Ada tiga tanda utama negara demokrasi yang tata pemerintahannya diselimuti tendensi politik. Pertama, aktivitas perebutan kekuasan berupa pemilu dan pemilukada sangat mendominasi, bahkan lebih riuh dari agenda pembangunan. Kedua, kebijakan pemerintah disusun dengan logika untung-rugi politik, baik politik ekonomi, politik pendidikan, politik social, maupun politik kebudayaan. Ketiga, terjadi benturan pemikiran antara bangsawan dengan ilmuwan dan agamawan terus menerus.
Meski dengan nyinyir kita harus mengakui tiga tanda tersebut sudah bisa kita baca di Indonesia. Isu-isu sentral yang mengemuka di media massa belakangan ini mengindikasikan para pembesar negeri ini menaruh perhatian terlalu besar terhadap kekuasaan. Petahana sibuk menyuburkan kekuasaan dengan memperkuat aliansi, sedangkan oposan tidak berhenti bermanuver untuk meruntuhkannya.
Bangsawan-Ilmuwan
Realitas lain yang dapat kita baca terakhir ini adalah adanya benturan pemikiran antara bangsawan dengan para ilmuwan. Kedua kelompok mengalami clash karena memandang suatu objek dari perspektif dan dengan motif yang berbeda. Pada kasus ‘terusirnya’ Sri Mulyani Indrawati (SMI) misalnya, kelompok ilmuwan tersingkir olah deal-deal politik yang dibuat para penguasa. Disebut ‘para’ karena negeri ini adalah aliansi.
Konflik pemikiran antara bangsawan dan pemikir sejatinya tidak hanya terjadi saat ini. Perseteruan keduanya, jika hendak ditelusuri, menyajikan untaian sejarah yang panjang. Di beberapa negara perseteruan pemikiran bahkan mampu memicu revolusi. Penguasa arogan berusaha yang tengah sibuk mengekalkan kekuasaannya kerap tidak nyaman dengan kritik dan realitas yang disajikan ilmuwan.
Di Perancis antara 1789 hingg 1799 konflik dahsyat terjadi antara Raja Lousi XVI dengan para filsuf seperti J.J. Rouseau dan Montesqiue. Kedua ilmuwan tersebut menyadari bahwa sebuah negara sebaiknya dikelola bersama dengan mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran. Namun pada saat raja justru berkuasa penuh, bahkan dengan sengat arogan berpendapat “L’état c’est moi”. Negara adalah saya.
Meski pernyataan ‘negara adalah saya’ tidak pernah terucap oleh pembesar negeri ini, laku mereka mengindikasikan pamrih yang tidak jauh berbeda. Beberapa pembesar yang menduduki posisi sentral tengah berusaha merebut kekuasaan rakyat. Mereka membuat konsesus agar kekuasaan-kekuasan mereka yang masih terberai dapat disatukan supaya mampu menciptakan kekuatan yang dominan. Kelompok ini beritikad mengendalikan kehidupan bernegara dalam transaksi kekuasaan.
Saya sulit untuk tidak menyebut kelompok kecil tersebut bukan Sekretariat Bersama Koalisi (Sekber Koalisi). Sebab, indikasi barter kekuasaan terbaca jelas dalam forum yang digagas Presiden SBY tersebut. Forum tersebut bahkan memiliki kemiripian dengan kelompok feodal Eropa yang mengangkangi pemerintahan saat itu. Forum tersebut berisi para penguasa dan penguasaha (tuan tanah) yang menaruh berbagai kepentingan atas rangkaian keputusan politik pemerintah.
Kerja kelompok dimulai dengan mengangkangi sebanyak mungkin bidang kehidupan. Merek berusaha keras menguasai berbagai bidang kehidupan, entah politik, ekonomi, hukum, maupun kebudayaan. Untuk memuluskan tujuan tersebut kerikil-kerikil politik seperti ilmuwan yang membangkang disingkirkan. Ilmuwan yang dianggap tidak sejalan dengan visi kekuasan yang mereka bangun kemudian diisolasi.
Pemenang
Nasib itulah yang kini di alami Sri Mulyani. Meski diakui publik berhasil manancapkan pancang reformasi birkorasi, ia dipaksa melepaskan pengaruhnya. Proses isolasi terhadap Sri Mulyani, menurut Gunawan Muhammd dalan Mencoba Berpisah dari Sri Mulyani (Tempo, 24 Mei), dilakukan dalam tiga tahapan yang telah tersistematis.
Mula-mula SMI diserang dengan gangguan terus menerus yang semakin lama intensitasnya semakin meningkat. Tekanan politik dan psikolgis dilakukan dengan berbagai cecaran, boikot, dan demonstrasi. Ia distigmakan sebagai pendosa tidak terampuni sehingga harus mati atau meninggalkan negerinya. Ketika gangguan dirasa cukup meresahkan kemudian muncul tawaran untuk berdamai dengan sejumlah janji kompensasi.
Ketika kasus Bank Cantury mengemuka, stigmatisasi terhadap SMI sangat kental terasa. Ia disudutkan dengan ruang konfirmasi yang sangat kecil sehingga dipaksa pergi. Ia dipaksa meninggalkan kursi menteri keuangan supaya kebijakan moneter bisa dikendalikan aliansi penguasa-pengusaha. Sedangkan posisi baru sebagai direktur pelaksana Bank Dunia barangkali hanya bagian dari drama supaya sandiwara ‘pengusiran’ terkesan berakhir bahagia.
Thursday, 27 May 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment