Saturday, 23 October 2010

“CABLAKA” SEPANJANG HAYAT


Benar kata Thomas Friedmen, dunia kini telah menjadi rata (The World is Flat, 2005: 67). Akibatnya, identitas personal dan kelompok nyaris tereduksi oleh sistem nilai global. Relasi transnasional yang dianggap sebagai pintu gerbang menuju dunia baru perlahan mengikis habis identitas lokal.

Dulu masyarakat mengenal istilah bujuk Mataram sebagai penanda mentalitas masyarakat keturunan Mataram. Di Solo Raya terkenal idiom umuk Solo. Sedangkan di Semarang dan pesisir utara Jawa terkenal dengan gertak Semarang. Semua itu menjadi identitas kultural yang lekat. Bukan sekadar idiom, identitas tersebut muncul sebagai gambaran kompleksitas karakter yang terekam dalam sikap dan pilihan gaya hidup (Kartodirdjo, 1992).

Komunitas Banyumas, yang secara geografis meliputi Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara, juga memiliki penanda karakter yang khas. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik karakter cablaka. Priyadi (2007) mengartikan cablaka sebagai spontanitas menanggapi fenomena yang dihadapi tanpa ditutup-tutupi. Dalam perkembangan morfologis cablaka disebut juga thuk melong atau blakasuta yang artinya terus terang.

Identitas kultural warga Banyumas yang cablaka dapat ditelusuri melalui teks-teks kuno yang berisi “ikrar” ke-cablaka-an. Dalam Primbon Sabda Amerta masing-masing daerah di Banyumas memiliki idiom kultural. Warga Purwokerto diibaratkan kebo gupak ing talunan, warga Purbalingga seperti pandhan rangkep aneng jero paseban, warga Cilacap disebut wedhung sumlandhang, dan warga Banjarnegara diibaratkan landhak mati eneng elenge.

Memang, julukan yang diberikan kepada masing-masing kelompok bisa jadi hanya label, namun harus diakui memiliki kedekatan karakteristik dengan deskripsi perilaku dan gaya hidup masyarakat bersangkutan.

Selain itu, warga Banyumas telah sepakat memilih karakter Bawor (Bagong) sebagai representasi kepribadian mereka. Pilihan ini memang berisiko sebab Bawor adalah tokoh biasa yang dalam pewayangan tidak memiliki kedigdayaan definitif. Satu-satunya kelebihan Bawor adalah mampu berkata apa adanya. Ia tidak melakukan kamuflase kata dan menghindari eufimisme. Ia mengatakan kebenaran meskipun pahit. Padahal, menurut Teguh Trianton (Radar Banyumas, 2009), masyarakat Banyumas tidak memiliki relasi historis sama sekali dengan tokoh wayang ini.

Keputusan warga Banyumas untuk merefleksikan sikapnya kepada sosok Bawor membawa sejumlah pengaruh pada tata nilai di sana. Pertama, dialek Jawa banyumasan berkembang menjadi bahasa yang lugas (semblothongan). Dibandingkan dialek Solo dan Semarang, dialek banyumasan minim bebasan. Sebaliknya, dialek kulon ini kaya ungkapan sarkastik yang cenderung kasar dan saru.

Babad Tanah Pasir (dalam Priyadi, 2007: 6) mengisahkan Adipati Banyak Thole dinasihati pamannya Wirakencana supaya tidak menyerang Demak. Sebab, dalam pertimbangan Wirakencana, pasukan Pasirluhur tidak akan sanggup menghadapi pasukan Demak. Alih-alih patuh, Banyak Thole justru secara cablaka mengatakan pamannya sebagai laki-laki yang tidak memiliki alat kelamin. Berang dengan penghinaan itu Wirakencana juga menunjukkan sikap yang tak kalah cablaka, yakni dengan memutuskan menyeberang ke Demak. Banyak Thole kembali menunjukkan reaksi yang cablaka dengan menyebut Wirakencana sebagai pengkhianat dan melarang orang Pasir mengangkat paman sebagai patih.

Kedua, Banyumas berkembang menjadi entitas kebudayaan yang egaliter. Relasi antarindividu dipandang setara; tanpa kelas-tanpa kasta. Sikap ini sekaligus menjadi perlawanan terhadap tradisi feodalistik keraton.

Di Banyumas kata sapaan yang jamak digunakan adalah inyong dan kowe atau rika yang menggambarkan keakraban antarindividu. Kalaupun saat ini dikenal sapaan panjenengan adalah pengaruh tradisi keraton. Begitupun penggunaan kata bertingkat, seperti badhog, nyekek, mangan, madang, maem dan dhahar yang berarti makan, juga pengaruh keraton.

Di tengah desakan pengaruh global, sikap cablaka membuat konstituennya pada posisi dilematis. Warga Banyumas mengalami kegamangan untuk tetap mempertahankan sikap khasnya atau justru menghilangankannya. Persoalannya, sikap cablaka sulit diterima oleh komunitas yang lebih besar: nasional dan internasional. Selain dianggap kasar dan saru, tuturan yang cablaka sering menjadi bahan tertawaan. Faktor yang kedua inilah yang membuat penutur Bahasa Banyumas menjadi inferior, menganggap dirinya sebagai kaum kasar, kaum pinggiran, dan tidak beretika.

Meski dalam catatan penulis Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo belum pernah tinggal dalam waktu lama di Banyumas, sikap dan pilihan katanya ternyata tidak kalah cablaka dengan warga Banyumas. Saat bicara di depan publik ia hampir selalu mengeluarkan pernyataan yang lugas. Ia bahkan pernah dikritik sebagai pemimpin yang kurang beretika.

Saat melantik walikota Semarang misalnya, ia mangatakan, “korupsi mlebu neraka”. Saat melantik Bupati Kendal ia berpesan agar bupati ora golek bathi (tidak cari untung). Terakhir saat ia melepas jemaah haji di Donoyudan, Boyolali, Gubernur berpesan supaya calon jemaah tidak memikirkan sapi di rumah dan fokus beribadah.

Meski menuai kritik, tidak sedikit ucapan Bibit Waluyo yang dipetik menjadi judul berita. Tuturannya bahkan pernah menjadi headline! Sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa tuturan cablaka memiliki sisi estetis tersendiri. Cablaka tidak hanya lugas, tetapi juga tegas. Sikap itu menunjukkan kesatuan hati dan ucapan. Antonimnya adalah tuturan berbunga-bunga namun ragu atau bahkan palsu. Maka kenapa musti malu ber-cablaka?

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Forum Kompas Jawa Tengah, 23 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment