Ramadhan mengubah iklan layanan seluler menjadi demikian humanis. Iklan muncul menawarkan berbagai kemudahan komunikasi, harga kompetitif, dengan beragam fasilitas. Semua masalah komunikasi manusia seolah-olah dapat terjawab sehingga kebiasaan saling mengunjungi seperti tidak diperlukan lagi.
Iklan seluler yang masif perlahan mengendapkan persepsi bahwa pertemuan bukan sesuatu yang penting. Komunikasi antarmanusia seperti cukup diwakili pesan singkat, telepon, atau video call. Karena itulah, tren saling berkunjung mulai ditinggalkan, berganti tren silaturahmi seluler. Bahkan di pedesaan, tradisi ngendong perlahan hilang.
Memang, berkunjung langsung atau menggunakan teknologi hanya sebuah pilihan. Kunjungan mungkin menawarkan kehangatan komunikasi karena dilakukan dengan tatap muka, namun akan sedikit merepotkan. Sedangkan komunikasi seluler menawarkan banyak kemudahan dan efisiensi, meski selalu terbatasi waktu dan keleluasaannya.
Pilihan tersebut tampak sederhana meski sebenarnya dilematis. Kita berada dalam era yang menawarkan segala kepraktisan tapi emoh melepas romantisme komunikasi yang manusiawi. Di satu sisi kita ingin mendapatkan berbagai informasi dengan cara paling mudah, paling cepat, dan paling murah, namun di sisi lain kita merindukan penghargaan personal yang hanya bisa diperoleh dalam sebuah perjumpaan.
Terbatas
Komunikasi bukan perkara bertukar pesan (message) belaka. Selain oleh isi, komunikasi juga dibangun oleh unsur sosial dan psikologis yang unik. Karena itulah aktivitas berkomunikasi akan terasa rumpang jika hanya dibangun oleh content (informasi) tanpa sentuhan sosial dan psikologis. Pertukaran informasi saja bukanlah silaturahmi, melainkan sebuah transaksi.
Sebuah misal, kesan apa yang kita peroleh setelah berjam-jam chatting dengan kerabat? Bandingkan dengan kesan yang bisa kita peroleh jika mau menyempatkan waktu sehari dua hari berkunjung ke rumah kerabat. Tentu berbeda. Chatting, telepon, atau video call hanya saluran darurat, patut digunakan dalam suasana genting dan mendesak. Karena itulah fasilitas apapun yang disediakan penyelenggara silaturahmi seluler tidak bisa menggantikan sebuah kunjungan.
Penggunaan teknologi dalam tren komunikasi mutakhir bisa dimengerti sebagai kemenangan logika (karsa) manusia. Tapi hegemoni teknologi adalah wujud kekalahan perasaan (rasa). Perlahan tapi pasti urusan komunikasi diambil alih oleh teknologi, menyisakan porsi yang sangat kecil bagi perasaan manusia.
Teknologi tidak memiliki napas, suara sengau khas penderita influeza, bersin, atau bau keringat. Teknologi juga tidak bisa mengernyitkan kulit kening, menaik-turunkan jakun, dan mengatur tekanan napas karena tidak pernah hidup. Jika suatu saat nanti teknologi komunikasi benar-benar mengambil alih peran manusia, sungguh kemunikasi yang terjalin akan sangat terasa kering dan hampa. Nilai-nilai kemanusiaan yang hanya dirasakan ketika seseorang bertemu sulit dijumpai dan dirasakan.
Dulu, untuk menyatakan cinta pada gadis idaman seorang remaja pria perlu merenung beberapa hari untuk mencari konsep yang tepat. Setelah itu ia akan sibuk memilah kata untuk mengekspresikan perasaannya. Agar pernyataan cintanya memiliki nilai rasa yang kental, ia bahkan harus menggunakan simbol keindahan yang diharap merepresentasikan perasaan. Namun sekarang, maksud dan tujuan yang sama bisa dilakukan dengan mengirimkan gambar hati berbentuk daun waru melalui pesan singkat. Sebab, zaman telah bersepakat bahwa gambar hati adalah perlambang cinta, meski nyatanya sangat kering dan miskin rasa.
Facebook
Perlahan tapi pasti, penggunaan teknologi komunikasi menjebak kita dalam komunikasi yang memfasilitasi pertukaran pesan semata. Pesan menjadi satu-satunya hal yang masih berharga. Perasaan iba, malu, ewuh pekewuh, atau ekspresi rasa hormat sulit ditemukan di sana. Bahkan Facebook, jejaring sosial yang dirancang sedemikian canggih pun itu tidak mampu mengakomodasi perasaan-perasaan semacam itu.
Wacana Facebook haram yang pernah muncul dari sejumlah pemuka agama di Madura bukan semata karena potensi mudharatnya. Potensi mudharat toh bisa muncul di setiap aktivitas manusia, dan karena itulah seluruh aktivitas manusia berpotensi difatwa haram. Namun, bisa jadi, wacana Facebook haram adalah pepeling bahwa komunikasi antarmanusia tak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi.
Karena itulah, fatwa itu bukanlah tindakan yang kontra kemajuan. Barangkali para ulama hanya khawatir Facebook akan menghilangkan komunikasi yang manusiawi pada suatu saat nanti. Mereka khawatir salam, sapa, dan senyum akan hilang. Sebab, tentu akan sangat menyedihkan jika lebaran nanti tamu yang kita terima hanya email, SMS, atau ucapan selamat di Facebook. Kita akan sangat merindukan kerabat, tetangga, dan sanak keluarga yang berkenan ngendong untuk menyantap ketupat dan opor ayam bersama.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Saturday, 16 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment