Keluhan tentang kualitas tayangan televise banyak ditemukan, melalui pengaduan langsung pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun surat pembaca. Pergeseran televise sebagai media public menjadi perangkat bisnis membuat pengelolanya mengabaikan kebermanfaatan tayangan. Karena itulah, barangkali, budayawan Banyumas Ahmad Toahri sangat membenci televisi.
Namun, ketetapan hati Kang Tohari sempat diragukan saat ia menyetujui novel Ronggeng Dhukuh Paruknya difilmkan. Yosi M Giri dalam tulisan Idealisme Tohari di Ambang Cinta dan Benci (Kompas 14/4/2008) bahkan dengan gambling mengakatakan idealism Ahmad Tohari telah terbeli. Kang Tohari, budayawan besar yang konsisten menyuarakan kebersahajaan, menukar idealismenya dengan sejumlah uang, tulisnya.
Saya meyakini pendapat tersebut sebagai pendapat yang sumir karena adanya jarak, baik komunikasi maupun pemikiran, antara penulis dengan Kang Tohari. Tidak seharusnya kelunturan idealisme dinilai hanya dari satu keputusan dengan menafikan rangkaian keputusan lain. Keputusannya menerima tawaran agar Ronggeng Dhukuh Paruk (RDP) difilmkan bukan represantasi atas kelunturan idealisme.
Idealisme adalah sesuatu yang kompleks. Bahkan David Mc Lelland (2005;1) mengakui tak bisa menerjemehkan ideologi dan idealisme secara pasti karena definisinya berarak mengikuti kabut konotasi. Dalam buku Idelology ia hanya memberi batasan ideologi sebagai kajian yang mempersoalkan dasar dan validitas gagasan paling fundamental. Menurutnya, ideologi adalah karya manusia yang khas, yang dihasilkan dari penyelidikan seksama atas suatu masyarakat. Karenanya, justifikasi mengenai idealisme seseorang harus dilakukan secara cermat mengingat sikap (atitude) dan keputusan (decision) hanya bagian kecil dari kompleksitas idealisme.
Melalui pesan singkat yang Kang Tohari kirimkan, ia menjelaskan, kontrak film RDP dibahas pada tahun 1999 dan ditandatangani pada tahun 2000. Saat itu film belum berkembang, atau justru terdestruksi, seperti saat ini. Kang Tohari berharap novel RDP dapat diproduksi layaknya Siti Nurbaya. Karena terikat oleh kontrak ia tidak bisa membatalkan secara sepihak, meski tren film telah jauh berubah.
Sebagai gambaran, perfilman Indonesia pada tahun 2000-an tidak semegah saat ini. Antara tahun 90-an industri film Indonesia mengalami sekarat. Sangat sedikit film local yang diproduksi, hingga baliho-baliho bioskop nyaris selalu terisi iklan film asing. Film Indonesia baru bergeliat sejak film Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) muncul pada tahun 2001, jauh hari setelah kontrak film RDP ditandatangani.
Sepi nyenyet perfilman saat itu tentu membuat para seneas tak nyaman. Baik sutradara, aktor, aktris, atau pihak lain dibelakangnya, terhegemoni oleh film asing; Holywood, Mandarin, juga India. Karena itulah dengan segala upaya mereka bisa membebaskan diri. Bagi produser upaya itu dilakukan dengan menggelontorkan investasi, bagi sutradara dilakukan dengan memproduksi film, sedangkan bagi novelis seperti Kang Tohari, upaya tersebut dilakukan dengan menyumbangkan cerita. Kalau kita mau khusnudzon, keputusan Kang Tohari adalah sumbangan besar agar film Indonesia tak lekas menemui ajal.
Pilihan Kang Tohari mestinya ditinjau secara diakronis mengingat terdapat renggang waktu yang cukup lama antara penandatanganan kontrak hingga saat ini. Bisa jadi ia hendak menjadikan film sebagai alat perjuangan dan dakwahnya mengingat media itu terbukti efektif. Kalaupun ada kompromi antara ia dan pemiliki modal, jelas bukan masalah besaran rupiah seperti yang Yosi M Giri maksudkan, melainkan muatan film dan relevansinya.
Harus diakui benar, nama Ahmad Tohari tak sebesar Chairil Anwar, Rendra, atau Marah Rusli. Bahkan, bisa jadi, persetujuannya memfilmkan RDP layakanya Siti Nurbaya sebagai salah satu upaya mensejajarkan namanya dengan Marah Rusli atau sastrawan besar lain. Namun perlu dimengerti pula jika ia hendak menggunakan media yang sama sebagai jalan dakwahnya.
Membenci Televisi
Kebencian Kang Tohari pada televisi harus dipahami secara substansial. Ia membenci televisi bukan ada tataran wujud; benda, pemilik, atau acara, melainkan secara nilai. Televisi telah berkembang melebihi kewajarannya sebagai media dan menjelma menjadi khatib yang amat aktif namun seringkali lalim.
Kenyataan menunjukkan perkembangan kebudayaan kita mengikuti budaya pop yang diajarkan televisi. Melalui program dan iklan-iklannya televisi merayu masyarakat untuk menirunya. Akibatnya, gaya hidup masyarakat; pakaian, selera makan, dan pergaulannya begitu seragam sebagaimana yang televisi contohkan. Ditakutkan, saat televisi merengkuh semua tradisi dan kepribadian masyarakat, orang akan merasa kearifan lokal masyarakatnya hilang. Perlu usaha agar kekhawatiran itu tak terjadi.
Pandangan Kang Tohari tentang televisi dapat ditelusuri dalam esai berjudul Ranaja Pakai TV Warna dalam buku Berhala Kontemporer miliknya. Ia mengisahkan Ranaja, tetangganya yang membeli televisi berwarna meski kebutuhan lain yang lebih esensial, seperti perbaikan gizi, tempat tinggal, dan pendidikan belum tercukupi. Karena terlalu asyik nonton Ranaja bahkan rela absen sholat berjamaah. Meski tak pernah menyalahkannya, Kang Tohari menyebut Ranaja sebagai korban karena tidak mampu menghindari dialektika permodalan. Dan begitulah adanya, karena televisi adalah perangkat bisnis.
Dari sinilah kita ketahui siapa musuh Kang Tohari sebenarnya. Ia bukan membenci kotak elektonik itu, melainkan ajaran yang dibawanya. Ia hanya sedang membenci sesuatu yang menjajah jiwa manusia lantas menyulapnya nenjadi jiwa-jiwa hampa yang kehilangan kepribadian. Itu yang dilakukannya.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Wednesday, 3 November 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment