Saturday, 16 October 2010

Puasa, Lalu (Kita?) Berfoya-foya

Di tanah Jawa Ramadhan menyajikan pemandangan menarik seputar pertarungan beraneka kepentingan. Sebab, selain sebagai ritus keagamaan Ramadhan juga telah menjadi ritus kultural dan ritus pasar. Masing-masing memiliki perspektif sekaligus kepentingan yang berbeda bahkan tidak jarang bertolak belakang.

Agama memandang Ramadhan sebagai momen suci sebagaimana disebut dalam kitab suci. Ramadhan menjadi taut antara yang fana dan yang dianggap nyata. Pada saat yang sama Ramadhan juga menjadi panggung tempat pelbagai perilaku menusia dipertontonkan. Laku paling bijak hingga paling picik muncul sebagai respon terhadap demikian banyak perintah dan larangan.

Namun, tren yang belakangan berkembang lebih kuat justru menunjukkan jika Ramadhan dipola supaya menjadi seremonial berfoya-foya. Ajakan untuk menghambur-hamburkan uang saat Ramadhan dan Idul Fitri datang lebih gencar dari biasanya. Industri memasang berbagai rayuan maut supaya puasa dimaknai sebagai laku prikhatin yang pada saatnya perlu ditebus dengan pesta. Puasa seolah kesengsaraan dan pesta dianggap layak menebusnya.

Rayuan Iklan
Jelang Idul Fitri iklan akan bermimikri supaya bisa menjadi bagian dari perayaan. Mereka bermetamorfosa dari wataknya yang rakus menjadi “pribadi” yang penuh adab sehingga layak menjadi bagian merayakan kemenangan. Iklan mengubah diri menjadi pribadi yang santun sehingga membuat orang harus merasa bersalah jika tidak melibatkannya.

Dua pekan jelang lebaran contohnya, kita akan melihat hampir seluruh pusat perbelanjaan menawarkan diskon besar. Potongan harga membuat seseorang merasa bersalah atau bodoh jika melewatkannya. Para ibu akan merasa berdosa tidak membelikan baju baru bagi anak-anaknya, dan suami akan merasa berdosa tidak memberi tambahan uang belanja bagi istrinya. Bahkan instansi, baik pemerintah maupun swasta, hampir pasti dicap sebagai instansi yang tidak memiliki hati jika tidak memberi Tunjangan Hari Raya (THR).

Akibat perilaku latah ini, di Indonesia Idul Fitri termanifestasi dalam tiga bentuk perayaaan, yakni lebaran, liburan, dan laburan. Lebaran identik dengan baju baru dan hidangan serba lezat yang memunculkan kesan euforia. Liburan ditandai dengan kebiasan mengunjungi tempat wisata, entah sendiri atau bersama-sama. Sedangkan laburan, berasal dari kata labur (cat rumah tradisional), berarti kebiasaan merias rumah atau membeli perabot rumah tangga baru.

Tiga laku di atas menunjukkan jika pesta masih ditempuh sebagai cara merayakan kemenangan setelah berpuasa. Padahal, justru pesta menunjukkan kekalahan telak masyarakat kita terhadap berbagai gempuran rayuan industri. Masyarakat tidak memiliki resistensi terhadap rayuan iklan. Mereka berpasrah, menyerah, bahkan takluk menuruti perintah industri untuk membelanjakan sebanyak mungkin uangnya.

Banyak orang menganggap lebaran sebagai momentum langka sehingga perlu dirayakan dengan penuh suka cita. Karena itulah, banyak orang kemudian rela membelanjakan uang lebih banyak dari biasanya. Namun, kesadaran demikian ternyata bukan hasil perenungan yang didasari pada kesadaran personal, melainkan akibat masifnya iklan. Seperti telah terjadi konvensi yang membenarkan belanja berlebih, meski jelas termasuk perilaku boros, dapat ditoleransi jika dilakukan untuk merayakan Idul Fitri.

Realitas inilah yang memunculkan paradoks di tengah komunitas muslim Jawa, bahkan Indonesia, hampir pada setiap Idul Fitri. Tren kriminalitas, sebagaimana perampokan mengerikan di Medan, Kudus, dan Klaten belum lama ini, justru meningkat pada pertengahan bulan Ramadhan. Sekadar untuk merayakan Idul Fitri, ibu-ibu di pedesaan bahkan merasa perlu membuat arisan lebaran supaya memperoleh minyak goreng, beras, dan tepung terigu murah dengan membungakan pinjaman. Pada saat yang sama, bapak-bapak banyak yang bersepakat patungan kambing, kerbau, atau sapi karena tidak mampu menahan keinginan menghidangkan makanan lezat sebagaimana sanak, saudara atau tetangga mereka. Akibatnya, tidak sedikit keluarga yang tabungannya amblas pada bulan Syawal.

Tidak Seimbang
Tradisi ini dapat kita baca sebagai perdebatan tidak seimbang antara masyarakat dengan industri, kearifan lokal dengan televisi, juga antara ideologi keagamaan dengan kultur komunal.

Masyarakat belum berani mendebat, apalagi menolak, doktrin-doktrin konsumtif yang dikhutbahkan pemilik modal. Meski sadar bahwa belanja berlebih bukan anjuran Islam, bahkan dilarang, mereka tidak kuasa menolak rayuan iklan untuk terus menerus berbelanja. Bisa jadi kekalahan ini dipicu posisi tawar ideologi masyarakat yang masih lemah, juga karena laku bepuasa masih dianggap sebagai kekangan.

Kearifan lokal yang biasanya mampu menamengi masyarakat dari berbagai rayuan industri sekarang tidak ampuh lagi. Jauh-jauh hari nalar lokal bahkan tersungkur karena kalah melawan ideologi kapitalis yang setiap hari diajarkan televisi, melalui iklan juga logika acakadut sinetron.

Kita juga bisa membaca, agama belum mampu menjadi ideologi yang menentramkan. Puasa selama satu bulan urung melahirkan sikap hidup bijak yang didasari pada kesadaran eksistensialis manusia sebagai hamba Tuhan. Alih-alih memantapkan pilihan hidup bersahaja, puasa justru memantik euforia untuk berpesta. Ya, mereka berpuasa kemudian berfoya-foya.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment