Saturday, 16 October 2010

TAKIR, AGAR KITA TAK KIKIR

Meski hampir bisa dipastikan hanya berisi tempe atau tahu, nasi bungkus daun pisang yang dibagikan kepada jamaah shalat terawih di desa-desa daerah Banjarnegara selalu memberi kesan mendalam. Nasi itu memberi suntikan energi pada anak-anak supaya datang lebih awal menempati shaf paling depan. Bahkan mereka, entah sungguhan atu pura-pura, mengikuti shalat hingga 21 rakaat tanpa keributan.

Nasi bungkus yang oleh masyarakat setempat disebut takir itu telah memberi energi berlimpah. Ia menjadi simbol, tujuan, sekaligus realitas yang menunjukkan kepedulian kaum pedesaan di tengah kebersahajaan. Satu bungkus nasi sudah cukup menjadi tanda bahwa shodaqoh tidak hanya bisa dilakukan orang-orang berpunya.

Masyarakat di beberapa desa di Banjarnegara hingga kini masih melanggengkan tradisi membuat takir. Setiap keluarga dianjurkan membuat 10 hingga 15 takir pada malam-malam ganjil selama bulan Ramadhan. Supaya tidak bertumpuk, lebe (tokoh adat setempat) membuat jadwal yang dibagikan kepada warga. Rata-rata, dalam satu malam terkumpul 80 bungkus takir yang akan dibagikan kepada seluruh jamaah terawih. Jika kurang mereka berbagi, jika lebih dibawa pulang sebagai hidangan sahur.

Tak Kikir
Demikianlah cara warga desa melanggengkan tradisi membawa takir. Di samping sarana beramal, takir menjadi pembuktian bahwa masyarakat desa bukan orang kikir meski hidup dalam kondisi kurang. Takir justru membuktikan, ghirah masyarakat desa untuk berbagi ternyata sangat kuat. Oleh tetua setempat takir dosebut sebagai akronim dari kata “tak kikir”. Artinya, takir menjadi ajang pembuktian sekaligus latihan supaya mereka tidak menjadi manusia kikir.

Di tengah kondisi serba sederhana, takir memiliki nilai kultural yang sangat lekat. Pertama, kesempatan beramal tidak pernah bisa dimonopoli oleh orang-orang kaya. Justru cara amal orang-orang yang kurang mampulah yang dapat menunjukkan kesungguhan hati untuk saling berbagi. Kedua, takir telah mampu membuat seseorang sebagai bagian dari komunitas bernama masyarakat menyadari peran sosialnya. Sebab, betapa pun kecil, peran anggota masyarakat satu akan bernilai bagi anggota masyarakat lain.

Kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat kerap memojokkan mereka pada alur pikir ekonomis. Kalkulasi untung-rugi menjadi desah utama nafas keseharian mereka, dari pagi hingga pagi kembali. Realitas ini ternyata bukan jalan yang baik meraih kebahagiaan sosial. Karena itulah jalan memberi disadari perlu ditempuh sebagai ungkapan syukur yang mendalam. Memberi, baik dalam arti filosofis maupun teologis, menjanjikan kepuasaan karena menandakan seseorang telah sampai pada titik kebijakan tertentu.

Takir memberi pelajaran bahwa adakalnya nilai ekonomi perlu diabaikan. Demikian pula nalar ekonomi, pada saatnya harus ditanggalkan agar seseorang mencapai derajat kebijakan tertentu. Takir memberi ekspresi suka cita karena seseorang mampu melepaskan diri dari pendewaan terhadap nominal. Takir mewakili kegairahan manusia untuk sekali waktu terbebas dari kegilaan terhadap uang.

Memang, jika diukur dengan nominal, takir nyaris tidak memiliki nilai ekonomi. Harga takir tidak pernah lebih dari satu porsi rames. Namun karena dinikmati bersama, sehingga memunculkan dimensi sosial manusia, takir memiliki nilai lebih. Sebungkus nasi menjadi petanda perlawanan manusia dengan sesuatu yang harus diukur dengan uang.

Inilah realitas yang digunakan Andre Moller dalam Ramadhan di Jawa (2005) untuk membantah anggapan masyarakat Barat bahwa Ramadhan adalah cara manusia mencari penderitaan. Ia justru membuat tesis baru dengan mangatakan, orang-orang Jawa tengah melakukan pemaknaan ulang terhadap berbagai aktivitasnya. Ramadhan memberi kesempatan kepada orang Jawa melihat sesuatu dari perspektif lain sehingga lebih bijak.

Euforia Ibadah

Meski demikian, tradisi memberi takir juga terjebak pada pemaknaan sempir ngalap berkah Ramadhan. Takir masih menjadi bagian suka cita yang diungkapkan masyarakat selama Ramadhan. Takir masih menjadi selebrasi yang muncul sebagai euforia umat Muslim menjalani ibadah di bulan Ramadhan.

Ini dapat dilihat dengan menghilangnya takir seiring berakhirnya bulan Ramadhan. Takir belum bertransormasi dalam bentuk amalan lain yang bisa langgeng sepanjang tahun. Pelajaran saling memberi yang berlangsung dalam “kelas” Ramadhan belum diamalkan dalam laku sehari-hari. Akhirnya takir hanya menjadi seremonial yang hanya didapati setahun sekali.

Meski dilakoni tanpa landasan naqli yang pasti, tradisi memberi takir telah membuka pemaknaan baru tentang ibadah Ramadhan. Puasa bukan perintah tunggal, juga bukan ibadah yang bersifat individual. Puasa adalah ibadah yang memiliki dimensi sosial kental. Ada korelasi antara puasa dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab puasa tidak sekadar mengekalkan kesabaran mengendalikan hawa nafsu, tetapi kesabaran untuk menghargai manusia lain.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment