Sunday, 25 April 2010

KESEOLAH-OLAHAN IKLAN PILKADA

Menjelang diselenggarakannya pemilihan kepala daerah di 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah, iklan politik semakin memenuhi ruang-ruang publik. Batang-batang pohon, gedung, hingga tiang listrik di pinggir jalan tidak luput menjadi sasaran iklan. Iklan menghadirkan janji yang terkadang melampaui batas logika. Ia hadir mendobrak pakem tentang mungkin dan tidak mungkin, menawarkan solusi atas setiap persoalan masyarakat.

Kondisi ini berbeda dengan ketika pasangan calon bupati/walikota dan wakilnya mempresentasikan visi dan misinya dalam strategi pencapaian. Umumnya mereka mengatahui apa yang seharusnya dilakukan untuk membenahi kondisi yang saat ini ada, tetapi belum memiliki program yang konkret (Kompas, 5/4). Jarak antara iklan dan strategi masih sangat jauh. Padahal strategi adalah kemungkinan tunggal yang bisa meleburkan berbagai harapan hiperbolis dalam iklan menjadi program yang realistis.

Serba Seolah-olah

Tidak berbeda dengan iklan obat jamu kuat atau obat sakit gigi, iklan pilkada adalah rayuan yang minim konteks. Kata-kata sugestif yang digunakan memperlihatkan keinginan besar pembuatnya untuk meraih kepercayaan publik secara instan. Iklan pilkada belum mampu hadir secara logis tetapi baru tampil dalam pendekatan emosional. Berbagai harapan, bahkan yang paling bombastis dan tidak realistis, diluncurkan sekadar memenuhi keinginan pembuatnya untuk menyatakan diri sebagai yang terbaik. Persoalan krusial yang berkelindan dalam masyarakat seolah-olah dapat diselesaikan dengan mudah dan seketika.

Sebagai bagian dari komunikasi politik, iklan adalah bagian lain demokrasi yang bersifat seolah-olah. Karena itulah faktualitas subtansinya seringkali kabur. Iklan menghadirkan kebenaran-kebenaran sepihak hasil klaim. Tidak jarang ‘sesuatu yang akan dilakukan’ dimantapkan dengan kalimat sugestif seolah-olah menjadi ‘sesuatu yang pasti terjadi’.

Karena iklan hidup pada dunia yang seolah-olah, kebenaran-kebenaran yang disajikan muncul dari ambisi pasangan calon bupati/walikota pribadi. Prestasi yang dimunculkan masing-masing pasangan bukanlah testimoni jujur dari masyarakat, melainkan kenarsisan mereka sendiri; pasangan calon dan tim suksesnya. Sosok pasangan calon dihadirkan sebagai tokoh protagonis tanpa cela dengan seolah-olah mengamini pernyataan Machiavelli bahwa pemimpin tidak harus baik namun harus tampak baik.

Hal menarik yang terus terjadi pada Pilkada di sejumlah daerah di Indonesia, program menjadi nomor dua setelah sosok. Iklan politik melulu memuji-muji calon sehingga luput menampilkan program dan strategi pencapaian. Karena itulah baliho, poster, bahkan leaflet yang ditempel selalu berisi pujian terhadap calon sebagai pribadi yang baik, amanah, anti korupsi, mumpuni, atau shaleh. Perdebatan tentang program pengentasan kemiskinan yang menjadi masalah klasik hampir seluruh daerah di Jawa Tengah tidak pernah lebih seru dari ‘balas pantun’ mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan calon.

Sebagai kebenaran yang hidup di dunia seolah-olah, fakta dalam iklan juga tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban. Ia hanya faktor yang sengaja dihadirkan untuk mengaitkan harapan dengan sesuatu yang mestinya terjadi, yang tidak memiliki kekuatan hukum. Optimisme yang dirajut dalam iklan sengaja digunakan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seolah-olah bisa. Pada posisi inilah iklan tidak lebih nyata dari imajinasi artifisial pembuatnya.

Karena sifatnya yang artifisial, iklan Pilkada membentangkan persoalan fenomenologis dan ontologis tentang ‘ada’, ‘mengada’ dan ‘keberadaan’. Mengapa iklan ada? Bagaimana iklan menjadi ada? Dan, bagaimana menyikapi keberadaannya?

Motivasi Politik

Ketiga pertanyan tersebut perlu dicarikan jawaban supaya iklan politik dalam gelaran Pilkada tetap menempati ‘pos’nya pada dunia seolah-olah. Pertama, iklan ada karena keinginan pemasangnya menampilkan diri di depan publik dengan citra tertentu. Citra baik; jujur, bersih, cerdas, dan kapabel dimunculkan sebagai sugesti untuk mendongkrak tingkat keterpilihan.

Kedua, iklan muncul karena proses kompetisi antarcalon yang diliputi keinginan mengunggulkan diri. Karenanya, fakta-fakta yang disajikan adalah fakta-fakta sepihak yang diasumsikan mampu menarik perhatian calon pemilih. Tentu realitas iklan tidak sama dengan realitas sesungguhnya. Sebab iklan memotong bagian paling baik untuk ditampilkan dan mengeliminasi bagian lain yang kurang baik. Supaya penilaian dapat dilakukan secara komprehensif calon pemilih dituntut jeli menemukan ‘bagian lain’ tersebut.

Ketiga, selain serba seolah-olah iklan diproduksi untuk kepentingan sesaat. Ia hadir mewakili keperluan pragmatis pembuatnya dalam Pilkada. Karena itulah, ketika Pilkada selesai digelar, iklan barangkali akan lesap keberadaan sosialnya. Ia tidak lagi merepresentasikan pembuatnya, melainkan sampah plastik, sampah kertas, dan sampah kata-kata. Janji yang dibumbungkan pun hangus menjadi puisi yang tidak diakui pengarangnya.

Ketiga pertanyaan tersebut pada akhirnya mengerucut pada pertanyaan pamungkas tentang motivasi politik seseorang. Sebab, pengorbanan besar para calon bupati dan walikota pada akhirnya harus ditebus, entah dengan apa. Kita perlu tahu apa yang mereka inginkan sehingga mau mengorbanankan demikian banyak uang, waktu, pikiran, dan tenaga selama kampanye. Apakah uang, kekuasan, kebanggaan, atau kepuasan batin semata?

Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M)Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara

No comments:

Post a Comment