Selain jajan anak, iklan apa yang paling sering muncul di televisi belakangan ini? Jawabannya adalah iklan operator seluler. Jika dihitung dalam sehari ratusan kali iklan semacam itu muncul menawarkan berbagai kemudahan komunikasi, harga kompetitif dengan beragam fasilitas. Semua masalah komunikasi manusia seolah terjawab.
Iklan seluler yang masif perlahan mengendapkan persepsi bahwa pertemuan bukan sesuatu yang penting. Komunikasi antarmanusia seperti sudah cukup diwakili pesan singkat, telepon, atau video call. Karena itulah, tren saling berkunjung mulai ditinggalkan berganti tren silaturahmi seluler. Bahkan di pedesaan, tradisi ngendong perlahan hilang.
Berkunjung langsung atau menggunakan teknologi memang hanya sebuah pilihan. Kunjungan mungkin menawarkan kehangatan komunikasi karena dilakukan dengan tatap muka namun akan sedikit merepotkan. Sedangkan komunikasi jarak jauh menawarkan banyak kemudahan dan efisiensi namun sebatas teks, suara atau gambar.
Pilihan tersebut tampak sederhana meski sebenarnya dilematis. Kita berada dalam era yang menawarkan segala kepraktisan tapi emoh melepas romantisme komunikasi yang manusiawi. Di satu sisi kita ingin mendapatkan berbagai informasi dengan cara paling mudah, paling cepat, dan paling murah, di sisi lain kita merindukan penghargaan personal yang hanya bisa diperolah dalam sebuah perjumpaan.
Terbatas
Komunikasi bukan perkara bertukar pesan (messege) belaka. Selain oleh isi komunikasi juga dibangun oleh usnur sosial dan psikologis yang unik. Karena itulah aktivitas berkomunikasi akan terasa rumpang jika hanya dibangun oleh containt (informasi) tanpa sentuhan sosial dan psikologis. Pertukaran informasi saja bukanlah silaturahmi, melainkan sebuah transaksi.
Kesan apa yang kita peroleh setelah berjam-jam di depan komputer chating dengan kerabat? Bandingkan dengan kesan yang bisa kita peroleh jika mau menyempatkan waktu sehari dua hari berkunjung ke rumah kerabat tadi. Tentu berbeda. Chating, telepon, atau video call hanya saluran darurat, patut digunakan dalam suasana genting dan mendesak. Karena itulah fasilitas apapun yang disediakan penyelenggara silaturahmi seluler tidak bisa menggantikan sebuah kunjungan. Meski komunikasi seluler dilakukan setiap hari pada saatnya kunjungan perlu dilakukan.
Penggunaan teknologi dalam tren komunikasi mutakhir bisa dimengerti sebagai kemenangan logika (karsa) manusia. Tapi hegemoni teknologi adalah wujud kekalahan perasaan (rasa) manusia. Perlahan tapi pasti urusan komunikasi diambil alih oleh teknologi, menyisakan porsi yang sangat kecil bagi perasaan manusia.
Teknologi tidak memiliki napas, suara sengau khas penderita influeza, bersin, atau bau keringat. Teknologi juga tidak bisa mengernyitkan kulit kening, menaik-turunkan jakun, dan mengatur tekanan napas karena tidak teknologi tidak pernah hidup. Jika suatu saat nanti teknologi komunikasi benar-benar mengambil alih peran manusia, sungguh kemunikasi yang terjalin akan sangat terasa kering dan hampa. Nilai-nilai kemanusiaan yang hanya dirasakan ketika seseorang bertemu sulit dijumpai dan dirasakan.
Dulu, untuk menyatakan cinta pada gadis idaman seorang remaja pria perlu merenung beberapa hari untuk mencari konsep yang tepat. Setelah proses itu ia akan sibuk memilah kata untuk mengekspresikan perasaannya. Bahkan agar pernyataan cintanya memiliki nilai rasa yang kental ia harus menggunakan simbol keindahan yang diharap merepresentasikan perasaan. Namun sekarang, maksud dan tujuan yang sama bisa dilakukan dengan mengirimkan gambar hati berbentuk daun waru melalui pesan singkat. Zaman telah bersepakat bahwa gambar hati adalah perlambang cinta, meski nyatanya sangat kering dan miskin kesan.
Facebook
Perlahan tapi pasti, penggunaan teknologi komunikasi menjebak kita dalam komunikasi substansif, yakni komunikasi yang hanya memfasilitasi bertukarnya pesan. Dalam komunikasi yang diperantarai teknologi pesan menjadi satu-satunya hal yang berharga. Perasaan ibu, malu, ewuh pekewuh, atau ekspresi rasa hormat sulit ditemukan. Bahkan Facebook, jejaring sosial yang dirancang sedemikian canggih pun itu tidak mampu mengakomodasi perasaan-perasaan manusia semacam itu.
Wacana Facebook haram yang pernah muncul dari sejumlah pemuka agama di Madura bukan semata karena potensi mudharatnya. Potensi mudharat toh bisa muncul di setiap aktifitas manusia, dan karena itulah seluruh aktivitas manusia berpotensi difatwa haram. Namun wacana wacana facebook haram adalah tetenger bahwa komunikasi antarmanusia tak akan pernah bisa digantikan oleh alat. Alat komunikasi yang sempurna adalah manusia itu sendiri, melalui hati, ekspresi, dan tutur kata.
Fatwa facebook haram bukanlah tindakan yang kontra kemajuan. Barangkali para ulama hanya khawatir facebook akan menghilangkan komunikasi yang manusiawi pada suatu saat nanti. Mereka khawatir uluk salam yang santun, senyum dan sapaan, juga cipika-cipiki yang hangat akan hilang. Kita tentu akan sangat sedih jika lebaran tahun depan tamu yang kita terima hanya email, SMS, atau ucapan selamat di facebook. Kita akan sangat merindukan kerabat, tetangga, dan sanak keluarga yang berkenan datang untuk menyantap ketupat dan opor ayam bersama.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegar
Sunday, 25 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment