Dikisahkan Wisnu Nugroho dalam Pak Beye dan Istananya (2010), SBY pernah menyampikan himbauan supaya masyarakat menggunakan produk lokal dengan wajah kecut. Sebab, saat itu ia didampingi oleh seorang menteri perempuan yang melenggang ke ruang konferensi pers sambil menenteng tas merk Calvin Klein. Tentu saja ini realitas yang kontraproduktif. Sebagai kepala negara SBY belum mampu membumikan ucapannya dalam kesehariannya, juga keseharian orang-orang terdekatnya.
Syak ini pula yang patut kita tujukan kepadanya ketika secara mendadak memberikan remisi dan grasi kepada 58.400 napi yang 341 di antaranya koruptor. Tindakannya sangat kontraproduktif dengan pidato antikorupsi yang kerap diangkatnya.
Cecaran akibat tindakan ini patut SBY terima. Sebab, tindakan ceroboh itu setidaknya telah membawa dua akibat. Pertama, secara psikologis tindakan ini berdampak buruk bagi masyarakat dan penegak hukum. Di tengah kondisi ekonomi yang belum mapan, bisa jadi korupsi akan ditempuh oleh banyak orang karena ringannya ancaman hukuman.
Kedua, tindakan SBY bertolak belakang dengan tren antikorupsi di sejumah negara maju. Di China misalnya, kini telah diberlakukan ancaman hukuman mati. Di beberapa negara Asia Timur, Eropa, dan Amerika Latin, meski hukuman mti belum disyahkan, tren hukuman berat koruptor terus berkembang. Pemberian remisi dan grasi dipastikan akan membuat perjuangan melelahkan bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari korupsi memerlukan waktu lebih lama lagi.
Boleh dan Wajib
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berargumen, remisi dan grasi diberikan atas dasar UU Nomor 12 tahun 1995 dan UU Nomor 22 tahun 2000. Menurutnya, kedua undang-undang itu tidak melarang pemberian remisi dan grasi kepada koruptor. Remisi dan grasi telah menjadi deskresi presiden sekalipun pertimbangan yang digunakannya sangat subjektif.
Penerjemahan demikian tentu saja terlalu normatif. Sebab, sekalipun ‘boleh’ pemerintah tidak pernah ‘wajib’ memberi remisi atau grasi. Penggunaan hak itu justru menunjukkan pemihakan yang kentara. SBY gagal memenuhi ekspektasi publik untuk memberikan hukuman berat kepada korutor. Ia gagal menerjemahkan janji kampanye untuk “mengatakan tidak pada korupsi”.
Sesat pemahaman untuk membedakan “boleh” dan “wajib” perlu disikapi dengan hati-hati supaya tahun depan preseden buruk ini tidak terulang lagi. Teten Masduki dalam Sengsarakan Kuroptor (Kompas 24/8) memberi saran supaya UU nomor 12 tahun 1995 dan UU nomor 22 tahun 2000 segera direvisi. Bahkan menurutnya perlu diberlakukan model hukuman komulatif yang lebih represif untuk menciptakan efek jera. Tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan aset negara harus diberikan hukuman maksimal.
Usulan demikian tentu saja sangat realistis untuk menjawab kakhawatiran masyarakat karena selama ini hanya koruptor kecil saja yang dapat dipenjarakan. Sejak KPK berdiri koruptor kelas kakap yang dapat dibuikan masih dapat dihitung dengan jari.
Selain itu, revisi perlu segera dilakukan untuk menghindari blunder kedua SBY pada peringatan hari jadi Republik Indonesia yang akan datang. Sebab, muncul kekhawatiran, mendekati akhir jabatan periode keduanya SBY akan grasa grusu membuat keputusan karena harus “kejar setoran” membayar kompensasi politik kepada para penanam saham politiknya.
Ketua Baru
Hal ini juga menjadi tantangan berat bagi ketua KPK yang nanti akan terpilih. Busyro Muqodas dan Bambang Widjajanto yang telah direkomendasikan Panitia Seleksi (Pansel) kepada presiden perlu memberi perhatian lebih atas kebijakan pemerintah yang memberi kelegaan hukum bagi koruptor. Ikhtiar ini perlu ditempuh supaya masyarakat tetap memiliki ghirah melawan korupsi dan mau berpartisipasi aktif memberantasnya.
Pada masa kepemimpinan Antasari Azhar KPK berada pada kondisi prima karena dipimpin oleh figur yang tegas. Namun belakangan, akibat serangan balik bertubi-tubi, KPK mengalami sejumlah pelemahan. DPR misalnya pernah mewacanakan untuk mencabut hak KPK melakukan penyadapan dengan merevisi undang-undang KPK. Pada saat yang sama pimpinan KPK terbelit kriminalisasi.
Setelah terpilih, ketua KPK harus menerjemahkan komitmennya dalam bentuk yang lebih konkret. Sebab, bukan tidak mungkin badai yang menimpa KPK akan kembali datang. Serangan bisa dari koruptor, oknum lembaga legislatif, bahkan pejabat pemerintah. Karena itulah mestinya KPK tidak segan menolak deskresi presiden memberikan remisi dan grasi kepada koruptor.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Saturday, 16 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment