Bagi umat Muslim di Indonesia, Lebaran adalah momentum istimewa, baik dari perspektif agama maupun budaya. Pada saat itulah berbagai perangai kebudayaan kolektif muslim Jawa muncul. Ekspresi itu muncul melalui berbagai ritus, baik ucapan, sikap, maupun hidangan di meja makan.
Meski dalam keseharian dianggap biasa, meja makan adalah gambaran sebuah keluarga. Apalagi, menurut Kuntowijoyo (1957), sesuatu yang tersaji di meja makan adalah penanda pokok selera keluarga. Dinamika dan kedudukan sosial seseorang juga bisa dilihat melalui apa yang tersaji di sana.
Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa dapur dianggap sebagai sumber kehidupan. Dapur, meski selalu kotor dan pengap oleh asap, adalah tempat istimewa. Tidak ha-nya kesejahteraan keluarga yang dapat diukur dari sana tetapi keharmonisan dan dinamika keluarga juga tercermin. Kondisi dapur merepresentasikan kondisi umum sebuah rumah, termasuk relasi antarindividunya.
Dapur yang memiliki persediaan bahan makan lengkap tentu saja hanya dimiliki oleh keluarga yang berkecukupan. Sama halnya, dapur yang memiliki beragam perlengkapan masak, baik modern maupun tradisional, hanya dimiliki oleh keluarga dinamis. Dapur yang sering digunakan menunjukkan interaksi antaranggota keluarga terjalin dengan baik. Sebab, bagi sebagian perempuan Jawa masakan adalah bahasa yang efektif untuk mengutarakan berbagai perasaan.
Dapur dan meja makan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling merepresentasikan kondisi satu sama lain. Karena itulah meja makan juga bisa kita baca untuk merefleksikan kondisi sebuah keluarga. Dari sana, berbagai definisi tentang sebuah keluarga dapat diungkap.
Dari meja makan pula ekspresi suka cita sebuah keluarga ketika menyambut Ramadhan dan merayakan Lebaran dapat dibaca. Tiba-tiba saja di meja makan tersaji aneka makanan yang sebelumnya jarang dijumpai. Sebuah keluarga rupanya merasa perlu menambah menu makannya sebagai bekal menghadapi puasa Ramadan.
Ragam menu makan dan jajanan di meja makan saat Lebaran menunjukan bahwa meja makan sebagian orang Jawa dijajah oleh industri. Banyaknya jajanan olahan pabrik yang menghiasi meja makan menunjukkan selera makan telah disetir industri. Masyarakat tidak memiliki resistensi terhadap ajakan industri yang disuarakan melalui iklan. Tawaran bisa menikmati jajanan enak tanpa repot seperti membuat masyarakat terbuai.
Kondisi demikian bahkan juga dapat kita jumpai di perdesaan, sekalipun tidak memiliki relasi kultural yang erat dengan masyarakat kota. Akibat iklan masyarakat tergoda menikmati aneka jajan pabrik.
Kondisinya kini berbeda dari tahun 1990-an ketika televisi belum menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat desa. Hidangan tradisional semacam nagasari, ketan, tape, dawet, atau bahkan ubi goreng masih dengan mudah kita dapati. Dua hari menjelang Idul Fitri keluarga mempersiapkan segala macam makann tradisional yang sebagian bahannya diperoleh dari kebun.
Selebrasi
Bagi umat Islam Jawa Lebaran adalah puncak selebrasi. Dalam Ramadan di Jawa (2005) Andre Moller mendeskripsikan “keganjilan” itu dengan membandingkannya dengan tradisi yang berlangsung di negara Islam lain. Di Arab, Idul Fitri dikenal dengan sebutan ’iidu l-saghiir atau pesta kecil sebagai antonim dari Idul Adha yang dikenal dengan istilah ’iidu l-kabiir atau pesta besar. Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Secara kuantitas maupun kualitas ritus yang berlangsung selama Lebaran justru lebih semarak dibandingIdul Adha.
Paham itu pula yang turut mendongkrak motivasi masyarakat Jawa merayakan Idul Fitri secara mewah. Dorongan membeli hidangan istimewa muncul karena Lebaran menjadi momentum istimewa. Tidak sedikit keluarga yang merasa perlu menyiapkan anggaran khusus untuk ’’menghias’’ meja makannya.
Meski diukur sebagai ekspresi kebudayaan, hidangan melimpah yang kadang tidak proporsional perlu dimaknai kembali. Pemaknaan ini penting supaya Lebaran tidak makin identik dengan pesta tetapi tetap menjadi ekspresi syukur hamba kepada Tuhan. Dorongan menghidangkan makanan secara berlebih dikhawatirkan menjauhkan masyarakat pada substansi perayaan Lebaran. Apalagi jika dorongan tersebut semata-mata muncul akibat stimulus iklan.
Lebaran, sebagaimna telah dimaknai sebagai ekspresi liminal antara Islam dan kebudayaan lokal, akan makin menarik jika memadukan keduanya. Cukuplah Lebaran menjadi eskpresi kebudayaan dan agama. (10)
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Saturday, 16 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment