aMeski masa kerja sebagai Bupati Banjarnegara baru akan selesai pertengahan 2010, Bupati Djasri berencana mendaftarkan diri sebagai calon wakil bupati di Demak. Ia bahkan sudah mulai menjajaki pasangan dengan mendaftarkan diri di Koalisi Masa Depan (Koalisi Masyarakat Demokrat-PAN (Suara Merdeka, 8/10).
Langkah politik Djasri memunculkan banyak tanya, baik dari kalangan masyarakat Banjarnegara maupun masyarakat Demak. Pasalnya, jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Tengah, prestasi Banjarnegara selama dipimpin Djasri tidaklah istimewa. Jangankan mampu menyaingi Solo yang kini mulai mendunia, Banjarnegara bahkan jauh tertinggal dari tetangga terdekatnya Purbalingga, meski kondisi alam di kedua kabupaten tersebut tidak jauh berbeda.
Purbalingga dianggap sukses mereformasi kebijakan bidang investasi sehingga mampu mendatangkan investor kelas kakap. Bupati saat itu Triyono Budi Sasongko perlahan mengubah paradigma hidup warganya yang gemar melancong menjadi pekerja lokal yang produktif seiring membaiknya iklim kerja dan usaha. Di bidang pariwisata, Owabong menjadi mercusuar karena tidak hanya mampu menyedot wisatawan Jawa Tengah, tetapi pengunjung dari luar provinsi.
Sejumlah Tunggakan
Progresivitas Purbalingga hampir bertolak belakang dengan kondisi Banjarnegara satu dekade terakhir. Pada bidang pariwisata misalnya, jangankan membuat objek wisata baru yang potensial menyumbang PAD, Pemkab Banjarnegara justru tampak kewalahan ngopeni objek wisata yang telah ada. TRMS Serulingmas bahkan sempat akan diswastakan karena terus merugi. Sementara dataran tinggi Dieng, yang memiliki daya tarik alam, sejarah, dan budaya sekaligus hanya mampu menyumbang PAD sekitar Rp 500 juta.
Menyadari perkembangan kegiatan industri dan perdagangan di daerah yang dipimpinnya lambat, Djasri sempat mendeklarasikan Banjarnegara sebagai kabupaten pertanian. Dalam rencana strategis (Renstra) daerah, kegiatan pertanian dijadikan sebagai renstra utama. Namun demikian, gairah kegiatan bertani belum mampu mengantarkan kabupaten ini menjadi gilar-gilar.
Petani pedesaan masih dihadapkan pada masalah klasik seputar tingginya ongkos produksi, lemahnya penggunaan teknologi, hingga cuaca yang sulit ditebak. Anehnya, di tengah kondisi tersebut, infrastruktur pertanian baik fisik maupun sosial tidak mendapat perhatin berarti.
Dulu Banjarnegara dikenal sebagai daerah penghasil salak pondoh bersama Bantul dan Magelang. Namun pamor itu semakin surut karena distribusi salak Banjarnegara tidak berkembang dengan baik. Pembicaraan untuk mengekspor salak ke China yang sempat membumbungkan optimisme petani kini entah sampai mana kabarnya. Justru yang terjadi, banyak petani salak di desa yang membabat tanaman salak mereka untuk diganti dengan jenis tanaman lain.
Sementara itu, nyaris tidak ada inovasi berarti pada pengolahan salak menjadi aneka panganan. Industri rumahan pengolahan salak menjadi jus, nata de coco, keripik dan jenang yang pernah dipelopori masyarakat desa Bantarwaru Madukara kini belum dapat berkembang pesat.
Absennya pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat juga terjadi saat karat tumor menyerang sengon hampir di seluruh wilayah Banjarnegara. Akibat serangan penyakit itu, perdagangan kayu sengon yang sempat bergairah kembali redup. Petani harus menebang sengonnya meski belum layak jual. Akibatnya, pengepul kayu tidak memperoleh barang dagangan dan sentra penggergajian sepi bahkan tidak sedikit yang tutup.
Ketika karat tumor mulai menyerang, masyarakat sebenarnya berharap pemerintah daerah bisa membantu dengan melakukan riset jenis obat apa yang tepat mengatasi penyakit itu. Sebab penyakit ini relatif baru, petani tidak tahu persis anatomi penyakit dan cara mengatasinya. Sedangkan pemerintah daerah, sebagai pemilik kebijakan mestinya bertindak cepat dengan menggandeng ahli tanaman dari perguruan tinggi, badan Litbang Departemen Pertanian, maupun LIPI.
Ketiga tunggakan tugas Djasri diatas masih punya kaitan erat dengan tunggakan keempat, yakni desentralisasi pembangunan. Langkah ini harus menjadi pijakan kebijakan pemerintah karena kondisi geografis Banjarnegara yang berbukit dan menyebar. Tidak hanya aspek anggaran dari APBD yang musti disesuaikan, tetapi kewenangan di bidang administrasi pemerintahan.
Hingga saat ini slenthingan tentang buruknya infastruktur jalan di desa-desa di Banjarnegara masih sering terdengar. Pada kolom Kepriwe Jal (Suara Merdeka) dan Suara Warga (Kompas) tidak sedikit warga Banjarnegara yang mengeluhkan kondisi jalannya. Bahkan sering terjadi, jalan yang rusak kemudian ditanami pohon pisang karena tidak lekas diperbaiki.
Mestinya keempat tunggakan tugas inilah yang menjadi fokus perhatian Djasri, bukan justru bermanuver mencalonkan diri menjadi wakil Bupati Demak. Sekuat apa pun ikatan emosionalnya dengan daerah kelahirannya itu, Djasri meninggalkan “hutang” kepada masyarakat Banjarnegara. Jangan sampai nama Djasri, yang pada saat kampanye diakronimkan “Djalanan Aspal Rapi Indah”, kini dibalik menjadi “Djalanan Sering Rusak Ih.”
Surahmat
Petani sengon di Punggelan, Banjarnegara
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Thursday, 14 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment