Bangunan berbentuk Joglo, batik, dan ukiran telah menjadi identitas Jawa yang sangat kuat belakangan ini. Tiga pananda fisik tersebut bahkan perlahan mulai menggeser identitas karakter kejawaan yang lain, termasuk karakter personal dan sosial orang Jawa. Bukan tidak mungkin suatu saat identitas kejawaan hanya diidentifikasi melalui identitas fisik, sedangkan sifat, filsafat dan ajaran Jawa digusur oleh ajaran lain yang dianggap lebih up to date.
Coba kita saksikan, ada perusahaan pengembang yang mengklaim perumahan yang dibangunnya sebagai kampung Jawa. Namun jika dimasuki lebih dalam yang ditemukan hanyalah Joglo, balai-balai dan rumah dengan beragam ornamen ukiran. Sedangkan kebiasaan kenduren, ngendong (saling bekunjung) dan mripun (konsultasi kepada orang yang lebih tua) justru tidak dapat ditemukan.
Pendangkalan identitas Jawa yang hanya pada identitas fisik membuktikan orang Jawa telah keliru mempersepsikan diri dan entitas kebudayaannya. Orang Jawa menganggap diri sebagai orang Jawa karena hidup di tengah orang Jawa bukan terlahir sebagai orang Jawa. Maka ketika sewaktu-waktu ia berpindah komunitas identitas kejawaan dalam dirinya luruh tergantikan identitas lain.
Jawa Entitas
Diskursus tentang identitas kejawaan muncul dalam tiga ranah, yakni entitas, identitas personal, dan batasan geografis. Entitas ditandai oleh sifat kolektif masyarakat dalam memandang dan menyikapi suatu hal. Kesamaan pandangan muncul karena orang-orang dalam entitas kebudayaan yang sama memiliki perspektif yang sama atau mirip dalam memandang persoalan kehidupan.
Sebagai entitas, Jawa tentu saja hanya tumbuh dan berkembang di tempat kebudayaan ini lahir, namun bersifat sangat terbuka. Artinya, orang Jawa sangat mudah menerima orang asing jika mau mengamini nilai-nilai kejawaan yang dianutnya. Sebab, dalam pandangan kolektif orang Jawa semakin banyak orang yang memiliki perspektif sama sebuah persoalan menjadi mudah dipecahkan. Keselarasan semakin mudah diciptakan ketika orang-orang menemukan kesepahaman.
Berbeda dengan entitas, Jawa sebagai identitas personal hanya melekat pada individu. Ia tumbuh dalam diri seseorang akibat persinggungan dengan orang lain dalam entitas yang sama. Kuat dan tidaknya tentu saja bergantung pada kekuatan individu tersebut meresapi ajaran dari lingkungannya. Identitas personal bersifat reseptif sehingga seseorang bisa menolak keyakinan moral yang ditularkan lingkungan.
Baik sebagai entitas maupun identitas Jawa tidak terpisah dari batasan geografis tempat kebudayaan ini berkembang. Sebagai entitas kebudayaan misalnya, ajaran dan filsafat Jawa subur di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di tempat itu orang Jawa melihat orang Jawa lain sebagai insider atau bagian dari entitasnya.
Dalam kaitan dengan identitas personal, batasan geografis menjadi pepeling bagi orang Jawa untuk menempatkan diri. Ia menjadi bagian dari entitas ketika berada di wilayah tempat entitas kebudaayannya tumbuh, namun menjadi liyan ketika menyeberangi wilayah lain. Kemampuan mengidentifikasi batasan wilayah sangat berpengaruh pada sikap yang harus ia tampilkan.
Eliminasi Identitas
Baik entitas maupun identitas sebenarnya hanyalah petanda imajiner untuk membantu seseorang mengidentifikasi diri dan lingkungannya. Namun manifestasi identitas kejawaan seseorang selalu bersifat konkret, yakni berupa sikap, pola pikir, keyakinan terhadap ajaran moral. Pada saat tertentu sikap, pola pikir, dan keyakinan moral termanifestasi dalam bentuk tuturan, argumen, maupun anggah-ungguh.
Di tengah tawaran hidup serba instan identitas Jawa seseorang banyak bergeser menjadi identitas sekunder bahkan tertier. Orang Jawa yang lahir dan besar dalam entitas kebudayaan Jawa belum tentu mampu menampilkan identitas kejawaannya. Karena kebutuhan untuk dicitrakan sebagai manusia modern misalnya, ia memilih tampil futuristik dengan menggunakan barang-barang serba canggih, mengikuti fashion a la Paris, atau berbicara menggunakan bahasa asing. Atau karena keinginan dicitrakan sebagai hamba Tuhan yang beriman ia memilih tampil religius dengan mengenakan surban, menggunakan istilah berbahasa Arab, atau menyatir hadits untuk memperkuat argumen.
Tidak hanya itu, ancaman terhadap identitas Jawa seseorang juga datang dari dorongan hidup serba praktis. Seseorang mengakui sebuah aturan jika dirasa memberi keuntungan praktis, namun tidak mengakui aturan lain yang dianggap membuat hidup menjadi ribet. Sikap untuk tidak mengakui aturan itu perlahan mengeliminasi nilai kejawaan dari kehidupan seseorang. Kecenderungan ini terjadi khusunya pada anak muda yang menganggap ajaran Jawa sebagai piwulang yang ribet karena banyak mengharuskan seseorang melakukan atau menginggalkan sesuatu.
Proses eliminasi semacam itulah yang selama ini terjadi pada diri dan masyarakat Jawa. Ajarn moral dan filsafat Jawa ditinggalkan karena dianggap ribet. Akibatnya, ketika merindukan identitas Kejawaan, seseorang memilih menampilkan Joglo, batik atau ukiran karena identitas Jawa yang melekat pada dirinya tidak dapat ditemukan lagi.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Sunday, 25 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment