Saturday, 16 October 2010

Merangkai Optimisme Melalui Upacara

Di Jawa upacara telah menjadi ritus yang mampu mengekspresikan berbagai perasaan. Oleh struktur kekuasaan upacara sengaja direnda sebagai ekspresi, representasi suatu kondisi, bahkan alat melanggengkan tradisi. Upacara hadir menandai lahirnya sebuah zaman dan karakter kekuasaan. Bahkan upacara sering direkayasa sebagai sarana merangkai cerita.

Kegembiraan menyambut Ramadhan beberapa waktu lalu oleh sebagian masyarakat di Indonesia juga diekspresikan melalui upacara. Nyadran, dugderan, dan kenduri contohnya menjadi petanda era penuh optimisme. Magisme upacara bisa menumbuhkan berbagai harapan ditengah tumpukan persoalan. Maka orang akan sedikit lupa dengan hiruk pikuk politik atau sengkarut hukum yang membikin masyarakat bingung itu.

Hal serupa akan muncul saat Ramadhan berakhir nanti. Mengingat Ramadhan oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai “kelas”, lebaran tak pelak dianggap sebagai selebrasi kelulusan. Mereka berharap kehidupan yang lebih baik setelah digembleng selama satu bulan.

Refleksi
Upacara tidak hanya memiliki kekuatan mengingatkan, tetapi memicu seseorang merefleksikan berbagai hal yang akan dan telah dilalui. Upacara memacu kegairahan merenungkan kembali hal baik dan buruk yang telah ia lakukan sehingga perlu melakukan perbaikan. Pada saat tertentu upcara bahkan menjadi representasi harapan.

Menjelang kelahiran bayi misalnya, upacara menjadi petnda kebahagiaan lahirnya manusia baru. Orang tua yang berbahagia oleh kehadiran bayi sengaja menggelar syukuran dan berbagi suka dengan sanak saudara. Tumpeng dihadirkan sebagai simbol pengharapan supaya si jabang bayi membawa kebaikan bagi sesama. Sayur mayur yang dihidangkan secara segar sebagai lalap menjadi masa depan yang cerah.

Kelahiran bayi adalah kelahiran sebuah harapan. Bayi dianggap sebagai pembawa era baru. Betata pun getir realitas yang akan ditemui, bayi memiliki daya magis membangkitkan optimisme. Ia hadir mengubur ketakutan dalam-dalam dan hadir menawarkan berbagai kemungkinan. Karenanya, selain syukuran ada anjuran supaya bayi diaqiqahkan.

Meski nyaris selalu hadir dalam riuh kegembiraan, upacara ternyata juga mengakomodasi duka. Dalam upacara kematian misalnya, sebuah acara digagas untuk mengekspresikan duka yang mendalam. Ia menjadi tanda sebuah peristiwa dan berusaha mengabadikannya dalam ingatan sekalipun kematian biasanya menjadi peristriwa getir yang ingin segera dilupakan.

Rangkaian upacara yang berarak dalam laku keseharian menunjukkan kegemaran masyarakat terhadap berbagai simbol. Segala peristiwa seolah-olah dapat hadir kembali melalui peristiwa rekaan. Melalaui upacara orang berharap bisa membangktikan serangkaian kenangan. Simbol dipercaya sebagai representasi sebuah kondisi sehingga sakral dan perlu dihormati.

Orang Jawa sulit menyangkal jika aroma kemenyan memiliki konotasi mistis. Bau kemenyan dilekatkan dengan keberadaan roh atau makhluk halus. Karenanya, bau kemenyan ditakuti, bahkan kerap menciptakan ketidaknyamanan. Bau kemenyan membangkitkan imaji hadirnya makhluk berujud menyeramkan yang datang dengan itikad buruk.

Pemaknaan tersebut membuktikan telah terjadi penempelan makna secara konvensional. Sebab, kemenyan sebagai identitas mistis dihadirkan melalui rangkain upacara. Baik pada penyelenggaraan slametan maupun ritual lain kemenyan dimaknai sebagai sesembahan yang ora ilok ditinggalkan. Padahal bagi sebagian petani di pedesaan kemenyan adalah campuran tembakau yang nikmat. Kemenyan justru telah dibuktikan mampu menambah cita rasa tembakau, menciptakan sensasi khas pada setiap isapan rokok.

Simbol yang hadir melingkupi upacara agaknya hadir dari kegemaran masyarakat yang penuh anggah-ungguh. Karakter tersebut, jika hendak dioposisikan dengan watak asertif, tentu saja melekat pada watak komunal masyarakat Jawa. Mereka enggan mengungkapkan secara terus terang sehingga menciptakan tanda-tanda tertentu dengan harapan dapat dipahami orang lain. Simbol dianggap elegan untuk menyampaikan sebauh pesan atau gagasan.

Kabur
Pilihan tersebut kemudian membawa sebuah risiko. Tanda, karena senantiasa memerlukan penerjemahan, bisa atau bahkan harus dimaknai ganda. Setiap orang bebas memaknai tanda yang hadir terangkum dalam upacara. Pencipta tidak lagi memiliki otoritas untuk memahamkan orang lain.

Pengaburan makna yang demikian membuat upacara lebih sering kehilangan makna. Pesan moral yang disusun dengan sedemikian rupa terkadang justru tertutupi rangkaian acara. Upacara sebagai media justru dibaca sebagai yang utama. Akhirnya, sebagaimana yang kita saksikan belakangan dalam berbagai perhelatan, upacara tidak memiliki referensi kebijakan. Ia dihadirkan dengan meriah meski tidak dimakani sebagai sumber perenungan.

Di tengah kondisi seperti itulah optimisme menyambut Ramadhan diperlukan untuk membangkitkan hal-hal esensial. Meski telah menjadi anualitas yang riuh oleh peristiwa kultural, Ramadhan tetap menjadi ritus yang membangkitkan optimisme pribadi seseorang. Ramadhan menjadi perenungan untuk mencapai kesadaran baru bahwa sesuatu yang esensial jauh lebih bermakna.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment