Sunday, 25 April 2010

Logika Kemanusiaan Rasa Sakit

Sakit telah dianggap sebagai salah satu bencana sejak lama. Bukan hanya karena rasa sakit menimbulkan ketidaknyamanan pada tubuh tetapi kerap menghalangi seseorang beraktifitas. Namun di balik rasa sakit ternyata sifat-sifat kemanusiaan bermunculan, bahkan meski jauh hari sebelumnya jarang dirasakan. Rasa sakit memunculkan rasa takut, khawatir, simpati, kasihan bahkan bungah.

Khawatir dan takut biasanya hadir karena seseorang yang sedang sakit merasa dekat dengan kematian. Padahal, hampir setiap orang merasa belum siap mati. Dari katakutan semacam ini munculah sikap pasrah karena menyadari ketidakberdayaan diri melawan kehendak Tuhan yang Maha Esa. Sekuat dan segagah apapun manusia pasti akan tumbang jika didera sakit. Pada titik tertentu kepasrahan seseorang membimbingnya mencapai derajat tauhid tertentu sehingga menjadi lebih dekat kepada Tuhan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, ditemui berbagai karakter manusia, dari yang welas asih, kikir, jumawa hingga yang keras kepala. Orang yang jumawa pada umumnya membanggakan diri sebagai manusia yang kuat karena memiliki intelektual, finansial atau kekuasaan. Karena itulah orang-orang kaya, pintar dan memiliki jabatan sosial tinggi cenderung memisahkan diri dari masyarakat. Mereka merasa serba lebih dan berusaha hidup di lingkungan yang dianggapnya layak, yakni lingkungan dengan standar hidup sama atau lebih tinggi darinya.

Kekuatan yang dimiliki manusia, baik finansial, intelektual, kekuasaan, maupun fisik cenderung membuat mereka terjebak dalam kehidupan yang serba individualis dengan. Ia tidak memerlukan sanak saudara, rekan, atau tetangga baik dalam kapasitas sebagai sesama anggota masyarakat maupun sesama manusia. Karena itulah tipe orang semacam ini membatasi diri dari lingkungan dan menganggap interaksi sosial hanya sebagai akibat logis karena hidup pada tempat dan waktu yang sama. Dalam konsep Jawa orang-orang yang merasa kuat seperti ini dikenal dengan sifat adigang adigung adiguna.

Manusia lemah
Sikap jumawa ternyata tidak hanya menjangkiti orang-orang dengan kapasitas intelektual, finansial, dan kekuasaan yang luas. Adakalanya sikap tersebut muncul pada orang-orang biasa saja. Ia merasa lebih digdaya dari orang-orang di sekitar karena berkesempatan melakukan lebih banyak hal. Sikap seperti ini juga perlahan mampu memenjarakan seseorang dalam pola pikir individual. Interaksi sosial, tegur sapa, gotong royong, sendau-gurau dianggap sebagai aktifitas yang mubadzir.

Jalan pikiran urip dhewe-dhewe seperti ini ternyata bisa hilang ketika seseorang merasa sakit, baik oleh penyakit kronis bekepanjangan maupun sakit ringan. Rasa sakit bisa memunculkan sisi-sisi kemanusiaan manusia yang ketika sehat tidak ditemukan. Kesadaran bahwa sebenarnya menusia itu lemah dan perlu saling menguatkan perlahan muncul, bukan semata-mata karena kesepian tetapi kesadaran etis bermasyarakat. Saat itulah keluarga, rekan, kekasih atau bahkan tetangga terasa sangat penting kehadirannya.

Perasaan saling memerlukan yang muncul ketika sakit bisa jadi hanya bersifat temporal; muncul kemudian hilang. Bahkan bisa jadi perasaan semacam itu hanya pikiran nakal karena dalam kondisi sakit pikiran dan tubuh niraktifitas. Namun demikian, pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan bantuan sesama untuk saling menguatkan menjadi pepeling ketika sehat. Sebab sadar pada saat lemah ia memerlukan orang lain maka ketika sehat mestinya ia terketuk membantu orang lain.

Kerekatan sosial

Dalam tren masyarakat urban modern seperti saat ini, saling jenguk tidak lagi menjadi prioritas. Setiap orang terbenam dalam kesibukan masing-masing sehingga lupa ketika kerabat, tetangga atau kawan sedang sakit. Rasa kasihan dan empati tidak bisa menggerakan seseorang memberikan bantuan walauapun hanya berupa kunjungan. Akibatnya, ketika telah sama-sama sehat kerekatan sosial yang terbangun sangat rapuh dan bersifat luaran saja.

Legenda Romawi mengenal Achiles sebagai prajurit tanpa tanding yang tidak pernah takut pada musuh. Dalam perang Troya dialah prajurit yang pertama kali mendarat dan menghancurkan benteng musuh. Namun ketika otot betisnya luka oleh panah Pangeran Paris dan membuatnya tidak berdaya tiba-tiba ia ingat dengan ibunya. Rasa sakit membimbingnya pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk lemah. Karena itulah barangkali, jika ia tidak tewas dalam perang dan punya kesempatan pulang, ia akan lebih menghargai nasihat ibunya.

Rasa sakit ternyata memiliki peran sosial sendiri dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Meski selama ini sering dimaknai sebagai bencana yang sebisa mungkin dihindari rasa sakit mampu membimbing manusia pada tingkat kebijakan berpikir dan bertindak. Karena itulah, ketika sewaktu-waktu tubuh dihinggapi rasa sakit, selain segera mengobatinya perlu usaha memaknainya. Sakit mampu membimbing manusia menemukan rasa takut, khawatir, dan simpati. Pada saatnya rasa sakit mampu membimbing manusia menemukan kembali sifat-sifat kemanusiaannya.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment