Meski tim dokter RS dr.Sardjito belum mengeluarkan hasil tes DNA Mbah Maridjan, sejumlah saksi memastikan juru kunci gunung Merapi itu telah tewas. Ia mengakhiri tugas secara paripurna sejak ditugasi oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1982. Pengabdiannya yang total memberi inspirasi bahkan bahan refleksi berharga bagi kita, terutama pengelola negara. Mbah Maridjan mengajarkan sepi ing pamrih rame ing gawe dengan caranya; tanpa kata-kata.
Etos mengabdi seperti yang ditunjukkan Mbah Maridjan sudah sangat jarang kita dapati. Mekanisme birokrasi justru kerap membuat seorang abdi masyarakat (pelayan publik) menjadi kendala pembangunan. Mentalitas priyayi kerap membuat mereka menuntut dilayani oleh masyarakat. Etos kerja rendah dan koordinasi yang buruk membuat tata kerja birokrasi kita tambun dan tidak lincah.
Kualitas personal abdi masyarakat memang bahan koreksi yang patut dikaji. Sebab, mentalitas, kapabilitas, dan persepsi terhadap kekuasaan sangat berpengaruh terhadap kerja pelayanan. Abdi masyarakat kita lebih banyak yang bekerja ala kadarnya sekadar memenuhi tuntutan tugas. Masih saja ada yang bekerja dengan prinsip asal bapak senang (ABS) untuk mengamankan posisinya. Tabiat birokrat seperti inilah yang kerap menjadi duri pembangunan karena kerap injak bawah jilat atas.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang fleksibel. Formasi pelayanan publik idealnya berisi pribadi yang lincah dan mampu membaca kebutuhan masyarakat. Ia tidak membatasi perannya pada job desk yang spesifik tetapi perlu menerjemahkan diri dalam dinamika masyarakat yang dilayanani. Paradigma ini, selain penataan organisasi dan penilaian kinerja, mustinya juga menjadi agenda besar reformasi birokrasi.
Saat ini telah ada tiga lembaga negara yang memperoleh prioritas reformasi birokrasi dengan menerapkan manajemen kinerja, yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pemerika Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung. Namun sejak digulirkan pada 2008 janji-janji reformasi birokrasi belum dapat diwujudkan. Kemenkeu bahkan sempat mendapat tamparan keras ketika sindikat mafia perpajakan di Dirjen Pajak terbongkar.
Meski baru Gayus HP Tambunan yang menjadi tersangka, publik telanjur yakin jaringan mafia pajak di kementerian ‘subur’ itu sudah besar bahkan mengakar.
Tantangan BPK dan MA juga puluhan lembaga negara lainnya yang telah mengagendakan reformasi birokrasi jauh lebih berat. Sebab, berbeda dengan indikator kinerja di Kemenkeu yang kuantitatif, kinerja BPK dan MA harus diukur akuntabilitasnya.
Keberhasilan kinerja lembaga hukum seperti Polri dan Kejaksaan misalnya, tentu tidak bisa diukur hanya dari jumlah kasus yang berhasil ditangani. Jauh lebih penting dari itu adalah terpenuhinya rasa keadilan publik yang tercermin dalam indeks kepercayaan.
Kendala Mental
Menurut dosen Manajemen Kinerja Prasetya Mulia Business School Dedi Tedjakumara, selain otak-atik tata kelola, agenda reformasi birokrasi yang lebih mendasar adalah berubahnya pola pikir dan mental birokrasi. Sorotan ini sangat beralasan, sebab kendala mentalitas inilah yang sulit mendapat pengawasan. Kultur birokrasi, yang dibentuk oleh perilaku yang terus menerus, telah membuat berbagai pusat pelayanan publik justru menjadi pusat korupsi. Apalagi menurut Tjahyono (Manajemen Kinerja Birokrasi, 2009) birokrasi kita masih menganut ajaran Max Weber yang hirarkies dan berjenjang.
Eseleonisasi, salah satu aplikasi paham Weber, dalam tubuh satuan kerja pemerintah juga sebuah kendala. Sebab, dalam aturan ini kenaikan pangkat masih menggunakan sistem berjenjang bukan penilaian kinerja. Akibatnya, pimpinan di sebuah satuan kerja biasanya dipilih berdasarkan senioritas (masa kerja), bukan prestasi.
Birokrasi Weber yang itikadnya mengutamakan efisiensi, efektifitas dan rasionalitas justru berubah wajah menjadi birokrasi boros dan korup karena disintesiskan dengan kultur tradisional feodalistik (Sudarto, 2006).
Reformasi birokrasi telah membumbungkan ekspektasi publik terhadap pelayanan yang cepat, tepat, dan nirbiaya. Namun kemajuan yang diraih kerap menunjukkan arah yang tidak sejalan dengan harapan masyarakat. Klaim membaiknya sistem pelayanan publik sudah seringkali kita saksikan dalam iklan kehumasan sejumlah kementerian. Namun pada saat yang sama keluhan terhadap sistem pelayanan terus mengalir. Surat pembaca dan rubrik SMS warga yang tersedia pada sejumlah surat kabar misalnya, hampir selalu diisi keluhan.
Maka, selain tata kelola dan reformasi mental, reformasi birokrasi juga harus menyangkut etika birokrasi. Agenda ini penting karena punya pengaruh terhadap persepsi dan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diterima.
Secara sederhana Mbah Maridjan telah mencontohkan cara menjadi abdi yang tidak hanya setia tetapi beretika. Kepatuhannya kepada pimpinan, yang dinilai banyak orang berlebihan sehingga membuatnya keras kepala, diimbangi aspek spiritual dalam berbagai laku. Ia tidak menjadikan peran juru kunci sebagai posisi apalagi pekerjaan yang berorientasi kepada uang. Ia mengintegrasikan tugas dalam laku spiritual dan keseharian. Karena itulah ia total dan prinsipil.
Watak demikian bisa kita bandingkan dengan para “pekerja birokrasi” yang ada saat ini. Jabatan yang dimiliki kerap dimanfaatkan sebagai alat mengeruk keuntungan; dengan berbagai cara. Peran sebagai pelayan masyarakat banyak disalahartikan sebagai aktivitas komersil yang berorientasi pada perolehan materi. Akibatnya, birokrasi kita (dari bawah hingga atas) disesaki para pekerja. Pungutan liar (pungli) menjadi aktivitas yang dianggap lumrah karena telanjur menjadi tradisi dan sama-sama dimaklumi.
Politikus kita, yang menempati posisi strategis di pemerintahan dan parleman, juga kerap terjebak pada perilaku yang kurang lebih sama. Nyaris tidak ada menteri dan anggota DPR yang berani mendeklarasikan diri akan menjadikan posisinya sebagai jalan mengabdi. Tabiat rakus meraka muncul dengan memanfaatkan jabatan sebagai alat memperkaya diri.
Sangat aneh melihat belasan anggota Badan Kehormatan DPR studi banding ke Yunani dengan dalih belajar etika. Omong kosong! Sebab, jika Nurdiman Munir dan kawan-kawan benar-benar ingin belajar etika, ia sebenarnya tidak perlu mengunjungi tanah kelahiran Aristoteles yang tahun 2009 nyaris bangkrut karena manajamen birokrasi yang buruk itu. Mereka bisa belajar kepada sesepuh yang paham karakteristik etika Indonesia. Mbah Maridjan salah satunya.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
dari Halaman Opini Harian Joglosemar, Senin 1/11/2010
http://harianjoglosemar.com/berita/belajar-etika-pada-mbah-maridjan-28099.html
Wednesday, 3 November 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment