Setelah tindak kekerasan berbau SARA yang menimpa jemaat HKBP beberapa waktu lalu, tindak kekerasan atas nama agama semakin sering terjadi. Terbaru, di Bekasi seorang laki-laki berusaha meledakan bom karena ditengarai dendam dengan aksi represif Densus 88 menangani teroris. Di Tarakan, Kalimantan Timur dua kelompok masyarakat berseteru, bahkan di Jakarta kerusuhan pecah di depan pengadilan sehingga tiga orang dilaporkan tewas dan melukai satu lainnya.
Rangkaian kejadian tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian materi. Yang jauh lebih penting, tindakan itu telah mengguncang bangunan kerukunan yang sudah puluhan tahun dibina. Rumah kerukunan masyarakat Indonesia ternyata sangat rapuh dan keropos sehingga berpotensi tumbang. Bahkan keadaban kita sebagai umat manusia juga perlu dipertanyakan.
Kondisi ini memantik sebuah pertanyaan; siapa sebenarnya kita? Sejak lama kita mengklaim diri sebagai pemilik peradaban tertinggi, namun terus menerus mengekspresikan kebrutalan yang tidak tertolerir. Aksi saling melukai, menghancurkan, bahkan membunuh seolah-olah telah menjadi kebiasaan. Aksi keji yang kengeriannya bahkan terasa hanya dengan kita bayangkan ternyata terus menerus terjadi di sekitar kita. Ironisnya, tidak sedikit aksi kekerasan yang dilakukan dengan dalih (membela) agama.
Penyembah Agama
Kekerasan dan agama adalah dua hal yang berseberangan. Tradisi beragama adalah tradisi mengingat dan mengingatkan. Agama bukan Tuhan, sesembahan paling agung, melainkan sebuah cara; himpunan keyakinan tentang kebenaran. Maka, sebagai sebuah cara, agama berkembang mengikuti dinamika sosial-intelektual penganutnya. Tata cara beribadah misalnya, niscaya dipengaruhi hasil kebudayaan manusia.
Jika kita cermati sejarah kelahiran dan perkembangannya, agam selalu beri’tikad memuliakan manusia dan nilai kemanusiaan. Melalui dalil naqliyah dan aqliyahnya agama mengusung pemuliaan terhadap harmoni. Islam misalnya, menaruh perhatian besar menciptakan harmoni manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Dalam kondisi apa pun agama tidak bisa digunakan sebagai legitimasi eskpresi yang melahirkan kerusakan. Namun belakangan, nilai-nilai kemanusiaan justru ditukar murang dengan ilusi “surga”.
Kita patut menduga, tindakan golongan ekstrimis melakukan tindak kekerasan atas nama agama terjadi karena keliru memperlakukan agama. Mereka menjadikan agama sebagai sesembahan.dan memperlakukannya layaknya tuhan. Kebenaran teologis diklaim secara serampangan dengan mengesampingkan kebenaran lain. Akhirnya, nalar, tuturan, bahkan tindakan mereka didedikasikan untuk membela agama, sekalipun bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Bisa jadi kondisi itulah yang dialami sebagian kecil umat beragama di Indonesia belakangan ini. Aksi kekerasan yang dialami jemaat HKBP hanya fakta kecil yang menunjukkan kekeliruan masyarakat kita “menjaga” agamanya. Kejadian lain, seperti terror terhadap penganut Ahmadiyah atau aksi pengeboman menandakan ada kelompok masyarakat yang menyembah agamanya. Mereka mengekspresikan ketaatan kepada agama dengan kekerasan, walaupun tindakan itu tidak pernah dibenarkan Tuhan, baik melalui kitab suci maupun sabda Rasul.
Penyimpangan ekspresi beragama dapat terjadi karena dua sebab yang sebenarnya bertalian. Pertama, oleh sebagian orang agama dijadikan gerakan politik yang berorientasi pada kekuasaan. Ia mendikotomikan manusia berdasarkan keyakinan yang dianutnya sehingga muncul keinginan untuk mengangkat superioritas agamanya dengan melemahkan agama lainnya. Pada tingkat intern agama, sekte yang satu melemahkan sekte lainnya.
Meski tren ajaran kontemporer menguat, kekerasan atas nama agama masih kerap dilakukan golongan ekstrimis-ortodoks. Di Afghanistan, Aljazair, dan Irak misalnya, masih terjadi aksi pengeboman, pembunuhan, bahkan penggal leher. Namun tren itu terus berkurang karena fundamentalis mulai beralih pada gerakan kontemporer. Sebab, menampilkan agama sebagai “juru selamat” kini hanya dapat dilakukan melalui gerakan sosial-ekonomi yang ramah.
Kedua, hingga saat ini masih ada golongan kecil pemeluk agama yang mengalami fobia. Sakit nalar dan mental yang diidap seseorang ini sayangnya diekspresikan atas nama agama. Ia bermanuver membangun gerakan sehingga seolah-oleh menjadi gerakan komunal kelompok agama tertentu.
Khalayak menduga rencana Terry Jones, pendeta fundamentalis di Guinesville, Florida melakukan aksi bakar Al-Quran adalah aksi kelompok Kristen di Amerika. Padahal rencana itu hanya inisiatif Jones dengan segelintir pengikutnya yang hanya berjumlah 50 keluarga. Menurut Muhammad (Tempo, 20 September 2010), iman kelompok semacam ini adalah iman yang tertutup sehingga selalu diliputi ketakutan. Sebab itu agama mereka adalah agama yang defensif, bahkan agresif.
Klaim Kebenaran
Setiap agama,melalui argumen kitab suci mengklaim dirinya sebagai pemilik kebanaran sejati. Agama menyerukan setiap manusia mengikuti ajarannya dengan mengancam orang-orang yang ingkar. Ketika klaim ini dipahami secara sempit benturan antara penganut agama satu dengan penganut agama lain akan terjadi. Klaim-klaim teologis digunakan sebagai legitimasi untuk memaksakan kehendak.
Hingga saat ini beberapa kelompok fundamentalis masih melakukan manuver untuk memaksakan kehendak. Tery Jones barangkali hanya salah satu di antara penganut Kristen ortodok yang bersikap agresif. Gerakan underground Islam seperti Jamaah Islamiah (JI), Ikhwan al Muslimin (IM) lama, dan gerakan lain yang berafiliasi dengan Al-Qaeda masih melakukan kekerasan atas nama agama.
Dalam Religion and Politics in Pakistan, Leonard Binder mendefinisikan fundementalisme (Islam) sebagai aliran keagamaan yang bercorak romantisme kejayaan masa lalu (Jurnal Justisia No 32Tahun XVII 2008). Mereka yakin doktrinasi agama sebagai doktrin yang lengkap, sempurna, dan universal. Mereka menginginkan berdirinya Negara teologis seperti yang terjadi pada masa awal lahirnya Islam di Arab. Padahal, jika kita tinjau perkembangan agama 5 abad terakhir doktrin agama baru berterima setelah mengalami pribumisasi.
Tren ini memang tampaknya belum akan berakhir. Di tengah carut marut tatanan sosial, agama akan terus dipolitisasi sebagai tangga meraih kekuasaan. Namun pada saatnya, ketika gerakan semacam itu justru menebarkan terror dan ketakutan, masyarakat akan antipati. Pada saatnya orang akan jengah mendengar agama digunakan untuk melegitimasi kekerasan karena kontraproduktif dengan fitrah manusia yang mencintai keharmonisan.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara, tinggal di Semarang
Wednesday, 13 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment