaya koruptor jera. Sebab praktik korupsi telah mengeliminasi hak jutaan anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes
Monday, 26 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment