Rencana Bupati Banjarnegara Djasri untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Demak pada pilkada Februari 2011 memunculkan pertanyaan. Meski masa kerja sebagai Bupati Banjarnegara baru selesai pertengahan 2010, Djasri mulai menjajaki pasangan dengan mendaftarkan diri di Koalisi Masyarakat Demokrat-PAN (SM, 08/10/10).
Apa motivasinya: murni pengabdian pada daerah kelahiran atau ambisi kembali merengkuh kekuasaan? Bagaimana perasaan masyarakat Banjarnegara yang diduakan?
Langkah Djasri memang tidak bertentangan dengan undang-undang dan aturan formal manapun. Peraturan Permerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 hanya mengatur bupati yang telah menjabat dua periode tidak dapat diangkat kembali. Langkah serupa pernah dilakukan Bupati Wonogiri Begug Puromosidi belum lama ini meski ia gagal.
Meski demikian langkah Djasri bukan tanpa risiko. Etika politik yang ia terabas bisa mencederai rasa keadilan banyak orang. Bahkan ia bisa dinilai sebagai pemimpin yang lebih memuja kekuasaan. Sebagai pejabat yang memulai karier dari nol di Banjarnegara, mestinya Djasri sudah nyawiji dengan penduduk di daerah itu. Kalaupun ia memiliki ikatan emosional dengan daerah kelahirannya tentu tidak harus diekspresikan dengan cara mencalonkan diri menjadi wakil bupati. Perhatian berupa saran kritis seputar pembangunan di Kota Wali tersebut sebenarnya sudah sangat cukup.
Di luar perdebatan tentang etika, ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi langkah politik Djasri. Pertama; Djasri barangkali memang sosok heroik yang berdedikasi tinggi dan “cinta mati” pada daerah kelahirannya. Sosok yang dikenal religius ini ibarat santri yang sedang mencari ilmu di Banjarnegara dan kemudian mempraktikannya di daerah asal. Jika benar demikian, berbanggalah masyarakat Demak karena memiliki putra daerah yang berdedikasi tinggi.
Meski demikian, bisa jadi ia kurang pas mengelola ambisinya. Semua yang diperolehnya selama menjadi Bupati Banjarnegara mungkin menggoda, tetapi upaya untuk merengkuh kembali kekuasaan itu tertutup oleh peraturan. Peluangnya maju menjadi calon gubernur atau wakil gubernur Jateng rasanya pun tidak terlalu besar mengingat prestasi kerjanya selama satu dasawarsa memimpin Banjarnegara. Karena itulah, ia ‘’lari’’ ke Demak meski harus mengalah menjadi calon wakil bupati.
Di luar kalkulasi politis yang telah dilakukannya, ada baiknya Djasri mempertimbangkan faktor psikologis masyarakat di dua daerah. Pertama; bagi masyarakat Banjarnegara langkah dia bisa meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan. Djasri, yang “dibesarkan” Banjarnegara tentu disesalkan jika meninggalkan daerah itu hanya demi kekuasaan. Pengalamannya memimpin Banjarnegara mestinya digunakan sebagai masukan bagi penerusnya. Ia menjadi tetua tempat juniornya bertanya.
Momentum
Kedua; bagi masyarakat Demak, langkah Djasri juga kurang etis mengingat ia politikus senior, dan pencalonannya sebagai wakil bupati berarti menunda regenerasi kepemimpinan di Kota Wali. Tentu tidak sedikit anak muda Demak yang menanti pilkada sebagai momentum bagi mereka mendedikasikan diri kepada daerah. Jika kesempatan mereka kemudian tertutup karena Djasri, besar kemungkinan bisa menimbulkan antipati.
Di tangan Djasri, Banjarnegara dideklarasikan sebagai kabupaten pertanian. Karakter ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan Demak yang dikenal sebagai penghasil padi dan aneka buah. Meski demikian belum ada jaminan pengalaman Djasri tepat diaplikasikan pada masyarakat Demak. Sejumlah kendala sosial tetap bisa menghambat kinerjanya, seandainya ia terpilih.
Meski sama-sama memiliki kultur agraris, Banjarnegara dan Demak dihuni masyarakat berbeda karakter. Masyarakat Demak dekat dengan kebanyakan warga pesisir yang dinamis dan agresif, sedangkan penduduk Banjarnegara lebih ayom. Kesuksesan Djasri memenangi pilkada di kota Dawet Ayu itu barangkali karena karakternya cocok dengan karakter masyarakat Banjarnegara yang kalem. Tentu berbeda hasil jika sosoknya dipromosikan kepada masyarakat Demak.
Karena itulah, akan lebih bijak jika Djasri mengurungkan niatnya. Sebaiknya ia menyelesaikan masa jabatannya sambil menuntaskan program yang belum tuntas. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya tidak sedikit dan tentu menguras energi. (10)
Surahmat, petani pisang di Banjarnegara, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes Wacana Lokal Suara Merdeka, 12 Oktober 2010
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/10/12/126463/Pilihan-Serbadilematis-bagi-Djasri
Wednesday, 13 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment