Saturday, 16 October 2010

MERANCANG POLA TANGAP DARURAT LONGSOR

Rawan - Longsor jalan Raya Trangkil, jalan penghubung Sampangan-Unnes. Banyak daerah di Jawa Tengah rawan longsor.

ADAGIUM yang dipopulerkan Koes Ploes bahwa tanah (air) kita adalah surga, bahkan tongkat dan batu bisa menjadi tanaman agaknya harus direfleksikan kembali. Banyaknya bencana dan potensi bencana memaksa kita harus berbesar hati mengakui bahwa tanah kita rawan bencana. Dengan begitu, masyarakat kita tidak terlena dan lebih sadar bencana.

Longsor di Desa Kemawi Kecamatan Somagede, Banyumas yang menewaskan lima orang beberapa hari lalu membuktikan betapa rawannya tanah Jawa yang kita tinggali. Dusun yang selama puluhan tahun aman dihuni tiba-tiba longsor hingga mengubur sejumlah rumah. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral bahkan kemudian mengeluarkan peringatan karena 46 desa di 17 kecamatan di Banyumas termasuk daerah rawan longsor.

Kerentanan gerakan tanah tinggi dicirikan dengan kemiringan lereng lebih dari 30 derajat, vegetasi penutup sangat kurang, serta lapisan tanah tipis. Jika curah hujan dan erosi di atas normal kemungkinan terjadi pergerakan tanah sangat besar (Suara Merdeka, 3/8).

Jika dicermati, ada dua sebab utama longsor yang menelan korban jiwa. Pertama, topografi tanah di sejumlah daerah memang kasar. Di Purbalingga, Karanganyar dan Banjarnegara misalnya, sebagian besar tanah yang pernah longsor adalah daerah perbukitan. Sedangkan di Solo dan Sumowono, longsor terjadi pada tahun 2008 di bibir jurang.

Kedua, kondisi alam yang rentan tidak disikapi secara bijak oleh masyarakat. Bahkan, hingga kini kita masih mendapati berbagai perilaku eksploitatif yang berpotensi mendatangkan longsor. Selain alih fungsi hutan, pembangunan infrastruktur jalan banyak yang mengabaikan kondisi tanah. Di Banjarnegara misalnya, longsor yang menutupi badan Karangkobar-Batur 2009 silam terjadi karena tebing dibuat terlalu tegak sehingga pondasi tidak kokoh.

Mengelola Longsor
Banyaknya korban tanah longsor memaksa masyarakat dan pemerintah daerah mencari solusi untuk menghindari korban lebih banyak. Pasalnya, potensi longsor tetap mengintai masyarakat tiap musim penghujan. Padahal BMG meramalkan, meski punck musim hujan terjadi pada Februari-Maret 2010, secara periodik hujan deras akan terjadi tahun berikutnya. Jika tidak memiliki langkah antispiasi yang baik masyarakat yang tinggal di daerah rawan akan terus menerus terancam jiwanya.

Menjelang longsor sebenarnya ada beberapa indikasi yang dapat dibaca. Pada tanah yang akan longsor umumnya timbul retakan lengkung memanjang seperti tapal kuda, tiba-tiba muncul lumpur dari lereng, mata air menjadi keruh atau tiba-tiba berhenti mengalir. Namun nyatanya masyarakat sering menafikan tanda-tanda itu. Karena itulah warga selalu gagap, tidak siap menghadap longsor.

Agar longsor tidak mengakibatkan korban jiwa, sepantasnya warga memiliki pengetahuan dasar seputar longsor. Indikasi longsor sebisa mungkin dibaca supaya masyarakat bias menyiapkan antisipasi. Sebab, berdasarkan longsor yang terjadi beberapa waktu lalu, korban berjatuhan karena tidak mampu membaca tanda-tanda longsor. Kebanyakan korban juga tidak memiliki pengetahuan menyelematkan diri. Disinilah pemerintah dituntut tlaten melakukan sosialisasi. Tidak hanya melalui koran atau televisi, karena jangkauannya terbatas, tetapi juga forum-forum kecil semacam arisan atau pengajian.

Selain dipetakan, daerah rawan harus memiliki alat deteksi dini. Sama dengan alat deteksi dini tsunami, alat ini berfungsi memberi peringatan pada warga dalam berbagai situasi. Peringatan waspada diberikan jika longsor terjadi dalam intensitas kecil dan tidak membahayakan. Namun jika longsor terjadi dalam intensitas besar dan membahayakan warga, alat ini memberi peringatan gawat. Pada kondisi ini warga harus benar-benar diungsikan.

Namun jika longsor tak tertanggulangi, jalan lain yang harus dipertimbangkan adalah relokasi. Cara ini dilakukan dengan memindahkan pemukiman yang rawan longsor ke daerah yang lebih aman seperti yang dilakukan pemerintah terhadap warga Desa Sijeruk, Banjarmangu, Banjarnegara 2004 lalu. Namun dalam pelaksanaannya, relokasi sering mengalami kendala. Selain penyediaan lokasi baru, usaha relokasi sering tidak mendapat persetujuan warga.

Penyediaan tanah juga kerap menjadi masalah yang menghambat relokasi. Untuk mencari tempat yang lebih aman, diperlukan riset panjang. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menetapkan lokasi baru, termasuk kemanan dan kenyamanan. Masalah akan semakin pelik saat karena pembahasan mengenai pembebasan lahan biasanya berjalan alot.

Untuk mengatasi kedua masalah tersebut pemerintah daerah memang dituntut cermat memetakan potensi bencana longsor di daerahnya. Tak hanya itu, perlu ditetapkan daerah larangan huni agar lokasi-lokasi yang berbahaya tidak dijadikan tempat tinggal. Sebab, pengetahuan masyarakat tentang kondisi tanah memang tidak terlalu baik. Mereka tidak mampu membaca potensi bencana karena pengetahuan teknis yang tidak mamadai.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment