Rekening gendut perwira Polri yang belakangan ramai diperbincangkan seperti sebuah episode dalam drama panjang berjudul pelanggaran. Jauh hari sebelum rekening gendut, episode mafia hukum, kriminalisasi, dan penyalahgunaan wewenang telah dipentaskan. Sayangnya, catatan-catatan hitam itu tidak membuat Polri mawas diri sehingga sampai saat ini masih tercitra sebagai lembaga yang tidak sehat. Kekuasaan besar yang dimilikinya belum diimbangi dengan pengawasan yang baik.
Sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap keamanan masyarakat, Polri sebenarnya memiliki peran yang sangat signifikan. Sebagai lembaga ia cukup superior karena memiliki kekuatan organik dan anorganik yang lengkap. Selain persenjataan, saat ini Polri memiliki lebih dari 300 ribu personil.
Kekuatan besar itu sayangnya belum diimbangi oleh pengawaan internal dan eksternal yang kuat. Di tingkat internal, Divisi Propam dianggap lemah karena kerap bersikap tidak indpenden. Alih-alih menjadi pengadil, Propam justru kerap dijadikan tempat berlindung anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Propam tidak sebaik ekspektasi publik karena tidak berani menjatuhkan hukuman berat seperti pemecatan dan hukuman penjara bagi anggotanya. Sanksi yang diberikan biasanya hanya sanksi disiplin.
Pengawas internal tidak bekerja efektif dalam kultur komando yang berlaku di Polri. Sebab kebijakan lembaga dikembangkan dengan model top-down. Para pimpinan menjadi pribadi yang luput dari pengawasan karena bawahan dan juniornya justru memilih bersikap permisif.
Diperkuat
Kondisi demikian menuntut pengawas eksternal mengambil peran lebih banyak. Kompolnas misalnya, semestinya dibekali kewenangan lebih luas supaya mampu melakukan pengawasan secara optimal. Sebagai lembaga resmi Kompolnas harus punya akses pada berbagai ‘bilik’ kepolisian yang selama ini ditengarai kurang beres.
Fakta bahwa kasus rekening gendut justru dihembuskan oleh ‘Tempo’, bukan Kompolnas, telah menunjukkan penglihatan Kompolnas selama ini masih sangat terbatas. Ia tidak cukup awas membaca ketidakberesan kepolisian dalam mengelola tugas dan wewenangnya. Kewenangan yang terbatas membuat lembaga ini tidak memiliki keberanian politis sehingga lebih sering bersikap layaknya pengamat yang hanya dapat memberi saran atau rekomendasi.
Kabareskrim Ito Sumardi telah menyampaikan, kecurigaan terhadap polisi korup yang dipersonifikasi ”Tempo” melalui gambar polisi angon celengan, sebenarnya bukan isu baru. Pada masa kepemimpinan Jenderal Sutanto, kongkalikong polisi sudah tercium. Kasus Suyitno Landung yang muncul pada pertengahan 2005 bahkan telah diadili. Sayangnya Polri seperti selalu tidak punya waktu memperbaiki diri. Peran serta masyarakat yang terepresentasi melalui Kompolnas dan lembaga police watch lain juga belum punya pengaruh segnifikan.
Agar korupsi tidak selalu beriringan dengan prestasi polisi, pengawasan ekternal mutlak perlu dikuatkan. Polri harus membuka diri dengan mengijinkan pengawas ekternal melakukan investigasi terhadap kebijakan yang dilahirkannya.
Untuk memenuhi hal tersebut, ada dua cara yang rasional ditempuh. Pertama, presiden memperkuat wewenang Kompolnas dengan menerbitkan Kepres baru. Selain akses, lembaga ini perlu dibekali kewenangan melakukan penuntutan terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Presiden tidak perlu membuat lembaga baru sebagaimana yang ia lakukan selama ini.
Cara kedua, pelanggaran yang dilakukan anggota Polri tidak “dimusyawarahkan” melalui sidang disiplin, tetapi langsung dilimpahkan kepada Kompolnas untuk disidang melalui pengadilan umum. Kompolnas sebagai pelapor diberi kekebalan supaya tidak diintervensi oleh Polri.
Pendidikan
Kedua langkah tersebut ditempuh untuk meredam berbagai pelanggaran polisi yang telanjur muncul. Di luar ikhtiar tersebut, Polri perlu mengevaluasi sistem pendidikan yang diterapkan bagi calon polisi, baik di Sekolah Polisi Negara (SPN) maupun Akademi Kepolisian (Akpol). Orientasi pendidikan kedinasan di kedua lembaga tersebut harus mampu menciptakan sumber daya manusia yang adiluhung. Tidak sekadar cakap menjalankan tugas tetapi memiliki nilai kemanusiaan yang luhur.
Pendidikan bintara di SPN selama ini dinilai tidak cukup memadai. Pendidikan selama satu semester dilanjutkan dengan magang selama satu semester dianggap tidak cukup menanamkan nilai-nilai luhur korps. Alih-alih menjadi abdi masyarakat polisi justru menjadi profesi yang berorientasi materi. Akibatnya, korp Polri justru diisi oleh para pekerja yang gemar berkalkulasi dengan rupiah.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesa Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Friday, 9 July 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment